Akhirnya aku yang kesepian, membayangi
jari-jari keriput dan uban bersilang sengkarut dengan pigmen hitam. Nanti aku akan
membeli beberapa vitamin dan makanan bermelanin untuk mempertahankan hutan di
batok kepalaku, sendirian. Mungkin akan kutambahkan daftar hair tonic atau
beberapa suplemen herbal di daftar belanjaan bulanan. Tapi kalau sekarang belum
genap setengah abad, harusnya tidak begitu kupusingkan.
Aku jadi ingat lelaki tua itu. Di pertengahan
bulan ia akan duduk di teras belakang rumah, di kursi rotan kesukaannya dan
memegang sikat gigi bekas dan sepiring kecil adonan berwarna hitam pekat. Dengan
sabar ia ratakan adonan itu di atas kepalanya, berusaha menyamarkan uban-uban
yang menyembul dan menyebar mirip tumpukan sarang laba-laba.
Ritual meyemir adalah yang paling rutin
ia lakukan, dengan sadar dan tanpa beban. Beberapa tahun terakhir ia juga mulai
menambah takaran adonan untuk kepentingan kumisnya. Kalau masih sisa, ia
bubuhkan lagi ke atas ubun-ubunnya. Selama itu, aku tidak pernah tahu warna
lain untuk menyamarkan putih selain hitam.
Kekasih ibu yang sangat peduli dengan
penampilan masa tuanya. Hampir kepala tujuh dan hutan harus tetap lebat tanpa
uban, kumis mesti tegas, legam dan tajam di kedua ujungnya. Hanya gigi palsu
saja yang bebas bongkar pasang dan akan dilepas total ketika petang menjelang. Satu
lagi, dan ingatan yang sering kabur atau datang dan pergi sesuka hati. Dua hal
itu yang tidak bisa ia tutup dan pungkiri.
Sedang ibu jadi sangat renta dan melorot.
Bahkan tinggi badannya jadi berkurang sekian sentimeter. Daster-daster harus dipotong
atau dilipat bagian paling bawahnya dan agak dikecilkan pada bagian pinggang. Gigi
depannya sisa beberapa saja, dan yang pilih bertahan tinggal menunggu waktu
untuk ogak dan lepas tanpa meninggalkan bercak.
Dari dua renta itu aku belajar bahwa
kesepakatan tidak benar-benar ada. Ia cuma istilah yang dipakai untuk
mendinginkan suasana. Mufakat itu artinya berhasil mempertahankan pendapat atau
mengalah. Kekasih ibu harus sesekali mengalah dan kompromi. Tapi ibu perlu
berkali-berkali lipat, berkompromi, mengalah, mengalah untuk anak dan mengalah
lagi.
Aku mungkin hanya perlu berkompromi
pada segala hal, termasuk dengan diri sendiri. Lalu setelah keduanya pergi, tinggal
mengambil alih hasil kompromi. Dan itu tidak akan berlaku lagi pada saudara
laki-laki dan perempuanku. Mereka telah mengaso cukup lama demi menemani masa
tua ibu dan kekasih sepanjang hayatnya. Kalau sekarang mereka memilih rumah
masing-masing untuk dihuni sampai mati dan mengosongkan sisa kenangan, tidak
akan jadi soal.
***
Benar, perempuan ini memilih hidup
melajang sampai batas yang tidak pernah ditentukan. Di percakapan serius malam
itu, dia sangat yakin tidak akan bisa mendapatkan teman hidup dengan frekuensi
yang sama. Apa yang dia baca, dipikirkan dan apa yang kemudian ditulisnya, tidak
senada dengan apa yang orang di sekitarnya lakukan. Ini juga bukan perkara
standar, tapi jelas ia yang memilih beda jalan.
Mereka memilihkan cukup banyak dan dia
melakukan tugasnya dengan sangat baik dan adil, hanya menolak. Ia merasa bisa
hidup dengan puisi-puisi, mengisi blog pribadi dan sesekali bertatap muka dengan
laut atau menyalakan radio peninggalan ibunya sepanjang hari atau bertemu
beberapa kawan lamanya di kedai kopi pinggir jalan. Baginya, itu bukan sekadar
rutinitas semu. Itu adalah kehidupannya, yang nyata dan adalah hasil
kompromi-komprominya selama ini.
Perempuan itu sudah asing dengan
tetangganya sejak dalam kandungan sang ibu. Tidak pernah ia mendengar satu
tetangga bisa menyebut namanya dengan benar atau sengaja sesumbar dan
menceritakannya dengan sengaja. Bisa jadi tetangga-tetangga itu tidak ingat
keberadaannya. Tapi dia akan sangat ramah dengan siapapun, selama tidak terikat
apa-apa dan tanpa perjanjian apa-apa dan tidak membuatnya kehilangan apa-apa.
Sejak kepergian dua sepuhnya, ia lebih
banyak waktu untuk mencintai dirinya sendiri. Melakukan segala aktivitasnya
atas dasar kebutuhan dan kehendaknya sendiri. Bekerja paruh waktu di dua tempat
yang tidak banyak memberi tuntutan padanya. Dan sekali lagi, ia menganggap
apa-apa yang didapatnya adalah imbalan atas kekalahan dan kompromi-kompromi di
masa sebelumnya.
Tapi siapa yang tidak iba melihat
kesepian yang dirasakannya itu? Tidak ada manusia yang bisa benar-benar hidup
tanpa dampingan orang lain. Sedang sahabat-sahabatnya, satu persatu akan mulai
beralih dan sibuk dengan kompleksitas kehidupan baru yang mereka jalani.
“Bayangkan puisiku lebih panjang dari
monolog yang kau baca beberapa kali tentang Koesno itu. Bayangkan saja, aku yakin
tidak akan melakukannya.”
“Kau mulai lagi. Beranjaklah, apa 12
tahun belum cukup buatmu?”
“Apa kau bosan mendengarkanku?”
“Kita sahabat, tapi kan aku punya
kehidupanku sendiri, dengan keluarga dan anak-anak. Bagaimana kalau suatu hari
aku tidak bisa menemanimu?”
“Aku bisa sendiri. Kalau kau tidak bisa
mendengarkanku lagi, aku tetap bisa sendiri. Bukankah kesepian itu hakiki?”
“Bukan begitu, Kis. Hey…”
Aku ingat berapa kali membayangkan
adegan itu berulang di kepalaku. Dan setelahnya aku tidak sekena hati mengganggu
mereka-mereka yang punya tanggungjawab pada keluarga-keluarganya. Kecuali mereka
datang berkunjung bersama anak-anak yang mulai cerewet dan menuntut lebih
banyak kerja keras dari ayah ibunya. Adegan kunjungan yang selalu berakhir
dengan tangisan anak-anak yang mulai bosan bermain dan ingin dibelikan sesuatu
di perjalanan pulang.
Akhirnya aku yang selalu dianggap kesepian.
Masih dengan buku-buku dan kacamata lebih tebal di samping kiri ranjang, sesekali
akan mengingat ritual menyemir rambut a la kekasih ibu atau ritual ibu
yang mengkidung sambil menyapu bersih rumah sampai terik menyengat tubuh
keriputnya dan akan menyeka peluh di akhir napasnya.
Aku yang dianggap kesepian karena tidak
pernah membawa surat undangan pernikahan dan membicarakan kebutuhan rumahtangga
dan persoalan-persoalan yang rumit ruwet dan tangis-tangis haru atau sembab dan
lebam sedikit. Aku kesepian karena hanya bisa mendengarkan remuknya
tulang-tulang mereka yang harus mengais lebih banyak dan menutup tagihan demi
tagihan setiap bulan.
Aku yang dianggap kesepian karena
tinggal seorang diri di rumah peninggalan ibu dan kekasih sepanjang hayatnya
tanpa pendamping dan teman bicara. Aku kesepian karena mereka yang datang
menghibur dengan cerita-cerita tumbuh kembang anak dan seabrek les privat, musik,
tari yang lebih mirip ‘hukuman dilarang bermain’ daripada mengembangkan
karakter anak.
Tapi apa aku terlihat begitu
menyedihkan dengan anggapan kesepian dan kesepian itu? Atau sederhananya, apa
aku benar-benar kesepian? Kalian tahu, aku tidak sedang kesepian dan tidak
pernah merasai kesepian versi itu.
Rumahku adalah rumah paling macet
dengan lalu lalang ide dan jungkir balik kata-kata. Meski kupasang rambu-rambu
di sepanjang laci kategori, pekerjaanku tetap menumpuk dan tidak pernah
selesai. Ketika satu lembar berhasil kusalin dalam layar, telingaku sudah lebih
dulu penuh teriakan kesakitan dan persenggamaan kata-kata yang kadang manja dan
menyebalkan.
Aku lebih suka membayangkan diri
sebagai penonton teater yang sejati. Melihat adegan-adegan drama rumahtangga
yang berakhir pisah dan kenang dan bahagia atas pilihan masing-masing. Tapi aku
juga pemain sejati dari ceritaku sendiri, yang tergerus dan terhimpit dan
sesak-sesak yang membawa klimaks sampai akhir. Meskipun, yaa… Aku yang selalu
(dianggap) kesepian, karena memilih jalan lain. []
0 Comments