Itu adalah transaksi terakhir yang dilakukannya dengan pengepul. Setelah berak, ia kembali ke ladang dan menyihir ranting-ranting randu jadi jati, menggantikan 15 pohon yang barusan ia tebang dan jual dengan mahar sekenanya. Seperti biasa, tetangganya tidak akan ingat apa yang mereka saksikan hari itu, ketika sebuah truk masuk terlalu jauh dan kurang dari dua jam, 15 kayu gelondongan diangkut, tanpa bising.
Suaka Online |
Semua
dilakukannya tepat waktu, Rabu minggu ketiga jam dua dini hari. Tiga orang yang
bertugas di pos ronda akan merasai kantuk dan lelap seketika. Pun jika ia salah
mengucap mantra, satu dari mereka akan bangun dan melihatnya membersamai truk
menuju ke ladang. Tapi itu bukan soal, sebab mantra lain akan membuatnya
tiba-tiba lupa.
Ia
berjanji pada diri sendiri, ini kali terakhir ia membodohi orang-orang dan
melakukan transaksi gelap. Urusannya di pulau ini sudah selesai. Bibinya, Mak Juani
akan menggantikan posisinya merawat jati-jati. Ia tinggalkan beberapa hasil
transaksinya di meja dapur, lengkap dengan sekarung beras dan surat yang
ramping.
Buat
Mak Juani,
Aku
sudah selesai membereskan urusanmu dengan mandor properti itu, Mak. Mungkin sementara.
Sudah kusuruh beberapa orang menyelesaikan perkara sertifikat tanah yang
digadaikannya. Tidak usah kuatir lagi sekarang dan mak bisa merawat ladang itu,
punya mak semua. Tapi maaf aku ambil sebagian buat sangu ke kota.
Aku
pamit. Baik-baiklah dengan jati-jatimu itu.
Jangan
kuatirkan aku.
Koesno_
Mak
Juani masih menjalani kesehariannya. Pergi ke ladang sampai tengah hari,
mencari rumput gajah dan pulang dengan membawa pakan buat dua sapi dan tiga
kambingnya. Ia membeli hewan ternak itu tiga bulan lalu, setelah mendapati
Koesno lenyap dari rumahnya.
Sempat
ia tanyakan ke tiga orang tetangganya yang ngronda di pos dekat ladang,
tapi ketiganya memberi jawaban yang tidak menyenangkan dan tidak membuat kebingungan
Mak Juani berkurang. Ia malah merasa tidak jenak dan semakin khawatir. Keputusan
bocah itu pergi kota tidak diketahuinya, meski mereka tinggal serumah. Tidak ada
rahasia yang tidak diketahui Mak Juani, kecuali kepergian bocahnya.
Tapi
sejak hari itu, setiap Rabu dini hari, Mak Juani jadi sering mendengar gesekan
daun-daun jati yang lebih nyaring dari gesekan bow ke senar biola. Ia hafalkan
tiupan angin yang membawa suara itu ke dalam pesareannya, jam dua dini hari. Dan
lagi-lagi, hanya dia seorang yang mendengarnya, tidak dengan orang-orang atau
tetangga yang dekat dengan rumah dan ladangnya.
“Lek
tidak dengarkah, suaranya Ngiiing, nging…? Sampai ke dada sini itu rasanya.”
“Saya
itu bangun jam segitu, Mak. Tidak dengar suara apa-apa. Kalau angin ya memang
ini musim bediding, jadi banyak angin, Mak.”
“Suamimu
ndak dengar juga?”
“Malah
ngorok terus kerjaan pak e kalau jam-jamnya segitu, Mak.”
Pun
berlaku jawaban yang sama ketika ditanyakan pada tetangga-tetangga yang lain. Sempat
disangkanya itu ulah Koesno. Tapi selang tiga bulan, ia hanya mendapati gesekan
daun-daun jatinya yang mbenging dan akan kembali reda setelah Mak Juani
mengunjunginya. Daun-daun jati yang tidak pernah sudi gugur meski sudah
waktunya kemuning mengganti sari hijaunya.
Pernah
suatu hari, Mak Juani mendengar keributan di kandang ternaknya. Mak Juani
memutuskan pergi ke kandang dan melihat beberapa orang berusaha membawa sapi
betina dan tiga kambingnya sekaligus. Belum sempat mendekat, Mak Juani merasai angin
makin kencang bergerak menerpanya dan menuju kandang. Angin itu membawa serta beberapa
daun jati yang berputar-putar sembari terbang.
Daun-daun
itu yang kemudian membantu Mak Juani menangkap orang-orang yang ternyata suruhan
mandor, yang akan mengambil hewan ternaknya. Daun-daun yang menjelma
tetangga-tetangga, para petugas ronda. Mereka memukul mundur orang suruhan itu
dan memenjarakan mandor untuk kesekian kalinya.
Tapi
Mak Juani segera sadar, setiap kali bala bantuan muncul, daun-daun itu akan
menggugurkan diri satu persatu, seperti seorang pensiunan yang tidak lagi punya
tanggungjawab pekerjaan, atau manusia yang menganggap tugas dan perannya
selesai dan sudah saatnya kembali ke pangkuan semesta. Daun-daun gugur dan tak
pernah lagi tumbuh bakal daun yang baru.
***
Mak
Juani sesekali bermimpi tentang bocahnya, Koesno. Ia bisa menyihir apa saja
menjadi pohon jati tapi tidak untuk mengembalikannya ke wujud semula. Malam itu,
dalam mimpinya, Mak Juani melihat setumpuk beban digendongan si bocah. Semakin lama
semakin berat dan membuat bocahnya membungkuk dan benar-benar menjadi bungkuk.
Saat
Mak Juani akan memanggilnya, bocah itu berulah lagi dan malah mengubah dirinya
menjadi beberapa helai daun jati. Lalu angin menerbangkannya menuju ladang Mak
Juani dan ia rekat di sana, bersama daun-daun yang lain di pucuk pohon tertua. Tapi
Mak Juani tidak lagi mengenali daun mana yang baru rekat itu. Seperti itu, ia tak
lagi tahu di mana bocahnya sekarang berada.
Mak
Juani memandangi daun-daun jati miliknya, tapi tak bisa seluruhnya. Malam
keburu pekat dan tidak menyisakan sinar untuk mencari tahu di dahan mana bocah
itu memilih tinggal. “aku bisa mendengar desing dan menghapal sengau
daun-daun. Tapi bagaimana caranya menemukanmu ditumpukannya? Kenapa membuat
sesuatu lebih sulit dari yang seharusnya, ngger?”
Mimpi
itu dibacanya sebagai isyarat. Mungkin nasib buruk sedang memata-matai Koesno,
sehingga Mak Juani memikirkannya berhari-hari. Tidak pernah ada kabar sejak
hari kepergiannya dan tidak ada yang tahu kota mana tujuan terakhirnya. Tidak
ada yang bisa dilakukan Mak Juani selain mengunjungi ladang jati tiap kali
daun-daun itu saling menggesek dan mengeluarkan suara nyaringnya.
Lambat
laun mak Juani menganggapnya sebagai tanda Koesno ingin menemuinya. Meski ia
sendiri tidak yakin dengan anggapan itu. Sampai ketika daun jati terakhir
gugur, Ia membenamkannya. Menandai daun itu sebagai hari kematian bocah yang
dibesarkannya. “lha bukannya aku juga bisa menunggu? Siapa tahu kelak kau
mendengar dan pulang. Bibi kan ingat, kau suka ribut dan berulah di Rabu dini
hari.”
Keesokan
hari, tetangga ladang mengabari Mak Juani, 15 pohon jatinya berubah jadi randu.
[]
0 Comments