Janin-janin
itu terlantar di antara jutaan anai. Mereka terlempar dan terbang mengikut arah
angin, sampai ke laut kembali ke darat dan memutar-mutar. Dua dari mereka
saling tatap lalu terkekeh. Keterlantaran mereka adalah sebuah kebahagiaan
besar dari Sang Maha. Di mana mereka bebas menyatu dengan kesekian alam yang
ada.
Tribun Wiki |
Tepat
malam Jumat Pon salah satu bayi lahir. Bersama batur-nya, ia dipaksa
dukun keluar dari kedamaian alam kandungan menuju fana. Warnanya merah muda,
pucat seperti sebotol kecap penuh lendir babak belur. Kepalanya tidak bulat
sempurna, seperti benjolan tidak mirip bola, kotak apalagi segitiga.
Mungkin
ibunya baru saja bermimpi bertarung di sebuah arena gulat, sehingga bayi suci
yang meng-iba itu, seperti lebam di beberapa bagian tubuhnya. Urat-urat malang menyembul,
tak mampu tertutup oleh kulit tipis yang membalut tubuh tak berdosa.
“Aku
pergi dulu, kawan… kelihatannya calon ibuku sudah tak sabar ingin memberikan
asinya.”
“Kau
hati-hati… kirim kabar pada kita bagaimana asi itu bisa keluar dari kehidupan
seorang manusia.” Kata janin-janin merah muda.
“Seperti
permintaanmu…”
Beberapa
jam sebelumnya, calon ibu muda menjerit-jerit minta ibunya memanggil ambulance.
Semua keluarga dibuat panik, kalang kabut mempersiapkan segala kebutuhan jabang
bayi. Kecuali ayah yang tenggelam. Pun calon ibu tak tahu keberadaan suaminya.
Atau jika benar itu dikata suami baginya. Tidak tahu siapa ayah sang jabang
bayi.
Tapi
sebelum mobil putih bau mayat itu datang, Kenthus lebih dulu membawa seorang
dukun lengkap dengan peralatan menangani persalinan.
“Bikin
malu… ndak usah manggil mobil-mobilan, ini sudah ada mbok Sumi biar cepet lahiran.”
Teriak sang ibu dari pintu depan rumah.
Mendengar
teriakan calon nenek, jabang bayi lantas berputar haluan, ia sungsangkan
keberadaan kepala dan kakinya, ia putari seluruh zona tempatnya bersemayam, ia
buat ibunya meraung-raung. Bentuk ibunya sudah bungkuk, hanya bisa merangkak.
“Sudah
tidak tahan… cepat keluarkan!”
“Kenapa
ibu ingin cepat-cepat aku keluar? Padahal ini belum genap 6 bulan.” Batin si
jabang.
Pagi
buta bayi berkelamin laki-laki itu akhirnya lahir. Tapi ia tidak sudi menangis.
Dukun setengah mencekik leher dan menggoyang-goyangkan tubuhnya. Ia tetap diam,
tidak merespon apapun. Ia mutung pada dukun dan keluarga barunya. Lantas si
jabang bunuh diri. Ia hentikan oksigen yang mengalir menuju paru-parunya.
Pukul
02.35 dukun permintaan Kenthus merapikan segala perlengkapan yang ia bawa.
Ari-ari segar dan mayat si jabang pun tak lupa ia bereskan. Seperti mayat kucing,
dukun tak lantas memandikannya. Hanya ditutup sehelai jarik dan ia masukkan ke
dalam tas plastik.
Tak tega
dengan mayat bayi yang baru ia keluarkan dari zona nyaman, Sumi pun membawa
serta si jabang. Dengan uang tutup mulut sebesar 250.000 Sumi pulang dengan
kecamuk, dadanya seperti meradang.
“Duh
gusti… aku dipanggil untuk membantu persalinan… aku dukun bayi, gusti….”
Sepanjang
jalan Sumi hanya merengek meminta belas. Ia meyakinkan dirinya tidak bersalah.
Ia pandangi mayat jabang bayi dalam tas merah marun itu. Matanya masih memejam
rapat, kulitnya belum berubah, masih segar, belum dingin.
“Kalau
kamu masih hidup, nak… tak kasih nama Jabang. Sayaang mbahmu ndak punya hati. Bapakmu
semprul… ndak mau punya anak, ndak mau tanggungjawab, kok bikin anak.”
Hitekno.com |
20 menit
berjalan Sumi sampai di depan rumahnya. Ia langsung memandikan mayat si Jabang,
ia ciumi tubuh yang tidak lebih besar dari lengannya dengan sesal. Hatinya masih kalut dengan kejadian di rumah
Kenthus.
Ia masih
merekam jelas betapa si jabang tidak sudi keluar paksa dari rahim sang ibu. Sedang
Kenthus terus meneriaki si Jabang yang sudah terlanjur tak punya jalan pulang. Nasib
memang tinggal nasib, biadabnya tak mampu diulang. Seperti nasib baik ketika
ruh Jabang ditiupkan, atau ketika Jabang resmi tinggal di rahim seorang
perempuan. Atau bahkan nasib buruk ketika calon ibu Jabang dipaksa kawin diusia
muda. Entah menjadi nasib Jabang atau ibunya yang malang.
Tapi
seperti Tuhan yang menitipkan Isa kepada Maryam, kali ini Tuhan menitipkan
jabang kepada perawan tua Sumi. Atas kuasa yang tidak mampu dikira manusia,
jabang terbatuk dan menangis kencang. Suaranya mirip kucing kerah di
gelap malam.
Mata
lebam yang masih mengatup tak segera membuat suara lengkingnya teredam. Para
tetangga di sisi kanan dan kiri Sumi terhenyak dan langsung menuju gubukan.
Gubuk yang tadinya gelap sepi, mendadak riuh dipenuhi manusia padat prasangka.
“Ada apa
mbok…? Ini bayi siapa?” Tanya Sukram sembari mendekati si jabang.
“Ini
bayiku…”
“Ayolah
mbok… kau sudah tidak mungkin beranak.”
“Ini bayiku,
sudah kubilang ini bayiku.”
“Kau
menculik bayi, mbok..? Usiamu sudah kepala tujuh, jangan macam-macam mbok…”
Sumi
kelihatan bingung, mamang ingin menjelaskan duduk perkara. Tapi kemudian
ia segera mendapat jalan cerita menarik. Perawan tua berusia 72 tahun itu
bercerita seolah menemukan si jabang tergeletak di pinggiran got.
Awalnya
ia kira hanya bingkisan baju. Ketika ia dekati, itu adalah orok masih lengkap
dengan ari-ari. Karena iba, ia bawa bayi beserta bingkisannya ke rumah.
Sesampainya di rumah, ia mandikan bayi itu lantas menangislah si jabang. Cerita
klasik yang ia karang tentulah bukan hal baru ditelinga para tetangga.
“Oalah…
Kemarin di desa sebelah, waktu ronda pak Rt juga nemu orok, tapi sudah ndak
napas dia…”
“Di TV
juga kemarin siang itu, ada anak usia 16 taun ngangkang di kebun belakang
rumahnya, nglairin orok juga, padahal masih pada sekolah.”
“Yaa
sudah, sudah… Mbok Sumi apa ingin mengasuh bayi laki-laki ini?” Sukram memegang
bahu Sumi meyakinkan, “kalo iyaa, nanti siang kasih lapor pak Rt masalah
ini, mbok… Biar dibantu ngurus.”
Sumi
mengangguk sembari meletakkan jabang di pesareannya. Jabang hanya diam.
Tangisannya ia hentikan demi mendengar percakapan antara Sumi dengan
tetangganya. Setelah para tetangga memutuskan kembali ke ranjang masing-masing,
jabang terkekeh. Sementara Sumi langsung membereskan perkakas dan menuju ke
dapur. Di dekat pintu belakang rumah, Sumi menguburkan ari-ari si Jabang.
“Bagaimana
tempat barumu? Bagaimana ibu dan nenek barumu? Apakah mereka memberimu nama?”
“Ah,
suatu keberuntungan aku tidak lahir di tempat sampah atau pasar. Sebuah
keberuntungan aku tidak dibuang di got dan mati tanpa nama.”
“Apa
maksutmu?”
“Tuhan
sedang bermain-main dengan makhluk-Nya. Ada banyak yang bernasib sama
sepertiku, bahkan lebih mengenaskan, semoga kalian tidak.”
Jabang
menceritakan bagaimana Sumi menarik kaki kanannya terlebih dulu sebelum
akhirnya mengeluarkan kepala dan keseluruhan tubuhnya. Ia ceritakan pula mimik
wajah ibunya yang ia taksir berusia 17 tahunan. Ia dongengkan kepada
janin-janin lain –yang masih keranjingan menunggu calon ayah dan ibu– tentang
bagaimana mereka diinginkan dan terbuang.
Tanpa
berniat menakuti saudara-saudaranya, Jabang menceritakan detail alam manusia yang
rusuh. Tidak ada nilai yang mencerminkan mereka manusia, pengajaran terhadap banyak
sesuatu dianggap ketabuan. Sehingga rerupa banyak hal terjadi tanpa bisa
ditanggulangi, termasuk kelahiran Jabang.
“Tapi
Tuhan mengirim Maryam dalam sehelai Sumi. Mungkin ia memaksaku meninggalkan
rahim ibu, tapi Tuhan kata ia akan jadi ibu baruku. Semoga Tuhan mengirim
kalian pada helai-helai Maryam lain. Sehingga kalian tak perlu kuatir adanya
sebutan ayah dan ibu.” []
0 Comments