ABSTRAK
Tulisan ini berbicara
mengenai Fatayat yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam artikel ini,
penulis fokus membahas peran dan upaya Fatayat Wilayah DIY dalam merespon
fenomena keagamaan milenial. Dalam kepengurusan periode 2017/2022 yang dipimpin
oleh Khotimatul Husna terdapat banyak kebaruan yang dibawa, termasuk
program-program khusus untuk mencegah masuknya radikalisme di masyarakat.
Selain lewat dakwah konvensional, Fatayat DIY juga merangkul mitra-mitra dari
luar NU untuk menyebarkan Islam yang ramah dan damai. Selain itu, sadar akan
massifnya dakwah via media online yang digemari oleh kalangan milenial, Fatayat
DIY juga melakukan konter hegemoni Islam konservatif dan radikal tidak hanya
dengan mengerahkan da'iyah-da'iyah muda untuk masuk
ke majelis-majelis dan kampus- kampus yang ada di wilayah
Yogyakarta, akan tetapi juga lewat media sosial.
Keyword: fatayat, fenomena keagamaan, milenial, radikalisme
Baliexpress |
Pendahuluan
Sejarah massifnya organisasi perempuan muslim di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari keberadaan Fatayat NU. Beberapa tahun setelah Muslimat mendapatkan tempat sebagai organisasi perempuan di bawah naungan NU, Fatayat –atau yang dulu disebut dengan Putri Nahdlatul Ulama Muslimat– juga meminta ijin untuk memiliki pimpinan pusat tersendiri, mengingat jumlah anggota di tingkat cabang terus bertambah. Akhirnya PBNU menyetujui permintaan tersebut dan sejak resmi berdiri pada 24 April 1950 organisasi ini menjadi ruang bagi perempuan-perempuan mudah berkarya dan mendedikasikan diri dalam berbagai bidang, terutama pendidikan dan kesehatan.
Pada
awal kelahirannya sebagaimana Muslimat, organisasi Fatayat juga lebih fokus
pada pemberdayaan masyarakat di kawasan pedesaan. Dengan mengusung spirit
perjuangan pemudi, Fatayat juga memiliki beberapa tujuan seperti membentuk
pemudi atau perempuan muda yang bertakwa, berakhlak karimah, menjunjung tinggi
nilai-nilai moral, mampu mengemban amanah dan tanggungjawab, dapat mewujudkan
masyarakat yang adil serta mampu mewujudkan nilai kesetiaan terhadap NU, baik
dari segi asas, akidah maupun tujuan utama NU yakni menegakkan syari'ah.
Karena
relasi yang dibangun dengan masyarakat sangat dekat, maka tak heran jika
Fatayat cepat menyebar ke pelosok-pelosok, hampir di seluruh wilayah
Indoensia. Adapun untuk menjangkau perempuan-perempuan yang berada di
desa-desa, Fatayat juga membentuk kepengurusan dalam lokus yang lebih sempit,
tidak hanya di provinsi akan tetapi juga di tingkat cabang dan juga anak
cabang. Hal tersebut dilakukan demi bisa melangkul segenap perempuan yang ingin
memberdayakan diri dan ikut berkontribusi membangun bangsa dan negara. selain
itu, Fatayat juga ingin menunjukkan bahwa peran perempuan tidak cukup jika
hanya di wilayah rumah tangga alias domestik, tapi juga memiliki peran penting
sebagai agen yang setara dengan laki-laki ketika di tengah-tengah masyarakat.
Pada proses perkembangannya hingga saat ini, Fatayat juga masih terus melebarkan sayap dan menggandeng kader-kader baru sebagai generasi penerus yang akan mewarisi cita-cita luhur Fatayat. Selain itu, program-program pemberdayaan perempuan juga telah meluas dalam berbagai sektor. Dalam setiap periode selalu diupayakan agar pengkaderan tetap berjalan meskipun kerap terjadi pasang surut terkait dengan kuantitas atau jumlah perempuan yang turut serta dalam organisasi Fatayat tersebut. Tentunya hal tersebut merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh setiap pucuk pimpinan dalam masing-masing periode.
Dewasa
ini, tantangan yang dihadapi oleh Fatayat NU tidak lagi hanya soal kaderisasi, akan tetapi sudah meluas ke
isu-isu yang menyerang para pemuda dan pemudi negeri ini, seperti konservatisme
dan radikalisme. Begitu juga yang dihadapi oleh Fatayat yang ada di Yogyakarta.
Minimnya kader-kader Fatayat di beberapa kabupaten membuat pimpinan pusat
Fatayat sempat resah. Selain itu Yogyakarta beberapa kali diterpa isu sebagai kabupaten
yang tinggi tingkat intoleransinya. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari fenomena
keagamaan yang telah bergeser, utamanya pada golongan milenial.
Fenomena
keagamaan yang disampaikan lewat dakwah-dakwah via medsos ini identik dengan
Islam yang eksklusif dan konservatif, sehingga ketika sampai kepada milenial
juga tidak akan jauh dari tujuan awal dakwah tersebut. Selain itu dakwah yang
mengajak seluruh kaum muda untuk hijrah, kembali ke sistem khilafah, dan lain
sebagainya tersebut dikemas sangat modern sesuai dengan karakter muda mudi
milenial, entertaining dan berbasis
teknologi digital. Fenomena tersebut jika tidak segera disikapi dengan tegas,
maka dikhawatirkan akan membuat benih-benih konservatisme maupun radikalisme
tumbuh subur di kalangan milenial.
Hal inilah yang mendorong Fatayat NU Wilayah Yogyakarta merasa harus turun segera, merangkul para pemudi untuk mengkonter hegemoni Islam garis keras, agar kasus-kasus intoleransi tidak semakin merajalela. Momen ditetapkannya Khotimatul Husna sebagai ketua baru Pimpinan Wilayah Fatayat DIY 2017 lalu, menjadi pondasi baru Fatayat untuk ikut serta memerangi radikalisme yang menggerogoti kemanusiaan. Tulisan ini akan fokus membahas peran dan upaya Fatayat Wilayah DIY dalam merespon fenomena keagamaan milenial. Dalam kepengurusan periode 2017/2022 yang dipimpin oleh Khotimatul Husna terlihat banyak kebaruan yang dibawa, termasuk program-program khusus untuk mencegah masuknya radikalisme di masyarakat.
Fatayat DIY; Kelahiran Baru
Fatayat
di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta bisa dikatakan mengalami kelahiran baru,
setelah sempat vakum dalam beberapa waktu dikarenakan beragam alasan. Kurang
aktifnya kepengurusan internal Fatayat di wilayah Yogyakarta, berimbas pada
kepengurusan di cabang, anak cabang dan ranting. Sehingga sebelum pemilihan
ketua baru 2017 lalu, hampir sulit melakukan kaderisasi di tubuh Fatayat
Yogyakarta. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan Khotimatul Husna, selaku ketua
PW Fatayat DIY;
"Di wilayah Bantul dan
Gunung Kidul bahkan SK kepengurusan itu sampai mati. Karena memang tidak pernah
diurusi lama. Dari situ sejak terpilih, saya bertekad memulai dari awal lagi.
Bersama sekretaris baru, itu awalnya mendatangi masing-masing pengurus Fatayat
yang ada di Bantul dan Gunung Kidul untuk segera melakukan rapat
reorganisasilah istilanya. Ini saya tekankan agar pembentukan PAC juga segera
berjalan, sehingga bisa melahirkan kader-kader di masing-masing desa dan
kecamatan di dua kabupaten tersebut."
Dari
apa yang dipaparkan oleh Khotimatul Husna tersebut, menegaskan mengenai adanya
program penguatan struktur di internal Fatayat, untuk kemudian bisa
menghasilkan proses kaderisasi berjenjang. Hal ini nyatanya memang dijadikan
sebagai program tahun pertama oleh Khotim dan anggota-anggotanya. Dikatakan
bahwa dalam lima tahun kepemimpinannya, program pertama yang akan dilaksanakan
pada tahun pertama yakni penguatan struktur internal Fatayat. Ini juga termasuk
menggerakkan seluruh pimpinan cabang dan anak cabang untuk hidup kembali di
daerah masing-masing agar fatayat semakin dekat dengan masyarakat. Adapun
program kedua yang dicanangkan Khotim adalah kaderisasi. Di mana dalam proses
ini, ia mengerahkan seluruh pengurus di cabang dan anak cabang untuk mencari
pemudi sebanyak-banyaknya untuk diikutsertakan atau dibaiat menjadi bagian dari
Fatayat Yogyakarta.
Adapun di tahun ketiga kepemimpinannya, Khotim beserta anggota akan mengadakan agenda antar Pimpinan Anak Cabang, yang sebenarnya juga sudah mulai diterapkan sedikit demi sedikit. Selain itu Khotim juga menjelaskan bahwa Fatayat DIY saat ini telah memiliki Garda Fatayat yang mana telah menjadi ruang bagi anak muda dalam hal ini perempuan untuk memperkaya pengetahuannya terkait resque, keprotokoleran dan juga bagaimana cara mereka tanggap bencana. Gerakan yang diinisiasi oleh anggota-anggota muda Fatayat ini secara langsung maupun tidak langsung telah membawa pembaharuan terhadap pola pengkaderan selama ini. Adanya pembaharuan ini juga membuat pemudi yang tertarik menjadi bagian dari Fatayat semakin bertambah.
Semenjak
diluncurkan, Garfa (Garda Fatayat) telah memberi banyak pengaruh pada tubuh
Fatayat, tidak hanya di kawasan Yogyakarta akan tetapi sudah pada tingkat
Nasional. Hal ini juga didukung oleh ketua umum Pimpinan Pusat Fatayat, Anggia
Ermarini. Harapan panjang dari keberadaan Garfa selain mewadahi para perempuan
muda di Fatayat, juga untuk bisa ikut berperan dalam merespon isu-isu
radikalisme dan terorisme. Menurut Anggia, pelatihan Garfa akan dapat menjadi
benteng para ibu-ibu dan perempuan pada umumnya dari pengaruh pemahaman Islam
yang radikal.
Peran Fatayat Merespon Keagamaan Milenial
Isu mengenai radikalisme saat ini memang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari bangsa Indonesia. Tidak hanya berasal dari luar, akan tetapi ajaran-ajaran yang berbau radikalisme sudah mulai merongrong generasi muda lewat dakwah-dakwah yang dibalut hiburan, kisah-kisah anak muda, dan tentunya semakin subur dengan bantuan aktivisme klik yang turut menyebarkan konten- konten agama yang sama sekali tidak ramah. Seringkali juga dijumpai majelis- majelis atau pengajian yang di gelar di masjid-masjid di lingkungan sekitar sarat dengan konservatisme beragama. Menurut pandangan Khotimatul Husna, fenomena merebaknya konservatisme yang berujung pada sikap-sikap radikal tidak lain dari buah pemahaman kitab suci dan ajaran Islam yang tekstualis, tidak berasal dari sumber utama dan cenderung instan.
Dalam hal ini, da'i dan materi ceramah yang disampaikan sangat berpengaruh pada apa yang diyakini oleh masyarakat sebagai pihak yang menjadi konsumen dakwah. Di sinilah media sosial berperan, yakni terus menerus mereproduksi materi-materi dakwah yang disampaikan oleh seorang da'i –yang notabene tidak memiliki kredibilitas mumpuni di bidang syari'at. Masyarakat yang merasa tertarik dengan konten-konten yang ada di media sosial tersebut, kemudian bisa mengundang da'i yang bersangkutan untuk mengisi majelis- majelis di Yogyakarta, sehingga tumbuh suburlah konservatisme itu. Hal ini sebagaimana yang dikatakan Khotimatul Husna,
"Saya pernah diminta
pihak Kemenag untuk datang ke salah satu acara, masih di Yogyakarta juga. Acara
itu pengajian akbar yang mengundang banyak artis-artis yang telah dianggap
hijrah. Ada Pegi Melati Sukma dan lain sebagainya. pesertanya berapa? Saya
taksir itu bisa lebih dari 300 orang. Nah itu salah satu dakwah yang kemasannya
sangat menarik menurut saya. Kan milenial sukanya yang berbau hijrah dan
seperti to entertain begitu. Tapi
saya kaget begitu mendengar konten yang disampaikan oleh penceramahnya, yang
tidak sekedar ajakan hijrah, tapi sudah menyinggung soal khilafah, Pancasila
sudah tidak relevan, dan lain sebagainya. ini kan kalau diterus-teruskan, akan
sangat berbahaya. Dan kita tahu gitu lo, ini hanya satu contoh kecil,
pesertanya memang didominasi anak muda semua, dan pastinya pengajian seperti
ini juga digelar di beberapa kota. Tentu saya jadi semakin miris."
Dari
apa yang dipaparkan oleh Khotimatul Husna, kiranya semakin memperjelas bahwa
gerakan Islam yang demikian, sangat massif dilakukan dan menyasar anak-anak
muda, ibu-ibu berusia muda, dan terutama perempuan. Khotim sadar akan bahaya
yang mengancam dan dari situlah ia bersama dengan Fatayat berupaya menjadi
garda terdepan yang pasang badan untuk mengurangi, melawan bahkan menghilangkan
dampak ceramah-ceramah yang radikal dengan membuat dakwah tandingan. selain iu
Khotim mengaku Fatayat periodenya telah berhasil merangkul anak-anak muda yang
tergabung dalam duta santri untuk menularkan pesan-pesan perdamaian Islam.
Selain itu, konter hegemoni atas konservatisme dan radikalisme juga dilakukan Fatayat lewat kader da'iyah yang mulai gerilya ke majelis-majelis atau pengajian. Da'iyah-da'iyah tersebut harus bisa membina minimal atu majelis di lingkungan tempat tinggalnya sendiri, sehingga bisa membangun kesan dakwah Islam yang ramah lewat lokus yang paling mungkin untuk dimasuki.
Tidak cukup sampai di situ, bagi Khotim masjid-masjid kampus se-DIY juga merupakan lahan basah yang bisa disusupi paham-paham keagamaan yang radikal dengan sangat mudah. Maka merespon isu radikalisme masuk kampus, Khotim berupaya bermitra dengan para pengurus atau takmir masjid untuk kemudian meminta bagian / slot untuk mengisi ceramah di masjid tersebut. Adapun rangkaian langkah yang diusung Fatayat periode kepemimpinan Khotimatul Husna antara lain sebagai berikut:
1. Duta
Santri Nasional; Agen Perdamaian
Sebagaimana
disebutkan sebelumnya, adanya kontes Duta Santri Nasional tidak hanya dalam
rangka mencari kader muda, akan tetapi sekaligus merangkul anak-anak muda
kemudian diajak menularkan pesan- pesan perdamaian ala Islam ramah dan melawan
hoax. Keberadaan Duta Santri yang tersebar di seluruh wilayah di Indonesia juga
diharapkan dapat menjadi ruang komunikasi lanjut bagi para anak muda tersebut
guna memberikan kontribusi yang nyata kepada bangsa negaranya, terutama dalam
mengenalkan Islam secara ramah kepada generasi yang lebih muda melalui
rangkaian kegiatan yang menarik dan sangat milenial.
2. Da’iyah;
Mengkonter Hegemoni Islam Konservatif
Program Da’iyah yang diselenggarakan oleh Fatayat ternyata membuahkan semangat perjuangan yang berkesinambungan. semangat tersebut salah satunya tercermin dalam melawan adanya hegemoni paham radikalisme yang menyusup ke celah-celah masyarakat dan mahasiswa- mahasiswi kampus, tidak hanya di Yogyakarata tapi juga di kampus-kampus di seluruh Indonesia, baik negeri maupun swasta. Khotimatul Husna mengaku, adanya da'iyah-da'iyah muda punya dampak positif membawa ajaran-ajaran Islam yang rahmatan lil’alamin. Dari para da'iyah tersebut konter hegemoni atas biang radikalisme dilaksanakan.
Tidak hanya di lingkungan masyarakat yang menjadi tempat tinggal masing-masing da'iyah, tapi juga melebarkan sayap ke masyarakat yang menengah ke atas, bergerilya ke pengajian-pengajian yang eksklusif dan mulai menjalin relasi dengan pihak yang bersangkutan untuk menyusupkan materi-materi dakwah tandingan. hal itu dilakukan bukan tanpa resiko. Namun bagi Khotim, untuk saat ini itu merupakan jihad yang relevan untuk dilakukan di tengah gempuran radikalisme agama yang memporak-porandakan keutuhan dan persatuan bangsa.
3. Kuasai
Medsos dan Blog / Web
Selain tetap mengedepankan dakwah sebagai media menangkal arus radikalisme yang makin tidak bisa dibendung, Khotimatul Husna dan sahabat Fatayat sangat mafhum terkait peran media online sebagai basis pergerakan. Bahkan materi-materi mengenai pemahaman Islam yang radikal lebih cepat menyebar lewat media online. Atas dasar itulah Fatayat juga mulai mendobrak kepamanannya dengan aktif di berbagai media sosial, mulai dari website fatayatdiy.com, termasuk menyebarka konten-konten video dakwah dan kegiatan-kegiatan kepemudaan lewat akun youtube. Hal-hal tersebut dilakukan tentu bukan untuk mendulang eksistensi, akan tetapi sebagai konter hegemoni atas radikalisme tadi. Khotimatul Husna berupaya menggaet sebanyak-banyaknya pemudi untuk bisa melek teknologi digital sehingga bisa ikut serta membangun jaringan untuk jihad media.
Kesimpulan
Fatayat
pada periode ini tidak lagi sekedar tempat memberdayakan perempuan dalam aspek
pendidikan dan kesejahteraan, akan tetapi jauh daripada itu Fatayat ingin
memberi tempat kepada anak muda untuk ikut menunjukkan bagaimana sesungguhnya
wajah Islam, yakni ramah dan damai. Beragam program kerja dan strategi-strategi
yang diupayakan oleh Khotimatul Husna bersama seluruh anggota mulai dari di
tingkat wilayah sendiri, cabang, hingga anak cabang membuktikan adanya
progresifitas yang nyata dalam tubuh Fatayat NU DIY, di mana itu juga menjadi
alasan mereka berani menjadi garda depan untuk menggusur paham-paham
radikalisme dari akarnya. Adapun kegiatan-kegiatan kepemudaan dan dakwah yang
dilakukan di majelis-majelis merupakan langkah membentengi anak muda dan
ibu-ibu dari paparan radikalisme. Fatayat telah terbukti memiliki peran sentral
dalam merespon fenomena keagamaan milenial saat ini dengan menciptakan
kader-kader dan materi dakwah tandingan untuk bisa mengembalikan pemikiran milenial
kepada Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Daftar Pustaka
Admin. “Garfa Fatayat NU DIY Tidak Bisa Padam Semangat Perjuangannya.” Bangkitmedia.com, October 27, 2019. https://bangkitmedia.com/garfa-fatayat-nu-diy-tidak-bisa-padam-semangat-perjuangannya/.
Alawi, Abdullah. “Fatayat NU Luncurkan Garfa, Barisan Sejenis Banser.” Nuonline, n.d. https://www.nu.or.id/post/read/112648/fatayat-nu-luncurkan-garfa-barisan-sejenis-banser.
Husna, Khotimatul. “Wawancara Mendalam,” December 20, 2019.
Redaksi. “Harlah ke-69, Ini Sejarah Lahirnya Fatayat NU.” Jatman Online (Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah), n.d. Accessed December 29, 2019. https://jatman.or.id/harlah-ke-69-ini- sejarah-lahirnya-fatayat-nu/
Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif Dan R&D. Bandung: Alfabeta
Supandi, Irfan. 2011. Dahsyatnya Menjadi Ibu Rumah Tangga. Surakarta: Jajar Lawean
Suyitno. 2018. Metode Penelitian Kualitatif; Konsep, Prinsip Dan Operasionalnya. Tulungagung: Akademia Pustaka
Wicaksono, Pribadi. “Sultan HB X: Yogyakarta Harus Cegah Bibit Radikalisme Di Kampus.” Tempo.co, July 7, 2017. https://nasional.tempo.co/read/889637/sultan-hb-x-yogyakarta-harus-cegah-bibit-radikalisme-di-kampus.
Zainal, Ahmad Aufa. “Perempuan
Nu dan Pilkada (Studi Terhadap Polarisasi Dukungan
Politik Muslimat Dan Fatayat NU Terhadap Pasangan Indah Putri Indriani-Thahar Rum Di Pilkada Serentak Tahun 2015).”
Skripsi, UIN Alaudin, 2018.
0 Comments