Kamu
sudah pernah menulis tentang capaian. Bobot ekspektasi yang muluk, benar-benar
membuatmu terlihat sebagai manusia yang paling ambisius. Lalu saat semua
keramaian itu menepi, kamu membayangkan diri berada di tengah lapangan bola,
sendirian dan malam tidak mengijinkan benda-benda langit menyapamu. Kamu kesepian,
memikirkan dirimu yang ambisinya makin tidak karuan.
Tapi
sebentar, ekspektasi yang sedang kamu perjuangkan, apakah benar tujuanmu? Kamu tahu,
itu bukan dari kemauanmu. Itu semua lebih banyak berasal dari keinginan
orang-orang di sekitarmu, orangtuamu, mas dan mbakmu, yang memintamu
membuktikan ini dan itu.
Adegan
apa setelah itu? Kamu terduduk lesu dan setengah putus asa. Memikirkan capaian-capaian
orang lain –seusiamu yang telah mendapatkan lebih banyak kesempatan,
keberuntungan.
Sementara
kamu? Tidak banyak kesempatan dan merasa tidak pernah beruntung. Tidak banyak
yang kamu kuasai. Hanya bisa mengerjakan itu-itu lagi, kamu merasa tidak
berkembang. Menulis untuk orang lain, mendapatkan gaji yang tidak pernah pasti
dan habis begitu cepat, begitu saja tanpa ingat untuk apa saja uang itu
terpakai.
Dan
kamu mulai menyesal melanjutkan kuliah dan resign dari pekerjaan yang
sejatinya sangat nyaman buatmu, jelas-jelas telah memberimu posisi yang
menguntungkan. Kamu pilih melanjutkan studi master dan meninggalkan kampung
halaman.
Kamu
menyesali lagi kegagalanmu mendapatkan beasiswa, menyesali kegagalanmu
menyelesaikan project-project pembuatan buku untuk direktur rumah sakit
itu. Kamu mulai menyalahkan diri sendiri, lagi dan lagi.
Kamu menyalahkan dirimu yang terkesan idealis, terlalu enggan ikut arus seperti teman-temanmu, yang sekarang sudah menjadi guru honorer di sekolah-sekolah di sekitar rumahmu, menjadi orang kepercayaan pejabat pemerintah. Kamu mulai kecewa dengan semua pilihanmu.
Oh,
tunggu. Kamu tidak sekadar merasa gagal dalam menentukan pilihan, tapi kamu
telah gagal di semua lini hidupmu. Kamu gagal dalam percintaan. Yaa, kamu
selalu jadi pihak yang tidak beruntung ketika menjalani relasi dengan lawan
jenis, terutama dalam relasi pacaran.
Kamu
selalu jadi subjek yang menunggu dan diabaikan. Kamu juga selalu gagal
mempertahankan orang yang sedang bersamamu, entah karena kamu ingin mengalah
atau karena memang tidak becus menjalani relasi semacam itu.
Kamu
juga gagal, hampir total dalam pendidikan. Kamu merasa tidak bisa
mengimplementasikan hasil belajarmu selama ini. Kamu tidak bisa menyampaikan
ilmu-ilmu yang kamu dapat ke orang lain, kamu juga tidak bisa memegang amanah,
kamu merasa gagal menjadi orang yang dapat dipercaya.
Kamu
mulai mengurung diri di kamar mandi, sambil jongkok berlama-lama, berjam-jam
sambil merenungi kegagalan-kegagalanmu. Dalam keluarga, kamu merasa yang paling
gagal membahagiakan orangtuamu. Kamu merepotkan mereka dan membuat tabungan
mereka terpakai untuk mengejar strata duamu.
Entah
kamu paham atau tidak letak kebahagiaan orangtuamu di mana dan seperti apa,
tapi kamu merasa materi adalah hal yang selalu ingin dimiliki mereka, dan kamu
gagal total memberikannya. Ketiadaan rupiah di kantongmu juga membuatmu merasa
gagal dalam karir, dan semua hal yang ada di kehidupanmu selama ini.
“Kkkrsssssrrrkkkk….”
Gayungmu
sudah menyentuh dasar bak mandi.
Lalu
perenunganmu berakhir setelah sadar air dalam bak mandi habis terkuras.
Apa
sekarang kamu mulai berpikir bahwa apa-apa yang kamu sebut kegagalan juga
sangat mungkin dialami oleh orang lain? Bukankah semua orang punya bentuk
capaiannya masing-masing?
Kamu
mulai mengingat-ingat, kamu sudah paham soal itu sejak awal. Tidak ada hidup
yang sia-sia, biarpun selalu merasa sia-sia. Dalam benakmu, kamu tidak
mengingkari sesuatupun, ketertinggalan itu jelas. Tapi ada capaian lain, di
dalam dirimu sendiri yang tidak kamu sadari, telah membawamu sampai ke titik
ini.
Hei,
kamu. Seharusnya tidak apa-apa. Ketika orang lain jauh di atasmu, itu capaian
mereka, start yang kamu ambil dengan start yang mereka ambil
tentu berbeda. Jadi tidak perlu samakan capaianmu dengan capaian orang lain.
Merasa
tertinggal itu wajar. Seharusnya tidak apa-apa. Kamu merenungi kegagalanmu,
seharusnya juga tidak apa-apa. Tapi kamu perlu ingat lagi, Tuhan tidak menciptakan
manusia dengan percuma. Jangan berpikir bahwa kita ini makhluk yang sia-sia. Yaaa,
bagaimana lagi? seharusnya memang tidak apa-apa merasa sedih dan gagal. Merasa kecewa
dan dipecundangi nasib.
Tapi,
kamu bukan satu-satunya. Tuhan tentu tidak sedang merundungmu dan meletakkan
semua jatah gagal pada hidupmu. Jika kamu terlalu lama larut dalam
keputus-asaan itu, mungkin kamu lupa untuk mencintai dirimu sendiri. Kamu lebih
sering memandang orang daripada memandang dirimu melalui cermin. Mungkin kamu
lebih banyak mendengar apa kata orang, daripada kata hatimu sendiri.
Jadi,
coba tengok lagi, seharusnya tidak apa-apa, jika ekspektasi dan realita yang
terjadi pada dirimu, sering berbanding terbalik, mungkin saat ini, itu yang
terbaik. Kamu mesti yakin, bahwa Tuhan hanya ingin kamu mengerahkan dayamu
untuk sesuatu yang lebih bermanfaat buatmu, bukan sesuatu yang sekadar kamu
ingin. []
4 Comments
Yeah! It's okay not to be okay itu bener banget. you are not competing with other people! Semua orang punya jalan hidup masing2 nggak bisa sama!
ReplyDeleteTulisannya bagus kak!! Suka deh bacanya^^
Benar, mbaa... tiap-tiap manusia punya kapasitas dan jalannya masing-masing.
DeleteTerimakasih banyak sudah berkenan membaca, mbaa
bener banget kak jangan samakan pencapaian orang lain dengan pencapaian kita. Semua orang punya start masing-masing. Terimakasih kak :) tulisannya sangat menyadarkan diirku.
ReplyDeleteWah, terimakasih kembali karena sudah membacanya, kak
DeleteSemoga bisa bermanfaat. Sukses selalu.