“Ada sesuatu yang ingin kamu bahas?”
“Tidak
ada. Hanya ingin menelfon.”
“Untuk
apa?”
“Tidak
untuk apapun. Mungkin memenuhi hasratku yang sedang, entah.”
Ada
beberapa project yang menunggu untuk kau selesaikan minggu ini. Beberapa
aplikasi pesanan klien, beragam karakter. Satu klien membuat ubanmu bertambah
banyak, satunya membuat batang lehermu kesemutan. Lalu orang-orang kantormu, akan
meminta sekian jatah waktu yang kau pakai untuk kerja di tempat lain.
Sempat
terlintas. Aku ingin bertanya, bagaimana caramu mengatur waktu untuk bisa
menyelesaikan semua kerja teknis itu? Jika terlalu umum, bisakah kau jawab, berapa
banyak aplikasi yang kau buat dengan sepenuh hati? Atau dari totalnya, apa kau
melakoni seluruhnya sepenuh hati?
Tapi
aku tidak yakin kau mau menjawab pertanyaan macam itu. Maka kuurungkan dan
pilih diam lagi. Hari ini aku memang menelfonmu, dalam dering yang cukup lama
sampai bisa mendengarmu mengucap satu kata, “hallo.”
Bagaimana
kalau aku tanyakan hal lain? Misalkan, lagu-lagu apa yang sedang kau dengarkan?
Aku yakin salah satunya masih dari band legendaris, Queen. Tapi aku juga tahu
ada beberapa lagu Barat yang sering kau putar menemani masa-masa lembur itu. Dan
kenapa aku harus menanyakan sesuatu yang sudah kuketahui jawabannya?
Oh,
mungkin aku bisa bertanya hal-hal lain, sesuatu yang sederhana dan aku belum
pernah dengar langsung darimu, kegemaranmu selain yang aku tahu, mungkin? Ruang-ruang
gelap yang aku tidak punya ruang cukup untuk tahu.
“Koes,
aku benar-benar ingin menulis sesuatu buatmu.”
“Apa?”
“Satu
hal yang bisa kau kenang.”
“Untuk
apa?”
“Untuk
kau kenang saja. Meski aku tidak akan jadi siapa dan apa.”
Kau
katakan aku harus mencari orang yang bisa terus membuatku menulis. Membuatku merasakan
ide-ide segar, yang tumpah ruah dan mengalir seperti air terjun yang gagal kita
tengok tempo hari.
Kadang,
aku ingin mencari yang demikian, Koes. Mencari orang yang bisa membuatku patah
berkali-kali dan aku tetap menulis karenanya. Aku pernah berkelakar, “apa kau
saja?”
“Kalau
kau saja, bagaimana?”
Tapi
lagi-lagi kau pilih tidak menjawab. Malah mengingatkanku untuk fokus pada apa
yang tengah kujalani. Jelasnya, aku mesti mengesampingkan urusan-urusan cinta. Sebab
ia adalah unsur paling personal yang harus kunomor-sekiankan. “Ingat! Tujuanmu
masih panjang.” Katamu.
Dan
suaramu kali ini memberi sedikit pengecualian pada apa-apa yang kuanggap
sebagai gerak bebas. Kita tidak harus melulu ke tempat baru. Naik dan menanjak.
Kita
hanya perlu, dengan sepenuh hati menjalani apa-apa yang sekarang di depan mata,
segala yang menjadi tanggungjawab masing-masing. Kau sedang bekerja sepenuh
entah apa, bersitegang dengan kode-kode dan istilah yang aku tidak mengerti.
Dan
aku sendiri, akan tetap sebatas ini saja. Berupaya bertanggungjawab pada diriku
sendiri, atas apa yang aku pilih, atas apa yang sekarang ada di depan mata,
yang aku jalani.
Ah
iya, soal lagu terakhir yang kau putar, aku yakin salah satu lagu LP. Tapi aku lupa
judulnya. Terimakasih untuk 26.41 menit, bersambung selama 15.32 menit dan
berakhir pukul satu dini hari. Kucatat, Koes. []
0 Comments