Kulit rembulan terlihat kusam sebab
berselimut mendung. Sinarnya empot-empotan menembus kanopi kaca apartemen. Ah,
tak masalah, memandang interior bohemian
sudah cukup merakit senyum yang mencabik awan mendung;
ditambah sinar neon memancar ke segala penjuru dan sedikit menghambur ke teras,
mengarsir separuh longue chair-ku. Malam yang laksmi untuk lelaki yang subtil.
Kucoba membuang wajah ke kanan, pandangan
terjun dari lantai tiga apartemen. Nuansa malam berbeda 180 derajat. Di sana,
malam beraroma durjana, keji, dan gelap; meskipun karunia purnama menyirami
tempat itu. Tidak ada yang patut dibanggakan di sana. Kalau takdir bisa kupesan
dan harus hidup di sana, aku akan memilih terlahir sebagai tikus.
Mataku nanap ketika mendapati seorang bocah
dekil berdiri di balik cagak rumah, seperti memburu jangkrik—atau menghindari salak
anjing. Kenapa ia teguh di sana, bersanding dengan hamparan sampah yang
sebenarnya bantaran sungai?
pikirku.
Aku menebak dia akan segera masuk rumah dan
melarikan diri dari malam di perkampungan kumuh itu. Tapi yang terjadi sebaliknya,
ia bergerak tiga langkah menjauhi rumah itu. Tak berselang lama, bocah dekil
itu kembali menyentuh cagak dengan gelagat penuh selidik.
Seteguk coklat Belgia hangat sudah meluncur
ke tenggorokanku, untuk mengendurkan pikiranku yang menegang. Aku yakin
tebakanku yang kedua tidak meleset, benakku jengkel.
Bocah dekil itu masih di posisi yang sama,
tapi dengan kuda-kuda yang lebih kuat. Sedangkan pintu rumah yang tak rekat setengah
terbuka oleh angin, sehingga mataku mendapat bocoran ruang tamu. Terdapat bohlam
kuning yang menjadi satu-satunya penerangan di ruang tamu itu. Di ujung meja
tergeletak setoples jajanan pasar. Ah, mungkin anak itu pencuri amatir yang
sangat kelaparan, ia rela berjibaku dengan sampah dan pelataran rumah kumuh
asal mendapatkan apa saja yang menjinakkan deram perutnya.
Ya, bocah itu pencuri—amatir. Tebakanku kali ini pasti benar.
Jogjapolitan |
Siapapun bisa menjadi kriminal ketika harus
hidup di tempat durjana itu, ketika pilihan hidup semakin sempit dan harus
berbagi ruang dengan nasib. Tak terkecuali bocah dekil. Ia pasti telah menentukan
pilihan bijak di bawah sana.
Sembilan menit berlalu dan mataku hampir
silap, bocah itu belum juga melakukan aksinya. Mulutku menyerapah, tak mau
tebakanku meleset lagi.
“Mencurilah, curi; atau kau akan mati
kelaparan. Jadilah pencuri yang bijak terhadap perut,” desisku.
Lima detik kemudian pintu rumah itu terbuka
penuh, dan seorang pria gempal seperti menguar dari balik pintu. Tangan
kanannya menggenggam sapu kipas yang diacung-acungkan ke arah bocah itu;
sedangkan dari gerak-gerik mulutnya seperti memaki-maki, mengeja semua jenis
binatang di Padang Savana. Sejurus kemudian, bocah itu lari menjauhi rumah dan
langkahnya hilang ditelan sisi gelap perkampungan.
Sial, bocah itu ketahuan. Ah, tapi siapa
peduli, tebakanku kali ini benar, meskipun bocah itu gagal mendapatkan barang
curiannya.
Tak lama kemudian, seorang dengan tampilan
kacau, rambut acak-acakan dan daster robek sana-sini, berjalan—bukan, dia
ngesot—mendekati pria gempal itu. Mulutnya menjerit. Tangannya seperti berusaha
memetik mangga yang terlalu tinggi. Sorot matanya putus asa. Wanita itu tampak
kalut marut.
Gemuruh guntur saling beradu. Lalu hujan
turun. Akhirnya orang yang kunantikan tiba.
“Maaf, saya telat empat menit dari janji
pukul 21.00. Jadi bagaimana?” tanyanya.
“Sepertinya saya berjodoh dengan bantaran
sungai yang dipenuhi sampah itu untuk pabrik saya,” telunjukku menitik sungai
di perkampungan kumuh. Sedetik kucuri pandang rumah kumuh tadi, pria gempal itu
baru saja menutup rapat-rapat pintu rumah.
Yogyakarta, 1 Oktober 2020
Miftahul Huda. Hai, saling sapa saja via twitter: @huda_serdadu |
0 Comments