Satu
cangkir lagi malam itu, sebelum aku benar-benar harus menyelesaikan surat
lamaran pekerjaan, perdana. Semester tua membuatku harus sering-sering memutar
otak agar bisa tetap stay cool di kota orang. Agar aku tetap bisa
membeli paket data dan makan, meski sekali dalam sehari.
Part
time
sebagai copywriter di salah satu start up milik teman memang bisa
diandalkan, tapi kali ini tak cukup karena ternyata aku tidak bisa
menyelesaikan skripsi tepat waktu. Jadi terpaksa mencari tambahan biaya untuk
menyulam perkuliahan di semester depan.
Aku
melamar ke beberapa sekolah swasta di kota yang sama, Surabaya. Aku menyalin
empat surat lamaran sebagai pengajar dengan pengalaman magang dua bulan di SD
dekat rumah dan membuka les privat di rumah saat liburan semester genap.
Hanya
itu pengalaman yang kupunya, sebab sebenar-benarnya aku tidak menyukai
anak-anak. Tapi kali lain aku selalu berpikir bahwa anak-anak juga manusia yang
harus kuhormati hak-haknya sebagai pembelajar.
Menurut
info loker yang kudapatkan dari medsos, salah satu sekolah yang kumasuki surat
lamaran memang sedang membutuhkan banyak guru bantu, karena tengah membuka dua kelas
baru. Bayarannya bahkan beberapa puluh ribu lebih besar dari tiga sekolah
lainnya.
Dengan
niat yang awut-awutan, kukirimlah surat lamaran itu ke masing-masing sekolah
sambil berdoa agar bisa nyantol salah satunya.
Dua
minggu berlalu biasa-biasa saja, tak ada tanggapan atau sekadar kabar angin
soal surat lamaran kerja yang kukirimkan. Tapi aku yakin Rabu ini akan
memberiku kabar dan nasib yang baik.
Jam
14.30 WIB, aku mendapat pesan whatsapp dari nomor yang tidak dikenal, yang
belakangan kutahu adalah staff TU dari salah satu sekolah yang kutuju. Dan ya,
perkiraanku tidak meleset, sekolah yang kuceritakan sebelumnya, mengundangku
untuk interview Jum’at, di jam sekian.
***
Aku
memasuki bangunan yang masih di kelilingi beringin. Tepat di samping kiri
gerbang sekolah itu ada tiga beringin tua yang kokoh meski tidak terlalu tinggi.
Sementara di samping kanan ada pohon belimbing dan mangga, kelihatannya belum
pernah berbuah.
Di
depan pintu kantor yang tepat menghadap gerbang, aku disambut dua perempuan paruh
baya, berjilbab panjang dengan seragam guru berwarna abu-abu. Senyumnya membuat
siapa saja ingin berlama-lama menatap, aku yakin itu. Mereka berdua
mempersilakan aku duduk di kursi tamu dan menunggu kepala sekolah.
Seorang
perempuan lebih tua dari dua sebelumnya menyalamiku dan kembali mempersilakanku
duduk. Ia tepat di depanku, menatap lekat-lekat dan tanpa bicara. Masih tersenyum
sampai beberapa menit sebelum akhirnya membuka pembicaraan dengan memanggil
nama lengkap dan riwayat pekerjaanku.
“Mbak
sudah yakin ingin menjadi guru bantu di sini? Apakah mbak sudah tau akan
mengajar di kelas apa?”
“Maaf,
bu Khusnia. Saya tidak membaca detailnya, tapi saya yakin di kelas apa saja,
saya siap dan akan belajar.”
“Tugas
mbak Rokis di sini bukan sekadar guru. Kami membutuhkan pendamping untuk
anak-anak kami di kelas inklusi.”
“Kelas
inklusi, bu?”
“Iya,
dua kelas baru yang kami persiapkan adalah kelas inklusi. Yayasan memberi ruang
untuk anak-anak kami yang difabel atau berkebutuhan khusus, agar bisa belajar
bersama dengan teman-teman di kelas reguler. Kami ingin membangun suasana yang
nyaman dan setara di kelas baru itu, mbak Rokis. Jadi mohon dipertimbangkan
lagi.”
“Saya
memang tidak punya pengalaman mengajar anak-anak berkebutuhan khusus, Bu. Tapi
saya yakin saya mampu.”
“Mbak,
saya tahu dan percaya mbak Rokis adalah pembelajar yang tekun. Saya lihat CV
dan seluruh portofolio yang mbak berikan. Tapi untuk anak-anak kami, yayasan
tidak mau ambil resiko. Kami memang butuh 10 guru untuk mendampingi 20 anak-anak
di kelas inklusi, tapi sebentar saya jelaskan. Mendampingi mereka tidak sesederhana
yang mbak Rokis pikirkan. Mbak mungkin bisa mendampingi anak-anak, tapi
mengingat anak-anak kami sangat istimewa, kami juga ingin memberikan
pendampingan yang optimal, agar mereka juga bisa segera beradaptasi dengan
teman-temannya.”
“Saya
akan berusaha semaksimal mungkin, Bu. Percayalah.”
“Mereka
memiliki kekhususan masing-masing. Cara belajar dan cara memperlakukan mereka
membutuhkan kesabaran ekstra, telaten, hati dan pikiran juga mesti lapang. Kami
butuh pendamping yang bisa hadir secara penuh dan dengan kesadaran yang utuh
mendampingi perkembangan mereka di sini. Saya tahu mbak Rokis mampu, tapi saya
juga paham bagaimana mahasiswa semester akhir harus segera menyelesaikan
tanggung jawabnya, Mbak.”
Aku
diam agak lama di titik itu. Bagaimanapun juga, hal yang aku butuhkan memang
uang, bukan sadar dan hadir penuh untuk anak-anak itu. Meski agak kecewa, tapi
akhirnya aku bisa memahami maksud baik kepala sekolah itu. Kelas inklusi yang
ia upayakan disetujui oleh yayasan memang harus segera mencapai target dalam
penyelenggaraannya. Ia tidak ingin memberi harapan palsu bagi anak-anak difabel
dan orangtua mereka yang telah bahagia anak-anaknya bisa berdampingan dengan
anak-anak lain di sekolah itu.
Maka
aku pamit, kembali berdiri dan bersalaman setelah dua jam lebih duduk di hadapan
kepala sekolah yang kubayangkan adalah aku di masa entah. Kali itu aku gagal
melamar, tapi aku mendapat satu bohlam yang kuyakini akan menjadi jalan bagi lampu-lampu
lain untuk menyala. Lampu-lampu yang akan menjadi penerang lorong pendidikan
yang gelap dan samar itu. []
#GerakBersama #JanganTundaLagi #SahkanRUUPKS #HariDisabilitasInternasional2020
1 Comments
Memang bukan jatahku jadi pendidik ya.
ReplyDelete