Pernah
nggak kalian merasa sangat tidak beruntung dilahirkan ke bumi Tuhan ini hanya
karena kalian perempuan? Pertanyaan ini masih sering keluar dan diulang-ulang. Bagiku
ini bukan sekadar pertanyaan, tapi penegasan, bahwa sampai detik ini, masih
banyak perempuan yang menjawab, ‘yaa, aku pernah dan sampai sekarang’ dan
dengan model jawaban lain yang intinya, sama.
Yaa,
kadang aku masih tidak paham. Apa yang salah pada tubuhku sampai orang-orang
melarangku melakukan ini dan itu. Mereka (orangtua dan tetangga) sepertinya
lebih mengerti tentang aku daripada diriku sendiri. Mereka lebih paham apa-apa
yang mesti kukenakan, kulakukan, bahkan kupikirkan.
Pada
umur sekian, ibu dan bapak belakangan sampai minta bantuan beberapa orang,
hanya untuk mencarikanku calon suami. Alasan yang disampaikan macam-macam. Beberapa
yang kudengar mereka takut aku nadi ‘perawan’ tua, tidak laku, jadi gunjingan
orang atau mendadak jadi binal karena tidak kunjung kawin.
Sebentar,
binal? Karena tidak kawin? Maaf-maaf, sebentar. Aku berusaha mencerna maksud
kata-kata bapak, yang terakhir. Darimana pikiran itu muncul, pak? Aku yang
tidak lain adalah anakmu sendiri, kau samakan binatang yang minta kawin begitu?
Oh mungkin aku salah paham.
Di
lain tempat aku mendengar desas-desus tetangga yang resah ketika aku lewat di
depan rumah mereka. Mereka khawatir aku menggoda suami-suami mereka. Pikiran itu
bahkan muncul dari dua sahabat kecilku sendiri. Apa setelah menikah, mereka
sudah tidak mengenali sifat sahabatnya sendiri?
Lebih
kacau lagi ketika seorang perempuan dari desa sebelah, menuduhku menjadi
penyebab munculnya sikap kasar sang suami. Ketika suaminya memukul, aku yang
dilaporkan. Ketika ia mengalami kekerasan di dalam rumah tangga, aku yang jadi
sasaran. Dalihnya, aku telah membuat rumah tangga mereka retak, sehingga
suaminya sampai hati memberikan bogem tiap kali percekcokan terjadi.
Padahal
–sekadar informasi, bukan membela diri– aku kerap menyaksikan tindakan
kekerasan fisik sering dilakukan si laki-laki, bahkan ketika mereka masih
pacaran.
Yaa,
harusnya waktu itu aku tidak ikut campur, jika peringatan yang kuberikan justru
membuatku disebut-sebut ingin menghancurkan hubungan keduanya. Tapi mana bisa
aku tidak ikut campur melihat tangan sok kuasa itu menampari perempuan,
sementara aku juga sama-sama perempuan? Sayangnya saat itu aku hanya
mengandalkan nurani, sehingga tak memikirkan nasibku selanjutnya.
Mungkin,
ini memang nasib yang tidak mujur buatku. Tapi setidaknya aku tahu, bahwa semua
tidak baik-baik saja. Kehendak orangtua yang dipaksakan terhadap anak, kuasa
laki-laki atas perempuan atau suami kepada istrinya, stigma dan labeling yang
dilekatkan pada perempuan yang memilih tidak menikah, dan persepsi-persepsi
yang mengitari itu semua adalah bukti kalau lingkungan tempat tinggalku, sama
seperti di tempat tinggalmu, yang masih patriarki.
Tubuhku,
tubuh sahabat-sahabatku, diatur sedemikian rupa sampai kami hampir kehilangan
jati diri kami masing-masing. Oh tidak, aku tidak bisa mewakili pikiran
sahabat-sahabatku. Pengaturan dan mendisiplinan itu membuatku hampir kehilangan
diriku sendiri.
Dan
sayangnya, aku tidak bisa mengubah tatanan yang langgeng itu sendirian. Kesadaranku
saja tidak akan cukup. Bagaimana dengan cara pandang dan persepsi-persepsi yang
selama ini mengakar dan subur di pikiran ibu bapakku, suami-suamimu, tetangga
kita, teman tidur, sahabat-sahabat dan perempuan-perempuan korban kekerasan di
luar sana yang justru memilih menyalahkan perempuan lain, hanya karena tidak
sanggup menyuarakan kebenaran dari dalam dirinya?
Hei.
Aku saja tidak cukup. Aku butuh kalian semua untuk bisa #GerakBersama dan
saling menyadarkan, saling mendukung dan mendorong perlindungan untuk diri kita,
perempuan. Kebenaran tidak akan menjadi kebenaran jika kita hanya diam. Untuk beberapa
hal, kebenaran mesti diupayakan dan disuarakan. Kita bisa, jika kita
#GerakBersama. []
#GerakBersama #JanganTundaLagi #SahkanRUUPKS
Penulis
0 Comments