Parapata, bulan dan tahun sekian.
Yang aku tahu, tempat itu adalah pantai yang cukup
terkenal di kota Parapata. Dia mengajakku ke tempat itu saat jam tanganku
menunjukkan pukul 22.00. Cukup jauh dari pusat kota, hampir 2 jam perjalanan.
Mendadak ke sana, sebab ia dapat telepon dari salah satu temannya untuk mengisi
acara sebagai pemateri.
Harusnya, siang tadi aku sudah balik ke kota.
Kekasihku sudah menunggu, merindukanku, katanya. Tapi dia tetap kukuh
mengantarku pulang esok pagi buta. Lantas, selama perjalanan aku hanya diam dan
cemberut. Bukan persoalan kekasih yang menungguku, tapi karena aku tidak ingin
bertemu teman-temannya yang tak kukenal. Aku tidak sedang ingin berbicara
banyak dengan orang baru saat ini. Hanya ingin bercerita banyak dengannya, apapun
itu. Sekali pun persoalan tidak penting.
Sesampainya di lokasi, teman-temannya menyambut
dengan jabat tangan dan senyum hangat. Lalu salah seorang teman berbisik sepenggal
kalimat yang tak sengaja kudengar suaranya.
“Mangsa baru, nih? Kok mirip sama yang itu. Ah,
kau memang pandai memilih.” Ledek temannya.
Dia hanya tersenyum sembari berjalan meninggalkan
temannya dan membiarkan aku berada di muka pintu. Aku tahu maksud temannya.
Tapi aku memilih diam meskipun sebenarnya sangat dongkol.
“Brengsek! Bacot mulu. Mulut minta disekolahin
lagi, deh!” gumamku sambil berjalan masuk ke ruangan pengap itu.
***
Ada rindu kalang kabut yang perlu diredam
pawangnya.
Dia lancang membuka ponselku, kulihat dia baru
saja melihat pesan singkatku dengan kekasihku. Sungguh, aku tak suka itu. Namun
saat dia tahu aku membuka ponselnya dan membaca percakapannya dengan
kekasihnya, dia diam saja. Tidak berusaha mencegah atau merampas ponselnya dari
tanganku. Dan aku tahu, dia tidak sedang pura-pura tidak tahu. Justru dia
tersenyum melihat tingkahku. Lalu mengusap kepalaku seperti megusap kepala
kucing piaraannya di rumah.
“Kucingku senang sekali kalau diusap dan
dielus-elus kepalanya. Jadi rindu deh sama Mican.” Ia tersenyum menatapku.
Menatapku lekat-lekat hingga aku hampir dapat meliat warna matanya. Coklat kehitaman,
sepertinya.
***
Kali lain, ia mengajakku masuk ke sebuah mini
market, namun aku memilih menunggu di luar. Selang beberapa menit dia keluar
dengan membawa bungkusan yang disimpan dalam tas plastik. Sebuah minuman
dingin, dan dia menyodorkan bungkusan putih.
“Dari mana kamu tahu kalau aku perokok?”
Aku tidak pernah bercerita apapun padanya soal
kehidupanku. Apa iya dia tanya pada teman-temanku? Kurang kerjaan! Tapi
kudapati hanya jawaban berupa senyuman. Ah, menyebalkan. Aku tak bisa
menyembunyikan lagi kebinalanku. Padahal sudah kubalut rapi dengan tertutup
rapat.
“Wajahmu tidak bisa menipu.” Dia tertawa
puas.
“Sialan kau!” umpatku tidak terima sambil memukul lengannya keras-keras. Namun dia kembali membalasnya dengan senyuman.
the Lore Master |
Sepanjang hari cuma diam dan tak ada senyum.
Duduk di atas pembatas jalan, dan laut cukup menemaniku malam ini. setidaknya
aku bebas mengimajinasikan kekasihku yang manja di pangkuanku saat sedang rindu
denganku. Setidaknya aku bisa tersenyum dengan imajinasi itu tanpa ada yang
mengusikku. Menghadap laut dan melihat seolah-olah air laut itu berdekatan
dengan langit. Seolah-olah langit bumi itu bukan bulat, tapi datar. Bagaimana
tidak, air laut itu nampak berdekatan dengan langit, seperti membentuk garis
lurus dari kiri ke kanan.
“Aku mohon hapus semua percakapan kita di
pesan singkat itu. Hapus semua foto kita yang masih ada di galerimu!”
“Enggak! Nggak akan! Aku yang berhak atas
ponselku!”
“Aku tahu itu. Aku mohon, Pliiss..!” dia
mengatupkan kedua tanggannya persis di depan mukanya dengan wajah penuh harap.
“Tama teman baikku sejak dulu. Sejak masih
sama-sama di perhimpunan pers mahasiswa. Meskipun nggak dalam satu lembaga,
setidaknya aku dan Tama sudah jadi tema akrab beberapa tahun yang lalu. Jauh
sebelum aku bertemu kamu.”
“Soal kemarin, bagaimana bisa aku tahu kalau
kau perokok. Tama pernah sekali bercerita tentangmu. Sepertinya dia bangga denganmu,
bisa menjadi perempuan bebas pada setiap pilihan-pilihanmu. Aku bisa melihat
dari rautnya yang sumringah setiap membicarakan kamu, yang bisa memilih
kehendakmu tanpa paksaan siapapun. Awalnya, kukira kau perempuan yang hanya
tahu diskusi dan buku, dan menganggap perempuan yang perokok adalah begundal.
Ah ternyata kau sendiri adalah begundal.”
Kami tertawa puas. Detik berikutnya sama-sama
terdiam. Tidak ada yang berani melanjutkan percakapan itu. Tiba-tiba ia
mengucapkan kalimat yang tidak sepatutnya ia ucapkan.
“Aku nggak mau masuk tanpa permisi di antara
kisah kalian. Aku mohon hapus sekarang, ya?”
“Enggak! Kau nggak ada hak memaksaku
demikian, Bhima.”
“Apa untungnya mempertahankan egomu? Yang
ada hanyalah pertikaian antara kau dan Adhitama, Fit!”
Kali ini dia mengeluarkan suara dengan nada keras dan membentak. Aku hanya diam dan menunduk tanpa megeluarkan sepatah kata pun. Bagaimana pun aku tetap teguh. Keadaan kembali tegang.
the monkey times |
***
Sedikit menggeser apa yang sempat diutarakan Agus Noor soal mana yang lebih hitam, maka kutanya saja, mana yang lebih pahit, secangkir kopi tanpa
gula atau hati seseorang yang dibiarkan hampa dan luka yang menganga?
Salah satu cara menyelamatkan kebosananku
adalah menyayangimu, waktu itu. Namun satu cara yang dapat menyelamatkan
kebahagiaanmu dan kebahagiaannya adalah dengan melepasmu. Kita sepakat
menelantarkan kisah ini dalam kesunyian. Setidaknya aku masih punya puisi yang
sudi menemani, dan kau masih punya lukisan-lukisan yang mengajakmu bercanda.
Banyak perempuan tidak bahagia dengan keadaan
dan rutinitasnya. Bukan berarti mereka tidak bersyukur dengan pemberian
Tuhannya. Itulah sebabnya, mereka melampiaskan dengan cara berkhayal untuk
menghibur diri demi menghapus ketidakbahagiaan yang singgah itu.
Aku dengar, kau memilih tinggal di Swiss?
Kukira kau memilih tempat yang pas untuk menghasilkan setiap jepretan yang
indah. Yang kutahu, di sana banyak pegunungan tinggi yang diselimuti salju, gereja
yang lancip, danau dan rumput hijau yang berkilau. Kau tinggal mengarahkan
kamera saja untuk mengabadikan dan menghasilkan momen-momen indah.
Katamu, ada yang terlupa, ada yang terluka. Dan
ini caraku kembali tenang, dalam batas yang aku mampu. Sendiri.
Untukmu yang dulu di Parapata, Selamat memulai cerita baru dengan kesendirian yang lebih lama singgah dan lebih dulu bertempat. Aku berdo’a kepada Yang Maha Cinta, semoga kesendirian itu tidak berakhir pada kesunyian.
- Desfita Alvaro-
Aku namai Kota Parapata. Sebab yang pernah aku tonton
dari sebuah film, Parapata adalah kota tersembunyi yang memiliki tumpukan emas
yang sangat melimpah. Bahkan, jika emas di seluruh dunia dikumpulkan sekalipun,
tidak akan melebihi banyaknya emas di Kota Parapata. Dan aku menamai kota itu
dengan sebutan, Kota Parapata. Di sana ada kau, yang memiliki setumpuk
kepribadian yang membuatku jatuh hati.
Bahkan dari sekian lelaki yang pernah aku jelajahi,
kau menyimpan kepribadian yang tak jauh beda denganku, cukup berandal. Hanya
perlu sepersekian detik untuk jatuh hati padamu. Namun tidak perlu waktu yang
lama juga untuk melupakanmu. Sebab rindu yang kalang kabut itu kau serahkan
pada pawangnya, dan sudah reda tanpa perlu waktu yang lama.
Tidak mudah untuk dapat melihat tumpukan emas
di Parapata. Apalagi memilikinya. Jika hendak melihat tumpukan emas tersebut, setiap
dari kita harus melewati tantangan dan ujian. Berbeda denganku, ini bukan
sedang di Parapata yang sebenarnya. Aku harus bisa menjawab setiap pertanyaan
menantang, dan tidak jarang berujung perdebatan untuk bisa mencapai wajahmu
yang berkepribadian itu.
Namun aku selalu menyembunyikan setiap jawaban.
Bagaimana bisa aku mengemas kalimat dalam setiap jawaban itu bila setiap
jawaban mengandung sayatan demi sayatan? Aku memilih disayat pertanyaan
daripada harus jujur. Aku yakin, jawaban jujur sekalipun tidak akan
mengantarkanku mencapai wajahmu yang itu. []
Vima Naila Ulfina | Sapa di IG: @vimafim_ |
0 Comments