Salah
satu postingan di media sosial Tempo mengingatkanku, bahwa persoalan iklim
tidak akan selesai hanya karena kita memeringati Hari Bumi tiap 22 April. Netizen
mengira akun media Tempo diambil alih oleh orang yang tidak bertanggungjawab,
sehingga memposting peringatan hari bumi di tanggal yang salah. Terlepas dari
tujuan utama postingan tersebut, aku menyadari bahwa selama ini kita belum
benar-benar tergerak pada isu lingkungan, krisis global yang akan
menenggelamkan kita, sebentar lagi.
Seringkali,
kita berbondong-bondong memposting ucapan ‘Selamat Hari Bumi’ sembari membuang
botol air minum atau plastik bekas jajan di pinggir jalan, menumpuk popok bayi berbagai
merek dan melemparkannya ke sungai, atau membuang limbah industri rumah tangga
ke selokan. Mungkin, kita juga kerap abai saja mendapati orang-orang mencemari
lingkungan dengan beragam caranya, menganggap itu bukan urusan kita.
Tapi
satu hal yang menurutku adalah kabar baik ketika membaca salah satu berita di
laman Kompas, mengenai hasil survei Cambridge Internasional bertajuk Global
Perspective pada awal Maret 2020 lalu. Bahwa siswa di Indonesia ternyata
memiliki kepekaan pada isu lingkungan, dibuktikan dengan hasil survei yang
menyebutkan isu lingkungan jadi isu terbesar kedua yang mesti segera diatasi.
Dari
survei itu juga bisa diketahui pandangan anak-anak muda Indonesia (usia 13 – 19
tahun) tentang keadaan lingkungan di sekitarnya dan tindakan apa yang mungkin
bisa dilakukan, seperti mengubah gaya hidup, membagi pengetahuan kepada
keluarga dan orang terdekat serta menyebarkan informasi-informasi yang
berkaitan langsung dengan isu lingkungan (Kompas.com, 13/03/2020).
Yaa,
bagaimanapun kita adalah satu titik kecil dari semesta. Tapi anak-anak tetap merupakan
generasi masa depan paling terdampak dari krisis lingkungan yang terjadi hari
ini. Emisi karbon akan terus bertambah dan semakin tinggi seiring berkurangnya
lahan hijau, baik karena kebarakaran hutan atau alih fungsi lahan dan
pembangunan yang tidak lagi memerhatikan dampak lingkungan.
Maka
selain mengubah gaya hidup dengan mengurangi konsumsi plastik, ada satu hal
penting yang mesti diajarkan pada anak sejak dini, yakni menanam dan terus
menanam. Sebab menanam adalah cara paling hening untuk melawan. Mengajarkan cara
pandang melawan dengan menanam pada anak-anak tentu tidak salah. Justru cara
pandang itu merupakan investasi masa depan, agar hutan tidak semakin kikis oleh
kerakusan korporasi dan agar oksigen tetap gratis untuk kita hirup sepanjang
waktu yang kita miliki.
Kita masih tetap menanam
disanding petani-petani Kulon Progo, Gane dan sepanjang pegunungan
Kendeng
yang hampir-hampir tak lepas dari mimpi buruk
menantang sawit, menantang semen, klaim-klaim tambang
kita mesti terus menanam
melindungi rumah dan tanah ibu bapa
dan gunung-gunung yang diincar sumberdayanya
kita yang menanam, kita melawan. []
0 Comments