Kalian duduk melingkar sembari mendengar seorang tua yang bermaksud
menyampaikan cerita mengenai seorang yang terbuang dan mengalami kegagalan demi
kegagalan. Orang tua itu sesungguhnya hanya membual, tapi kalian menurut saja,
sebab kalian tahu bahwa hidup ini sarat dengan bualan dan rangkaian
kepura-puraan. Orang tua itu lalu menawarkan tiga paket yang bisa kalian pilih
salah satunya, dan kalian memilih satu paket cerita mengenai si tokoh yang
gagal memenangi sayembara.
Kalian tak perlu bertanya mengapa si tokoh gagal memenangi
sayembara, sebab kalian telah sering dengar ceritanya. Kalian pun tak perlu
menanyakan alasan si tokoh mengikuti sayembara, sebab orang tua yang hendak
menyampaikan cerita ini pun tak tahu. Ia hanya tahu bahwa tokoh ini pantas
memenangi sayembara dan membawa pulang hadiahnya, memamerkannya kepada para
tetangga serta menaruhnya di tempat paling terpuji di istana barunya yang
sederhana.
Tapi toh si tokoh berparas tampan namun sendu ini tak pernah
memenangi sayembara itu, maka ia mesti berlapang dada menerima
ketidakberhasilannya, pun dengan kalian yang mendengar cerita ini selagi badai
hujan tak memungkinkan untuk ditembus.
Tokoh yang diceritakan si pak tua adalah seorang ksatria yang
terlahir ke dunia tanpa pernah diharapkan oleh ibunya. Kalian boleh menyebut
ini sebagai sebuah insiden. Insiden yang dipicu oleh sebuah mantra, lebih
tepatnya. Bayi yang terlanjur lahir tapi tak diharapkan itu lalu dihanyutkan ke
sungai Aswa sebelum ditemukan oleh istri kusir kuda sebuah kerajaan. Kalian
tahu belaka bahwa si kusir bernama Adirata, sedangkan istrinya bernama Rada.
Bagaimana nasib bayi itu di tangan suami-istri berkasta rendah itu?
Aih, seharusnya kalian tak perlu menyinggung-nyinggung soal kasta dalam hal
ini. Kalian telah sama-sama mengenal tiga mata semboyan Revolusi Perancis,
bukan? Tak ada kasta tinggi atau kasta rendah dalam ajaran semboyan revolusi
itu. Dan meskipun si bayi yang kelak diberi nama Radea itu tak pernah mengenal
semboyan Revolusi Perancis, ia akan mengamalkannya tanpa perlu mengharap pujian
dari kanan-kiri.
Baiklah, kiranya cukup sedikit saja pak tua itu menyasar perihal
Revolusi Perancis. Kalian cukup membiarkannya melanjutkan tuturan cerita hingga
dingin yang merayapi tubuh kalian perlahan-lahan sirna. Radea terlanjur bulat
dengan tekadnya mengikuti sayembara di kerajaan megah bernama Pancala. Ia naik
kuda seorang diri di sebuah pagi yang cerah dan dihiasai seleret keemasan dari
langit.
Dengan ilmu memanah yang terasah dan bakat berupa ketenangan yang
jarang dimiliki oleh orang-orang kebanyakan, ia haqqul yaqin dapat
mengungguli ksatria-ksatria agung yang bakal jadi kompetitornya. Napasnya kian
memburu seperti dengus napas kuda yang berlari kencang menerjang kerikil-kerikil
liar di sepanjang hutan. Ia lalu menyempatkan diri beristirahat, juga memberi
kesempatan pada kudanya mengendurkan sendi-sendi yang letih.
“Saya pasti membawa pulang putri Pancala itu, Mama!” janjinya pada
Rada sebelum berangkat.
“Tuhan memberkatimu, Nak. Jangan grogi!” pesan Rada sembari
menyiapkan bekal makanan berupa nasi tiwul dan sayur ikan tongkol.
Bekal makanan yang disimpan di kantong pelana kuda itu kemudian
disambarnya, dilahapnya beberapa jumput, lalu disimpannya lagi untuk nanti. Ia
kembali memacu kudanya hingga menemukan sebuah kerajaan yang indah di tengah
kerumunan manusia. Ia menghentikan kudanya, menuntun beberapa langkah dan berhenti
di sebuah kios gerabah.
“Selamat siang, Ki Sanak. Perkenankan saya bertanya sebentar!” sapanya
pada si penjual gerabah.
“Selamat siang. Ada yang bisa saya bantu, Tuan Muda?” tanya si
penjual gerabah.
“Benarkah saya sedang memasuki wilayah Pancala?”
“Mohon maaf, Tuan Muda, saya belum tahu nama daerah ini, saya pun
pendatang baru. Saya bahkan belum mengurus kartu tanda penduduk.”
“Baiklah, Ki Sanak. Segeralah melapor ketua RT setempat. Saya akan
bertanya kepada yang lain.”
“Silakan, Tuan Muda.”
Radea berjalan lagi sambil menuntun kudanya yang sedang girang dan
sehat. Tak lama kemudian ia berhenti di kios penjual kue cucur.
“Selamat siang, Nyai. Saya mau bertanya, betulkah ini wilayah
Pancala?” tanyanya sopan.
“Kuntul sobo sawah. Betul ora salah. Tuan Muda mau ikut
sayembara? Orang-orang sudah berkumpul di alun-alun.” jawab si penjual kue
cucur.
“Terima kasih, Nyai. Nyai ini pandai berpantun rupanya.”
“Tapi saya ini berjualan kue cucur, Tuan Muda, saya tidak berjualan
pantun.”
“Ya, Nyai, saya tahu. Saya juga tahu Nyai tidak berjualan pupuk
bersubsidi.” Ia terkekeh sebentar sebelum melanjutkan, “kelak jika saya jadi
menantu raja Pancala, saya akan borong kue cucur Nyai. Saya janji.”
Perempuan paruh baya itu hanya tergelak menanggapi ucapan Radea
yang polos. Tanpa ia tahu, Radea telah meninggalkan sekantong uang perak di
nampan kue cucurnya. Ia tak sempat berucap terimakasih. Baru saat menyadari
keberadaan sekantong uang itu, ia buru-buru bangkit, tapi Radea telah memacu
jauh kudanya menuju alun-alun Pancala.
Seribuan orang berkumpul dan berpecah peran masing-masing sebagai
brahmana, pedagang asongan, peserta sayembara, hulubalang, pejabat tinggi,
empat lusin prajurit, dan penonton dari kalangan rakyat biasa yang secara hukum
diakui sebagai penduduk sah negeri Pancala. Radea memarkir kudanya beberapa
meter dari kerumunan, mengikatnya di sebuah tiang pancang dari batang kelapa.
Disibaknya lautan manusia itu hingga ia menemukan tempat di dekat
panggung. Ia dapat lihat seorang lelaki dan seorang perempuan melenggang dengan
kesan megah dan terhormat. Si lelaki dengan senyum berwibawa adalah
Dristadyumna, sementara si perempuan jelita yang malu-malu itu adalah Drupadi.
Ya, tak salah lagi, itulah Drupadi, sang putri yang dihadiahkan
pada siapa saja yang mampu memanah tepat ke sasaran berupa mata ikan yang
berpusing kencang di udara. Beberapa orang bersorak sorai, sebagian yang lain
bersuit bibir demi mengagumi kecantikan dan kemolekan sang putri.
Tak berapa lama Dristadyumna menyiarkan aturan sayembara dan
mengumumkan nama-nama peserta yang sebagian besar adalah pangeran-pangeran dari
kerajaan yang berdekatan dengan Pancala. Satu-satu dari mereka lalu menggunakan
seperangkat tenaga demi mengangkat busur yang tergeletak di tengah arena
sayembara. Tak ada yang mampu. Berat busur itu nyatanya setara dengan seluruh
gugusan batu di sebuah perbukitan. Pangeran-pangeran terkemuka seperti
Jarasandha pun gagal mengangkatnya, juga Sisupala, juga Salya, juga Duryudhana.
Lalu tibalah giliran Radea. Semua penonton turut bersorak saat
melihatnya melangkah gagah ke arena. Gumpalan otot di lengan hingga lehernya
tak kurang membikin ibu-ibu muda menjerit histeris dengan mata berbinar. Mereka
tahu belaka bahwa Radea adalah pemanah yang hebat dan pilih tanding. Dengan
sedikit japa mantra ia lalu memejamkan mata, dan terangkatlah busur yang berat
itu dengan tangan kirinya. Ia dapat raih pula anak panah dengan tangan kanan.
Sorak sorai makin membubung memenuhi udara di atas alun-alun Pancala. Nama
Radea pun dipekikkan sedemikian rupa, membikin percaya dirinya naik memenuhi ubun-ubun. Ia akan
menjadi menantu raja Pancala, pikir mereka.
Tapi apa mau dikata, si ksatria baik hati sepertinya tak melulu
bernasib mujur. Drupadi yang dapat melihat gelagat keberhasilan Radea pun
bangkit, memaksakan sebuah perkara yang menggoreskan dendam di hati Radea dalam
waktu yang amat panjang.
“Tunggu! Saya hanya mau peserta sayembara ini dari golongan ksatria
atau dari kasta yang lebih tinggi, bukan putra kusir macam dia!” ucap Drupadi waswas.
“Tapi dia sudah menjadi raja di Awangga, Adikku! Dia pun sudah sah
disebut ksatria sebagaimana yang termaktub di dalam aturan lomba.” jawab Dristadyumna yang tak mau mengkhianati
kesepakatan.
“Sekali anak kusir kuda tetap anak kusir kuda. Sebagaimana anak
beruk tak mungkin menjadi anak merak, Kakak.” sanggah
Drupadi yang nampak makin waswas.
Radea tersenyum kecut menanggapi kata-kata sang putri yang menolak
keberadaannya dalam nada angkuh itu. Hinaan berupa anak kusir kuda itu sepintas
membikinnya tersentak, lalu dilepaslah anak panah dari tali busur yang
direntangkannya kuat-kuat. Si anak panah melesat cepat, tak berwaktu dan bunyi
desing samar-samar bergelayut di antara sepoi angin. Sasaran tinggal beberapa
senti, namun Radea menggunakan japa mantra demi memelesetkannya. Jarak sehelai
rambut saja, dan Radea berhasil membikin anak panah itu tak menembus target.
Sepintas terdengar gelegar dan awan gelap mengapung di angkasa.
Demikian murka alam karena seorang titisan dewa telah mencurangi titisan dewa
yang lain. Ialah Drupadi sebagai titisan Batari Agni telah mencurangi Radea
yang merupakan titisan Batara Surya. Radea tak memerlukan bicara apapun. Ia
hanya bersoja sembari membungkuk pada Dritadyumna dan panitia pemukul gong. Ia
meninggalkan panggung, menghilang di tengah kerumunan manusia, dan suasana
siang kembali normal seperti sedia kala.
Beberapa langkah sebelum mencapai kudanya ia dicegat oleh seorang
bertubuh dempal. Tak salah lagi, seorang bertubuh dempal dalam pakaian brahmana
itu adalah Bimasena. Rupanya ia bersama keempat saudaranya telah berada di area
alun-alun sejak beberapa jam yang lalu.
“Mengapa kamu mencegat saya, Bimasena? Biarkan saya pergi!” ucapnya
dalam bahasa India paling halus.
“Maafkan saya, Radea. Maafkan pula hinaan saya padamu tempo hari.”
“Tak mengapa. Saya sudah melupakannya. Saya tahu salah satu dari
kalian akan mengikuti sayembara itu. Jadi, perkenankan saya pergi. Semoga
berhasil.”
“Berlapanghatilah menerima keputusan Drupadi. Maafkan ia.”
“Barangkali itu sudah kehendak Tuhan. Saya mesti terima. Kelak,
bisa saja saya menghinanya sebagai pelacur karena bersuami lebih dari satu
orang. Saya tahu adikmu Arjuna akan memenangi sayembara ini. Dengan demikian
simpanlah murkamu kelak. Sampai jumpa, kawan.” ia berlalu sembari menepuk
punggung Bimasena.
Ia membawa kudanya berkitar beberapa saat di area pasar. Tak lama
kemudian terdengar lamat-lamat suara sorakan pujian atas sebuah kemenangan yang
bukan untuknya, tapi untuk Arjuna. Arjuna berhasil membawa pulang Drupadi untuk
diperistri, namun alangkah janggal karena hadiah itu mesti dibagi lima.
Yudhistira, Bimasena, Nakula, dan Sadewa tak boleh luput dari pembagian hadiah.
“Radea tak memperoleh apa-apa, pun tak perlu mencemaskan apa-apa.”
demikianlah pak tua menutup cerita yang memakan waktu sekira setengah jam.
Dua-tiga dari kalian menguap, seperti diserang kantuk, namun kalian
mesti melanjutkan perjalanan ke arah barat. Salah satu dari kalian kemudian
memanasi mesin mobil pikap begitu hujan tak lagi menyisakan rintik.
“Tidakkah kalian menginap semalam dulu? Kalian boleh menginap di
rumah saya.”
“Terimakasih, Pak. Mungkin lain kali. Kami harus segera tiba di
tempat lomba.”, jawab seorang yang paling muda di antara kalian.
“Lomba?”
“Ya. Jika kami bertemu dengan anda lagi, kami akan menceritakannya.
Kami yakin akan memenangkan lomba itu, dan hadiahnya akan kami bagi lima.”
“Baiklah. Semoga berhasil.”
Kalian berlima tersenyum dan bersiap menaiki bak belakang. Dan
sebelum si pengemudi bernama Gopala menekan persneling mobil pikap itu, seorang
yang paling gaek di antara kalian menanyakan nama pak tua itu. Ia pun bermaksud
membikin janji wawancara dengan si pak tua demi memenuhi tugas akhir kuliahnya
yang kebetulan membedah watak tokoh-tokoh pewayangan.
Dengan senang hati si pak tua memberitahukan alamat rumahnya–juga namanya, yang tak kurang membikin kalian
nyaris terperanjat, padahal gelegar petir telah lama berlalu.
“Ibu angkat saya memberi nama saya Radea.” []
*Sekira
70% jalan cerita di tulisan ini mengadopsi salah satu bab di kitab Mahabharata
gubahan Rsi Wyasa.
27 Maret 2020
PENULIS
0 Comments