Pada Mei 2019 lalu, saya resmi diterima menjadi mahasiswa baru S-2 di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Program magister yang saya ambil di UIN Sunan Kalijaga berada di Fakultas Pascasarjana, Program Interdisciplinary Islamic Studies, Konsentrasi Islam dan Kajian Gender. Alasan mengambil konsentrasi ini bukan tanpa pertimbangan yang matang.
Meskipun tidak linier dengan jurusan sebelumnya, akan tetapi kajian perihal
ketidakadilan dan ketimpangan gender sudah saya pelajari sejak di bangku
perkuliahan strata satu, juga lewat diskusi warung kopi dengan beberapa dosen
terkait. Kajian ini sebenarnya sangat relevan dengan perkuliahan di tingkat
sebelumnya, mengingat isu gender yang kompleks, bisa dikaji dengan beragam perspektif.
Selain itu hingga saat ini, masih banyak ditemui tafsir dan pemaknaan terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang misoginis-patriarkis, sehingga membutuhkan reinterpretasi atas teks-teks keagamaan, utamanya dengan menggunakan perspektif keadilan gender.
Seputar Papua |
Pengarusutamaan gender dalam pembangunan nasional yang termaktub dalam Instruksi
Presiden No.9/2000, saya kira juga belum bisa dihadirkan secara utuh oleh
pemerintah, untuk bisa memberikan perlindungan sosial kepada perempuan dan
kelompok rentan, kecuali dengan komitmen untuk terus mengawal gender mainstreaming tersebut dalam segala
lini kehidupan.
Selama menjalani perkuliahan di konsentrasi Islam dan Kajian Gender, banyak sekali pengetahuan baru yang saya dapatkan, yang membuat saya bisa membaca fenomena sosial dengan lebih kritis dan mengaitkannya dengan teori atau suatu konsep dan menganalisisnya dalam berbagai disiplin keilmuan.
Saya tidak hanya belajar memahami relasi
timpang antara laki-laki dan perempuan, akan tetapi juga belajar membaca
ketimpangan sistemik yang terjadi di masyarakat, baik antara masyarakat miskin,
kelas menengah, masyarakat desa dan kota, termasuk ketimpangan yang terjadi
pada kelompok minoritas, baik minoritas suku maupun agama dan kepercayaan.
Dewasa ini, persoalan yang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia, memang begitu kompleks. Selain sedang bersama-sama berjuang melawan pandemi Covid-19, bangsa ini juga masih harus menghadapi persoalan terkait sengkarut kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, persoalan intoleransi dalam beragama, diskriminasi pada kelompok minoritas, tingginya angka kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak, dan lain sebagainya.
Saya ambil contoh dua kasus intoleransi yang baru saja
terjadi, yakni pada September 2020. Jemaat HKBP KSB yang bertempat di Bekasi
mengalami gangguan dari sekelompok orang saat menjalankan ibadah pada 13
September lalu. Kemudian pada 20 September, sekelompok warga Graha Prima
melakukan tindakan intoleransi berupa pelarangan ibadah jemaat Gereja
Pantekosta yang ada di Bogor, dan hal yang sama juga terjadi di Mojokerto pada
21 September.
Adapun kasus kekerasan terhadap perempuan, saya mengambil data yang dikeluarkan oleh Komnas Perempuan dalam Catatan Tahunan Komnas Perempuan, yang menyebutkan bahwa selama 2019 terjadi kekerasan terhadap perempuan dengan total 431.471 kasus. Total tersebut dikatakan meningkat sebanyak 6% dari tahun sebelumnya. Selain itu saya menemukan fakta bahwa selama pandemi Covid-19, kekerasan dalam rumah tangga juga meningkat dan mayoritas korbannya masih menyasar perempuan dan anak.
Saya
mencuplik the conversation yang membahas
hal ini, bahwa selama pandemi, setidaknya sampai Agustus lalu, sudah ada 319
laporan kekerasan, di mana dua pertiganya adalah kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT). Data- data ini tentu membuat miris. Terlebih setelah RUU Penghapusan
Kekerasan Seksual (PKS) dikeluarkan dari Prolegnas 2020. Ini menjadi tantangan
besar juga bagi akademisi, untuk bisa mendukung terpenuhinya keadilan dan
pemenuhan hak para korban kekerasan, yang salah satunya adalah dengan mendorong
disahkannya RUU-PKS.
Solopos |
Menurut saya, generasi
dekade ini perlu memerhatikan dan memahami kompleksitas persoalan yang dialami
bangsanya, kembali memelajari sejarah bangsa Indonesia yang bhineka. Sebab
Indonesia membutuhkan generasi muda yang menjunjung tinggi keadilan, melek sejarah,
dan bisa mengimplementasikan ilmu pengetahuan yang didapatkannya dalam
kehidupan sehari- hari. Tapi kemudian pertanyaannya adalah, bagaimana generasi
muda masa kini mengintegrasikan ilmu pengetahuannya dengan konteks berkehidupan
yang plural dan kompleksitas persoalan yang tidak pernah selesai?
Salah satunya adalah dengan
membangun optimisme diri, dan jika melihat berita di media saat ini, generasi
muda Indonesia sesungguhnya telah berkontribusi dalam berbagai aspek kehidupan,
seperti ekonomi, pendidikan, kesehatan bahkan politik. Akan tetapi upaya-upaya
tersebut tidak akan berjalan dengan baik, ketika di dalam diri masing-masing
generasi muda enggan untuk saling menerima perbedaan, enggan mengedepankan
toleransi di tengah pluralitas dan enggan menghargai keberadaan kelompok
rentan. Sehingga perlu penyatuan visi dan misi yang riil sebagai tawaran untuk
mengimplementasikan sikap menjunjung tinggi toleransi untuk Indonesia yang
berkeadilan dan berkemajuan.
Saya pribadi masih terus belajar dan mengajak sesama untuk menjunjung kesetaraan dan keadilan antar sesama manusia dan secara kolektif ikut mendorong pemerintah melindungi perempuan dan anak, yang notabene masih menjadi subjek yang rentan terdampak, dan lain sebagainya.
Hal ini penting, sebab untuk menjadi generasi unggul yang membanggakan bangsa Indonesia, saya memiliki tanggung jawab besar untuk menanamkan sikap toleransi antar sesama manusia, mengajak generasi milenial untuk melek gender dan kritis pada isu-isu yang ada di Indonesia, serta berkontribusi memupuk perdamaian, agar tercipta kesalingan dalam berkehidupan di tengah keberagaman bangsa. []
Oktober 2020
0 Comments