Bau solar. Ia tak pernah suka mencium bau itu. 35
menit lagi bisa dipastikan semua isi perutnya akan keluar. Ia sendiri paham
kebutuhannya, beberapa kantong plastik warna gelap, kadang hitam berukuran
tanggung dan minyak angin.
Tidak ada yang bisa memaksanya terbiasa atau berpikir
untuk menyukai solar atau mensugesti diri dengan pikiran positif lain. Sebab beberapa
hari sebelum perjalanannya dimulai, ia telah mengalami kemuakan itu.
Tujuannya kali ini adalah Flores, tempat yang ia
idam-idamkan bisa kunjungi sejak lama. Sejak percakapan tanpa dasar beberapa
tahun lalu, ia menjadi punya ambisi baru. Moksa di sana, mungkin. Dalam kesepian
dan kesendiriannya yang hakiki, tanpa sesiapa.
“Ada satu daerah di sana yang bisa kau kunjungi. Kelak,
kau akan damai di sana.” Kata seorang perempuan sepuh di sebelahnya yang datang
tanpa permisi dan tiba-tiba sudah menyeruput kopi di samping kursi yang ia
duduki.
“Maaf?”
“Di sana, apa yang kau butuhkan bisa terlaksana.
Simpan amunisimu untuk kau tuliskan segalanya di sana.”
***
Tapi bagaimana menumpahkan kekesalah demi kekesalan,
selain dengan berteriak sekencang-kencangnya di ujung bukit? Sebab diam membuat
semakin dongkol dan aku tidak setuju dengan segala yang dilakukan oleh dua
sepuh di depanku. Bahkan apa-apa yang dilakukan oleh dua kakak sebelumku. Aku tidak
suka hidupku di sini.
Apa yang mereka kejar? Apa yang aku kejar? Gelar? Eksistensi?
Atau hal lain yang mereka dan aku sama-sama tak paham? Rasa-rasanya sudah tidak
ada yang membuatku bertahan di sini, selain bakti. Pun aku tak pernah bisa
berbakti. Buat apa aku bertahan?
Aku selalu ingin pergi saja, kemana pun itu asal tidak
lagi di tempat yang mengundang kalut ini. Aku ingin pergi tapi bukan seperti
Amba yang harus menyembunyikan Srikandi Eilers dalam tubuhnya.
Aku ingin pergi seperti ia yang dengan keyakinan
penuh, memilih lari dari semua tanggung jawab yang dibebankan dari semua orang
tua kepada anak-anaknya. Bukan sebagai sulung, tentu. Akan tetapi seperti
bungsu yang tidak tahu diri.
Aku, mungkin sama seperti bungsu-bungsu lain di luar
sana, yang tidak mengerti kenapa begitu muak dengan keluarganya sendiri. Memang,
aku tidak merasa muak dengan dua sepuhku, tapi aku muak dengan apa-apa yang
kujalani dengan mereka.
Aku muak dengan diriku sendiri, mungkin. Dengan sebab
yang entah, dengan alasan-alasan yang tidak pasti.
Dan terlepas dari itu semua, sudah terlampau banyak
drama yang aku saksikan di sini. Hanya hidup karena mesti ada timbal balik,
bukan karena ketulusan dan bakti.
Ah, baiklah, lupakan saja. Aku akan segera menyusun
apa-apa yang mesti kususun. Bukanlah lari juga bagian dari pilihan hidup yang
bisa dipilih dan aku punya hak untuk mengambil pilihan itu?
Bukankah aku punya hak untuk memerdekakan tubuhku?
***
Perempuan sepuh itu meninggalkannya sendirian. Tak menoleh
atau memberi tanggapan apa pun. Membuatnya bertanya-tanya, darimana sepuh itu
tahu ia ingin ke Flores dan ia punya sesuatu yang ingin ia lakukan di sana.
Amunisi. Ia memang membutuhkan banyak amunisi agar
keinginannya bisa segera terpenuhi. Agar ia bisa mencapai tempat itu, dan
segera melupa pada rumah dan segala kenangan yang entah ingin ia hapus atau
ingat-ingat sepanjang usianya.
Ia hanya yakin akan segera menenggelamkan jarak dan
menghadapi kekalahannya dengan sembunyi. Sebab tinggal artinya sama dengan
tunduk. Sementara ia tak ingin menundukkan tubuhnya pada ruang kedua sepuhnya. Ia
tak rela tunduk.
Beberapa jam lagi ia akan sampai pada sesuatu yang
membuatnya rela meniadakan tubuhnya. Pada kesepian yang cukup, dan kehidupan
yang mamang. Pada gelap demi gelap yang menjelmakan segala cinta dalam
bentuk yang tak pernah ia temui sebelumnya. []
0 Comments