Queer dan SOGIESC
Queer merupakan satu teori yang dibawa oleh Butler. Dasarnya
tidak lain pada pemahaman bahwa identitas seseorang tidak bersifat tetap dan
stabil. Ia bersifat historis dan dikonstruksi secara sosial.
Secara teori, Queer bisa digolongkan sebagai sesuatu
yang anti-identitas. Ia bisa dimaknai sebagai sesuatu non-normatif atau non-esensial.
Dalam teori Queer kita kemudian mengenal adanya istilah anti-normatif, anti-kategori
dan anti-dominasi.
Bagi Butler, konstruksi gender dan seksualitas selalu
mengalami fluktuasi. Jadi hadirnya teori Queer ini bisa dibilang mencoba
mendobrak kategorisasi identitas dan seksualitas. Termasuk juga upaya untuk
melakukan resistensi, sebagaimana yang dilakukan oleh para penganutnya.
“The aim here is transgression and opening up the
boundaries of sex/gender. In contrast to this, the aims of a liberal
transsexual politics are to make living as the ‘the other sex’, that is the sex
that the trans person feels him or herself to be, more acceptable.
This may involve the view that sex reassignment
surgery results not in transsexuality, but in passing as a woman or man, and
the political goal is equal rights for transsexuals so that they have the
possibility to do so.”
Butler berpendapat bahwa upaya yang diambil oleh Kristeva
dan Irigaray sebelumnya dalam menetapkan posisi subjek alternatif bagi
perempuan, pada akhirnya tetap sesuai dengan imperatif heteroseksual, dengan
menjaga adanya dualitas seksual. Jadi dengan demikian, perbedaan dan posisi
biner antara pria dan wanita, dibiarkan utuh. Seakan menyerah pada
heteroseksualitas normatif.
Dalam hal ini menurut Prosser, Butler sedikit abai dan
tidak memperhitungkan adanya peran tubuh dalam korporealitas dan literalitas.
Ia mengabaikan materialitas tubuh yang dibingkai dan dibentuk, melalui kategori-kategori
diferensial seks.
Bagi Prosser, Judith Butler terlalu fokus pada
literalitas yang merupakan efek performatif dari naturalisasi dari jenis
kelamin dan gender. Selain itu, adanya keinginan individu untuk berasimilasi
sebagai perempuan atau laki-laki, dan narasi otoritas tubuh pada waria,
ditambah adanya fakta bahwa tidak semua waria adalah queer, baik dalam arti
homoseksual maupun yang lain, juga harus diperhatikan.
Namun demikian, terlepas dari kritik yang disampaikan
Prosser kepada Butler, apa yang menjadi pandangan Butler tidak bisa dilepaskan
dari adanya SOGIESC. Di mana konsep ini lahir dari ketiadaan ruang dalam
masyarakat untuk bisa menerima keberagaman.
LBH APIK Semarang |
Latar belakang massifnya konsep ini juga karena
banyaknya pelanggaran HAM yang terjadi pada individu yang dianggap berbeda. SOGIESC
merupakan sebuah konsep mengenai ketubuhan, orientasi seksual dan ekspresi
gender, yang dipakai untuk memahamkan masyarakat.
Sexual Orientation
Ketertarikan seseorang secara seksual dan emosi pada
jenis kelamin tertentu. Di sini kita mengenal ada heteroseksual, biseksual,
homoseksual aseksual, dan sebagainya.
Gender Identity
Konstruk sosial atas peran-peran yang dilekatkan pada
jenis kelamin tertentu. Di sini individu mutlak memiliki otoritas atas
identifikasi dirinya sendiri.
Expression
Terkait bagaimana individu mengekspresikan sisi maskulin,
feminin atau androgini dalam kesehariannya.
Sex Characteristic
Berkaitan dengan karakteristik biologis pada diri
individu manusia (jumlah kromosom, gonad, dsb)
Apabila kita sudah bisa memahami apa itu seks, gender,
seksualitas, identitas gender, ekspresi gender, orientasi seksual, maupun
identitas seksual, maka kemudian kita akan bisa mengenal apa itu LGBTIQ dan
istilah lain yang melingkupinya.
LGBTIQ merupakan singkatan dari Lesbian, Gay,
Biseksual, Transgender-Transeksual, Intersex, Queer, dan Questioning. Di sini
sangat penting untuk menekankan bahwa keragaman identitas seksual dan gender
bukanlah sesuatu yang salah dari segi kesehatan. Hal ini karena sejak 1990-an, World
Health Organization (WHO) telah mencabut homoseksualitas dari daftar
gangguan jiwa.
Kementrian Kesehatan RI pun juga telah mengikuti hal
tersebut dengan mencabut homoseksualitas dari Pedoman Penggolongan dan
Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ). Dengan demikian, homoseksualitas merupakan
varian yang wajar (biasa) dari seksualitas manusia (yifosindonesia.org).
Latar belakang hadirnya konsep ini, sebagaimana kita
utarakan di awal, tidak lain karena maraknya pelanggaran HAM. Banyaknya kasus
diskriminasi, persekusi dan kekerasan terhadap mereka yang punya orientasi
seksual berbeda, harus disadari adalah buah dari konstruksi budaya yang
memengaruhi pemahaman masyarakat.
Masyarakat menganggap acuan ‘Normal’ adalah pada ‘Hetero-normatif’,
jadi seseorang hanya akan dianggap normal, ketika ia heteroseksual. Selain dari
itu akan dianggap tidak normal, membawa penyakit, mengandung dosa, dan lain
sebagainya.
Inilah yang kemudian juga membuat prinsip-prinsip HAM
(to respect, to protect, to promote, to fulfill) juga tidak mudah
diterapkan pada kelompok LGBTIQ. Selain karena persepsi masyarakat tentang
LGBTIQ yang masih bias, beberapa pandangan agama juga berkontribusi
mendiskriminasi hak-hak LGBTIQ.
Intervensi pemahaman agama yang dogmatis, ditambah
reproduksi pengetahuan yang dilakukan oleh masyarakat mengenai keberagaman
seksual dan gender, membuat posisi kelompok ini makin tersudut. Nah, dari
sinilah lahir Yogyakarta Principle.
Yogyakarta Principle merupakan catatan prinsip-prinsip
dalam penerapan UU HAM yang berkaitan dengan orientasi seksual dan identitas
gender. Prinsip-prinsip ini disusun oleh sekelompok ahli hukum dan HAM dari
berbagai negara pada 6-9 November 2016, di Universitas Gajah Mada. Prinsip-prinsip
Yogyakarta mencakup standar HAM dan aplikasinya dalam isu orientasi seksual dan
identitas gender.
Meskipun belum punya kekuatan hukum, prinsip-prinsip
Yogyakarta ini bersifat universal dan bisa dipakai sebagai referensi sekaligus rekomendasi
untuk kegiatan advokasi HAM, yang terkait dengan isu orientasi seksual dan
identitas gender.
Terdapat 29 Point yang dirumuskan dalam Yogyakarta Principle, antara lain: hak
atas penikmatan HAM secara universal, hak atas kesetaraan dan Non-Diskriminasi,
hak untuk diakui di depan hukum, hak hidup, hak atas rasa aman, hak atas
privasi, hak untuk bebas dari pencabutan secara sewenang-wenang, hak atas peradilan
yang adil, hak untuk mendapat perlakukan manusiawi dalam tahanan, dan
sebagainya (yifosindonesia.org) []
Catatan: Bukan Tulisan Pribadi.
0 Comments