"Jika ada kehidupan setelah kematian, bisa kau mengenaliku?"
Barisan
bintang di langit itu belum bisa diterka. Tanpa kacamata, Koesno seperti
kehilangan separoh kemampuannya menerawang di kegelapan malam. Akhirnya ia
memanggil Rukmini dan mengajaknya menikmati suhu udara yang tinggal 14 derajat
itu.
“Pakailah
jaket, Ruk. Di depan dingin.” Pintanya. Tak lama berselang, perempuan berusia 65
tahun itu berdiri di depan pintu dengan switter biru laut.
“Aku
buatkan wedang jahe, Koes… diminum, mumpung masih belum kena angin.” Sembari
menyodorkan secangkir wedang jahe kesukaan Koesno. Mereka berdua duduk di kursi
yang beda. Menghadap ke arah barat tanpa saling tatap. Mata keduanya memendar
lalu menengadah ke awangan.
“Kau
tahu apa yang aku cari? Aku tak bisa menemukannya.”
“Ini,
pakai dulu, Koes. Kau mulai melupakan hal-hal sepele yaa… Kacamatamu juga.”
Koesno
membenarkan kacamata tebal itu dan kembali menerawang ke langit, mencari apa
yang sedari tadi ingin segera ia temukan. Tapi setelah sekian jam berlalu, tak
ada tanda apapun di sana, hanya pekat dan semakin dingin.
“Koes,
ada hal yang ingin aku bicarakan.”
Rukmini
mulai menghadapkan diri pada tubuh keriput itu. Degupnya masih sama seperti
berpuluh tahun silam, saat teras depan kantor kepala sekolah menjadi persaksian,
dan alam ikut menemani perjudian mereka dengan nasib, entah baik atau buruk.
Perjudian mengantarkan dua sosok itu memilih mengalah pada waktu. Menjadi bukan apa-apa, melawat tanpa saling betegur sapa, memilih jalan masing-masing, sampai akhinya Tuhan kembali mempertemukan mereka dalam keadaan yang sama, disaksi alam dan teras kantor yang tak berubah sejak terakhir kali kedua kaki itu melangkah pergi, mengais amunisi.
Koesno
dan Rukmini masih seperti ketika jejak keadilan itu dinilai untuk pertama kali.
Perempuan muda yang tidak ingin melulu menjadi aktor domestik, terpaksa
menghianati apa-apa yang diberlakukan di lingkungan tempatnya tinggal. Ia yang menggugat
dengan sekuat tenaga, dan kalah.
Kepergiannya
menyisa luka dan bahagia, lalu mengantarnya kembali ke tempat yang biasa ia
sebut rumah. Sedang Koesno mendapati diriannya sudah terlalu lama mengembara.
Ia tak pernah merasa kekurangan amunisi menjadi muda dan berambisi.
Tapi
kali itu, tiba-tiba saja ia merindukan perempuan yang telah memberi beberapa tahi
ngasu dalam pertikaian mereka. Sehingga pertemuan itu Tuhan takdirkan kembali,
dalam keadaan yang sudah sama-sama hilang.
“Apa
kau akan mengingatku di kehidupan setelah ini?”
“Kalau
ada kehidupan lain setelah kita mati, entah menjadi apa aku, aku harap
seluruhmu masih utuh.”
“Maksutmu?”
Koesno
hanya tersenyum, mengambil wedang jahe dan menyeruputnya. Sekali lagi, ia
memuji bahwa salah satu keberuntungannya adalah merasakan wedang jahe racikan
Rukmini, bahwa tak ada wedang jahe selezat buatan kekasihnya itu.
“Ruk,
kau akan tau dan paham nanti. Kupastikan datang masa kita kembali asing,
menjadi sahabat dan saling mencintai dengan cara kita.”
“Tandanya,
kau akan mengenaliku juga.”
“Mungkin
tidak, tapi mari kita berdoa. Jika ada kehidupan lain setelah kematian ini,
Tuhan akan melahirkan kita kembali, mempertemukan kita kembali sebagai manusia.
Bagaimanapun bentuk dan rupa, dalam prosesnya, kau dan aku akan saling
menemukan.”
Rukmini
tahu, tidak ada sesuatu yang mustahil terjadi. Tapi siapa manusia yang benar-benar
bisa tahu ada tidaknya kehidupan setelah kematian? Selain dari mereka yang
mengalaminya sendiri, dan artinya tidak akan kembali? Siapa tahu malam itu
Koesno memang hanya membual di masa tuanya. Tidak benar-benar serius menanggapi
pertanyaan Rukmini. Apakah Rukmini juga serius dengan pertanyaannya?
Malam
itu mereka menutup obrolan setelah wedang jahe tinggal ampas. Keduanya kembali
ke kamar masing-masing di jam yang sudah ditentukan pengelola panti. Tak ada
penghuni panti jompo yang boleh berada di luar kamar sampai larut. Sebab akan
membuat kesehatan mereka terganggu. Tak ada satu lansia pun yang melanggar
peraturan itu, kecuali satu. Kacamata Koesno Sulung…
0 Comments