Pada Desember 2006, Komnas Perempuan lewat Sub Komisi Pengembangan Sistem Pemulihan Bagi Korban Kekerasan, sempat merilis sebuah dokumen berjudul ‘Advokasi Anti Kekerasan terhadap Perempuan; Pengalaman Forum Belajar Bersama Komnas Perempuan’. Dokumen dengan tebal 52 halaman itu ditulis oleh Eko Bambang Subiyantoro dengan beberapa pembaca kritis.
Kerja advokasi adalah untuk kepentingan korban, memberdayakan dan memulihkan korban, bukan menyebabkan korban mengalami kekerasan untuk kedua kalinya
Ada tiga bab yang
disampaikan dalam dokumen resmi ini. Pada bab pertama membahas tentang
perbedaan konsep advokasi bagi perempuan korban kekerasan, peran advokasi dan
prinsip-prinsip kerja advokasi anti kekerasan terhadap perempuan, serta
penyempurnaan advokasi sebagai ruang pemulihan korban. Setidaknya ada tiga
aspek yang membuat advokasi anti kekerasan terhadap perempuan menjadi khas dan
berbeda dari advokasi yang dipahami secara umum.
Letak perbedaan tersebut ada pada aspek pelaku, yang tidak sekadar aktor negara, akan tetapi juga bisa dari orang terdekat seperti ayah, paman, kakak laki-laki maupun saudara lainnya. Selain itu, kekerasan terhadap perempuan tidak mengenal lokus. Ruang yang dianggap paling aman seperti rumah, pun bisa menjadi tempat terjadinya kekerasan. Kemudian dalam advokasi anti kekerasan terhadap perempuan juga mempertimbangkan adanya diskriminasi sistemik yang mengakar di masyarakat atau institusi kultural, sehingga kerja advokasi dalam hal ini lebih kompleks.
Dalam menjalankan
advokasi anti kekerasan terhadap perempuan, ada enam prinsip ketat yang juga
mesti dipahami, yakni advokasi harus bisa menjadi alat transformasi sosial,
melakukan penguatan jaringan untuk mendukung kerja organisasi, mengutamakan hak
atas kebenaran, keadilan sampai pada pemulihan fisik dan psikis korban,
menjalankan advokasi dengan prinsip demokrasi dan dilaksanakan secara
transparan, menyelenggarakan proses pasca-advokasi seperti pemulihan pada
korban dan yang terakhir memberi perlindungan kepada perempuan yang mendampingi
korban kekerasan (Subiyantoro, 2006, 8).
Kemudian di bab dua,
penulis memaparkan strategi dan pengalaman dari tiga lembaga yang aktif
menyelenggarakan advokasi bagi perempuan korban kekerasan. Tiga organisasi
tersebut adalah Kelompok Perempuan Pro-Demokrasi (KPPD) yang ada di
Surabaya, Women Crisis Center (WCC)
Cahaya Bengkulu dan Lembaga Pemberdayaan Perempuan (LPP) yang ada di Bone. Dari
ketiga forum belajar bersama tersebut diketahui bahwa proses advokasi bagi
perempuan korban kekerasan menemui lebih banyak kendala persoalan dan sangat
berbeda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya.
Baca juga: Pentingnya Memahami Kekerasan Seksual di Masyarakat
Meski sama-sama getol
memperjuangkan hak perempuan korban kekerasan, akan tetapi budaya masyarakat
yang berbeda membuat langkah atau cara yang ditempuh untuk bisa memenuhi
prinsip-prinsip advokasi anti kekerasan terhadap perempuan juga berbeda.
Perbedaan ini bisa dilihat dari proses yang terjadi di KPPD Surabaya dengan
proses yang dilalui LPP Bone.
Ketika KPPD Surabaya
sudah bisa mendorong disahkannya Perda No. 9/2005 mengenai Penyelenggaraan
Perlindungan Perempuan dan Anak, LPP di Bone masih perlu melakukan pendekatan
kultural terlebih dahulu dengan tokoh adat dan tokoh agama setempat guna
merealisasikan bentuk-bentuk penanganan bagi perempuan korban kekerasan.
Tapi meski memiliki
perbedaan dalam prosesnya, ada lima aspek yang bisa ditangkap dari adanya forum
belajar besama yang disampaikan oleh tiga lembaga tersebut, bahwa dalam proses
advokasi, aspek utama yang dibutuhkan adalah persamaan persepsi antara korban,
pendamping dan pihak-pihak yang terlibat dalam proses advokasi.
Kemudian proses
advokasi juga membutuhkan dukungan dari luar, sehingga penting kiranya merawat
jaringan atau membangun aliansi. Kapasitas kelembagaan juga menjadi aspek yang
perlu diperhatikan, agar dalam menjalankan advokasi bagi korban kekerasan,
prosesnya tidak berhenti di tengah jalan dan rawan ditunggangi kepentingan
lainnya.
Kemudian di bab ketiga,
penulis secara khusus menguraikan lebih lanjut tentang langkah-langkah yang
bisa ditempuh guna membangun kapasitas kelembagaan. Pertama, membangun budaya organisasi yang kritis
dan terbuka. Kedua, memperjelas mekanisme
organisasi.
Ketiga. Memastikan tiap individu yang tergabung di dalam
organisasi atau lembaga advokasi memiliki penguasaan dan keterampilan strategis
dalam berorganisasi. Keempat, memastikan
terpenuhinya sumber daya manusia yang berkualitas, memiliki kompetensi untuk
menjalankan proses-proses advokasi.
Meski dokumen ini
diterbitkan 2006 silam, akan tetapi masih cukup relevan dipelajari untuk
konteks saat ini. Naskah ini penting dibaca oleh lembaga yang baru terjun untuk
menangani kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan, tapi belum sepenuhnya
memahami hak-hak korban dan perempuan pendamping korban.
Kerja advokasi adalah
untuk kepentingan korban, memberdayakan dan memulihkan korban, bukan
menyebabkan korban mengalami kekerasan untuk kedua kalinya. Maka dalam memahami
kerja-kerja advokasi bagi perempuan korban kekerasan, perlu juga kiranya
memiliki kepekaan pada kondisi korban, memahami hak kebenaran, keadilan dan
pemulihan korban serta sadar terhadap hukum, baik dalam institusi formal maupun
kultural. []
0 Comments