“A women must have money and a room of her own, if she is to write fiction.” (A Room of One’s Own – 1929).
Kutipan
kalimat itu adalah milik pengarang perempuan asal London, Virginia Woolf.
Kalimat yang kemudian dikenal sebagai kritik tajam yang disampaikan Virginia
terkait konstruksi sosial dalam masyarakat, menyangkut posisi dan suara penulis
perempuan yang sangat jarang mendapat tempat layak di dunia sastra.
Hal itu pula
yang saya kira juga mendorong seorang A Elwiq Pr dalam menerjemahkan lima
cerpen karya lima perempuan munsyi sastra dunia. Dalam pengantar buku kumcer
terjemahannya, A Elwiq memperkenalkan kelima penulis tersebut. Masing-masing
memiliki latar belakang yang unik. Dari keunikan itu pula terdapat cara pandang
yang bisa dipakai untuk membaca persoalan-persoalan menyangkut hajat hidup
perempuan dalam konteks saat ini.
Shopee |
Sebagaimana
dikatakan oleh Elwiq, bahwa apa-apa yang disampaikan oleh para penulis
perempuan dalam masing-masing cerpennya lebih dari sekadar memperdebatkan
posisi perempuan dan laki-laki. Cerpen-cerpen dalam buku ini seakan menyentil
para aktivis perempuan untuk tak hanya menyoal situasi publik-domestik, akan
tetapi lebih mendalam soal olah rasa, bagaimana perempuan menulis dengan bahasa
perempuan dan mengutarakan pengalaman khas perempuan sebagai manusia (hlm.
xiii).
Marguerite deNavarre menjadi nama pertama yang diperkenalkan oleh Elwiq. Kekasih yang Tak
Bahagia merupakan judul cerpen karangan Marguerite yang juga dijadikan sebagai
judul buku kumpulan cerpen ini. Elwiq menerjemahkan cerpen ini pada 2008 di
Turen. Cerpen Marguerite sendiri mengisahkan perjalanan cinta laki-laki dan
perempuan yang dibalut penghormatan, pengorbanan dan kesetiaan.
Dalam cerpen itu
Marguerite membuat narasi yang apik tentang puncak cinta seorang laki-laki terhadap
perempuan. Bahwa selama sisa hidupnya, hanya ada cinta yang murni. Cinta yang tidak
ada ruang di dalamnya bagi hasrat memiliki atau menguasai diri perempuan yang
dikasihinya. Sehingga ketika harapan mendapatkan cinta mesti kandas karena
perjodohan, demi menghormati si perempuan, laki-laki tersebut memilih menyimpan
perasaannya.
Letak
ketidakbahagiaan dalam cerpen ini ditampilkan pada bagian akhir, di mana si
laki-laki baru dapat menyatakan seluruh perasaannya di saat-saat terakhir
sebelum ajal. Sementara si gadis yang merasa begitu dicintai, di sisi lain
harus merelakan, kehilangan kegembiraan setelah laki-laki yang memuliakannya
sedemikian rupa wafat. “Bahwa segala yang ditawarkan padanya, yakni seorang suami
yang menghibur hati sekalipun, si gadis yak pernah lagi tahu kegembiraan yang
sesungguhnya.” (hlm. 8).
Nama kedua
yang disebutkan oleh Elwiq adalah Virginia Woolf. Sosok ini lebih tidak asing
karena tidak hanya berkontribusi besar dalam dunia sastra, akan tetapi juga
dalam pembahasan sejarah gerakan perempuan. Di mana secara konsisten Virginia
menggunakan sastra sebagai kanal untuk mengkritik persoalan yang dialami
perempuan, termasuk lewat pengalaman pribadi.
Rumah
Angker’ adalah cerpen Virginia yang ikut diterjemahkan Elwiq pada buku ini.
Sekilas berisi kisah cinta dua manusia yang lagi-lagi tidak terbatas pada ruang
fisik. Sebagaimana judulnya, cerpen ini menceritakan kegaduhan yang diakibatkan
oleh dua arwah manusia yang saling bernostalgia atas kenangan-kenangan yang
berhasil mereka ciptakan semasa hidup dalam rumah tersebut. Sehingga meski
keduanya wafat, ada harta karun yang tetap kekal dan menjadi penanda keberadaan
keduanya, yakni cinta.
Nama ketiga
diisi oleh Edna Ferber, sang penulis asal Amerika yang beberapa karyanya
berhasil diangkat ke layar lebar pada 1950-an. Cerpennya berjudul ‘Perempuan
yang Ingin Menjadi Baik’ menjelma kisah kontekstual yang begitu relevan di era
ini. Edna menggambarkan satu tokoh perempuan dengan karakter kuat bernama
Blance Devine, yang selalu menjadi pergunjingan para tetangga, hanya karena ia
janda.
Setiap hal baik
yang coba dilakukan oleh si perempuan, seperti memberi makan anjing, menjenguk
tetangga yang kesusahan, dianggap memiliki niat buruk terselubung. Blance
Devine bahkan harus berkali-kali pindah rumah hanya agar orang-orang yang
ditemui sebelumnya bisa terhindar dari kehabisan energi karena terus
menggunjingkannya. Dalam cerita ini, Edna ingin membongkar secara halus nalar
berpikir masyarakat mainstream yang cenderung memberi stigma pada orang lain,
khususnya janda dan perempuan yang memilih lajang seperti dirinya.
Nama keempat
adalah Doris Lesing. Ia pernah mendapatkan Nobel Sastra pada 2007. Cerpennya
berjudul ‘Menembus Gorong-gorong’ secara umum berbicara tentang relasi orang
tua tunggal yakni ibu dengan anak laki-lakinya. Lebih dalam, cerpen ini
mengangkat ambisi seorang anak laki-laki berusia 11 tahun bernama Jerry yang
ingin menyelam ke kedalaman laut. Keberadaan tokoh ibu digambarkan sebagai
orang tua yang tidak ingin terlalu memaksakan kehendak pada anaknya. Ia tidak
ingin mengekang kebebasan sang anak yang selalu ingin mencari tahu.”si ibu
membatasi diri agar tidak menjadi keterlaluan rasa kepemilikannya atau juga
tidak menjadi kekurangan kasih sayang.” (hlm. 37).
Kemudian
penulis terakhir adalah Alice Munro, dikenal karena cerpen-cerpennya yang unik
dan tendensius. Dalam cerpennya ‘Anak-anak Lelaki dan Anak-anak Perempuan’
Alice menceritakan kehidupan peternak serigala dengan dua anaknya, perempuan
dan laki-laki. Di mana si anak perempuan yang lebih suka berada di kandang
membantu ayahnya, dituntut oleh sang ibu untuk selalu di dapur. Bagi sang ibu,
anak perempuan tidak ditakdirkan untuk mengurus kandang, sebab kandang adalah
urusan laki-laki.
Cerpen Alice
tersebut nyatanya memang lebih nyata, sebab di masyarakat kita saat ini pun,
budaya patriarki masih melenggang bebas di kehidupan sehari-hari. Bahwa
peran-peran yang seharusnya bisa dipertukarkan tersebut masih menjadi milik
jenis kelamin tertentu. Bahkan perempuan tidak mendapatkan kesempatan memilih
dan memutuskan untuk dirinya sendiri.
Dan dari
kelima cerpen yang diterjemahkan Elwiq tersebut kita belajar bahwa sejak dulu
hingga sekarang, perjuangan perempuan untuk mendapatkan ruang bersuara masih
berlanjut dan belum bisa dikatakan selesai. Perjuangan kali ini ditampilkan
lewat produksi karya sastra, yang ditulis dengan menggunakan bahasa perempuan.
Bahasa yang diharapkan bisa mewakili pikiran perempuan dan pengalaman khas
perempuan. []
Judul : Kekasih yang Tak Bahagia;
Lima Cerita Pendek Perempuan Dunia
Penerjemah : A Elwiq Pr
Penerbit : Pelangi Sastra
Tahun Terbit : 2017
Tebal : 82 halaman
Tulisan ini pertama terbit di mubadalah.id pada 02 Maret 2021: Membaca Sastra Lewat Bahasa Perempuan
0 Comments