Tidak mudah
menjadi seorang penyintas kekerasan seksual. Apalagi jika status mahasiswa di
salah satu perguruan tinggi masih melekat padanya. Dari kebanyakan kasus, para
perempuan penyintas yang mendapatkan kekerasan seksual di lingkungan kampus
memilih menyimpan sendiri apa yang dialami karena takut, mendapat ancaman atau
dengan terpaksa menerima ajakan damai dari pelaku, demi keamanan dirinya dan
agar tetap bisa melanjutkan studi. Adapun alasan yang paling utama, demi
menjaga nama baik kampus.
Swara Rahima |
Kasus semacam
itu tentu bukan rahasia, sebab dalam setiap tahunnya muncul laporan demi
laporan yang akhirnya terkuak, setelah korban berani angkat suara. Beberapa
waktu lalu hal yang sama dialami oleh adik tingkat saya, mahasiswi aktif di
salah satu perguruan tinggi. Keputusannya bersuara dan meminta keadilan dari
kampus justru membuat posisinya sebagai mahasiswa terancam. Ia sempat bercerita
bahwa pada akhir 2020 ia memberanikan diri mengungkap pelecehan yang pelakunya
tidak lain adalah kakak tingkat di kampus yang sama.
Alasan
mahasiswi semester lima itu speak up selain untuk mendapat keadilan,
juga ingin memberi efek jera pada pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya
pada adik tingkat yang lain, mengingat sudah ada lebih dari tiga orang yang
menjadi korban tetapi tidak berani bersuara. Kasus tersebut ditanggapi serius
oleh wakil rektor bidang kemahasiswaan dan pada mulanya juga memberikan
perhatian dan tindak lanjut yang menggembirakan.
Beberapa
dosen pun ditunjuk untuk mengusut kasus tersebut. Penyintas juga mendapatkan
bantuan dari dosen yang merangkap sebagai psikolog untuk mengetahui keadaan
psikisnya pasca kejadian. Akan tetapi belum adanya SOP penanganan kekerasan
seksual di kampus tersebut membuat proses pengusutan dan penyelesaian tidak
berjalan sebagaimana yang diharapkan.
Kasus
pelecehan yang terang-terangan dilakukan oleh pelaku justru sebatas dianggap
pelanggaran kode etik. Kampus pun mengeluarkan keputusan yang membuat pelaku
bisa melenggang bebas dan lulus dengan mudah, sementara penyintas mendapat
keputusan yang tidak adil, yakni tidak diperkenankan mengambil mata kuliah
untuk semester selanjutnya, termasuk tidak bisa mendaftar Kuliah Kerja Nyata
pada semester tersebut. Kebijakan itu diambil oleh pihak kampus karena
penyintas dianggap telah mencemarkan almamaternya.
Siapa pun
yang mendengar cerita tersebut tentu akan geram. Kampus yang seharusnya
memberikan dukungan dan perlindungan kepada para penyintas, justru memilih tetap
menjadi sarang aman bagi para pelaku kekerasan seksual. Kasus tersebut bukan
satu-satunya kasus yang tidak selesai secara adil, akan tetapi lagi-lagi karena
ketiadaan payung hukum yang tegas, membuat kampus bisa sekenanya memberikan
keputusan.
Penyintas Butuh Jaminan, Pendampingan
dan Advokasi
Tren
kekerasan seksual, sebagaimana disampaikan oleh Komnas Perempuan pada 05 Maret
2021 lalu memang mengalami lonjakan yang cukup signifikan selama pandemi
Covid-19, dengan ragam bentuknya. Hal tersebut juga turut membuka fakta bahwa
kekerasan seksual di perguruan tinggi terus ada dengan jumlah yang tidak
sedikit. Hanya saja kesediaan korban untuk melaporkan kasusnya dan mendapatkan
perlindungan hukum masih membutuhkan dorongan dari banyak pihak dan perlu jalan
panjang.
Di sini advokasi
dan pendampingan perlu dilakukan terhadap setiap penyintas kekerasan seksual di
lingkungan perguruan tinggi, entah dilakukan oleh individu maupun kelompok
profesional. Hal ini sangat membantu para penyintas dalam memecahkan persoalan
yang dialaminya sampai dapat mengambil keputusan tanpa intervensi dan
intimidasi. Dengan adanya advokasi, setidaknya penyintas mendapat jaminan
perlindungan dan mengupayakan tempat yang aman bagi penyintas. Adanya advokasi
juga bisa mengupayakan dibuatnya kebijakan yang berpihak kepada penyintas.
Dalam kasus
adik tingkat saya, pendampingan tidak dilakukan secara serius, sehingga
penyintas tidak bisa mendapatkan akses bantuan tepat waktu. Padahal, dengan
adanya pendampingan, penyintas seharusnya bisa mengakses bantuan hukum, sosial
maupun psikologi. Ketika proses sidang internal di kampus, tidak ada upaya dari
pendamping untuk mendorong adanya pertanggungjawaban dari pelaku atau mendorong
kampus membuat kebijakan atau keputusan yang melibatkan penyintas. Pun sekadar
informasi terkait hak-hak penyintas selama proses persidangan, adik tingkat
saya kesulitan mengaksesnya.
Selang
beberapa waktu setelah perayaan International Women’s Day, ternyata ada
banyak pekerjaan rumah yang mesti segera dirumuskan, salah satunya mengenai
regulasi anti kekerasan seksual di kampus. Regulasi ini begitu penting untuk
memberikan jaminan keamanan dan kesejahteraan mahasiswa dan seluruh civitas
akademik dari kekerasan seksual. Bagi penyintas, regulasi ini dapat membantu mereka
mendapatkan keadilan dan pelaku bisa mendapatkan sanksi atau hukuman yang
pantas. Regulasi ini mendesak, agar ketidakadilan yang menimpa adik tingkat
saya, tidak terulang kembali. []
Tulisan ini pertama kali terbit di mubadalah.id pada 19 Maret 2021:
0 Comments