Kau mendekati jalan lengang untuk sebuah minggu. Jalan
yang harusnya penuh deru mesin kendaraan bermotor atau kerincing pedati yang
mengantar orang-orang beda desa berjalan-jalan di sepanjang kadipaten, jalan
utama. Tapi jalan-jalan itu sekarang lengang, untuk sebuah akhir pekan yang padat.
Minggu sendiri jadi lebih sepi dari titipan suara yang berkilasan sebelumnya.
“Jangan-jangan ada sesuatu?”
“Kau jangan mulai memercayai sesuatu!”
“Tapi harusnya firasatku tidak pernah salah.”
“Tentu. Setiap firasat bisa saja salah. Tidak ada
manusia yang bisa melampaui kehendak Tuhannya. Firasatmu itu hanya sebatas
firasat. Ia tak punya nilai kebenaran yang mutlak.”
Kau kembali mengajakku berjalan ke pusat kota. Sesekali
menggapai daun beringin yang menjuntai, melambai kepadamu atau seperti sengaja
mengajakmu mengambil jalan lain. Dan benar saja, kemudian jalan yang kau ambil
memutar terlalu jauh. Meski itu jalan utama, tapi kau mengambil cukup banyak cabang
yang menghubungkanmu ke tempat lain, tujuan yang lain.
Sebelum kakimu meminta berhenti, aku mendahuluinya. Aku
ingin kita membincangkan mimpimu lagi. Mimpi yang tidak mungkin terjadi. Mimpi
yang kau anggap sebagai hal paling kasat mata, sebab kau merasa paling mengenalinya.
Mimpi tentang langit dan bintang-bintang dan galaksi yang saling menyapa satu
sama lain, saling membenturkan diri.
Aku memilih tempat duduk, di sebelah pohon beringin yang
katanya berusia 128 tahun. Di situ kuminta kau duduk sejenak, sembari
kupesankan dua gelas wedang jahe dan satu bungkus singkong rebus. Beberapa bentar
kutengok matamu yang setengah kosong, setengah mengingat-ingat lagi kejadian
yang membuat firasatmu bergejolak. Kuakui, kau adalah subjek yang tidak pernah
tenang, selalu gelisah.
“Jadi, bagaimana mungkin jarak Sirius jadi sedekat
itu? Semua juga tahu, kita hanya bisa menyaksikan galaksi-galaksi lain dari
teropong khusus, bukan teleskop yang dibeli oleh bapakmu, bukan dengan mata
telanjang.”
Tapi penglihatanmu malam itu tidak mungkin keliru. Sebab
kau masih di ambang sadar, tidak dalam keadaan bermimpi, itu nyata. Kau melihat
semuanya dengan telanjang. Kau bisa membedakan aurora dan galaksi-galaksi pada
peta langit yang terlampau terang malam itu. Mereka semua terpampang, nyata.
“Aku tidak mungkin salah kali ini. Aku melihat
semuanya. Ini pengalamanku di dunia kita, dunia nyata.”
“Oh tunggu sebentar, nyata?”
“Segala sesuatu yang kita alami di sini, itulah nyata
bukan maya. Aku merasai panasnya, getarannya, kekuatannya, gemuruhnya.”
“Tapi jarak bimasakti dengan Andromeda saja terlampau
begitu jauh. Bagaimana bisa mereka mendekat? Sementara planet-planet di galaksi
kita sendiri tak nampak.”
“Aku melihat semuanya. Semua planet dan gugusan
bintang, aku melihat benda-benda langit yang lain di sini.”
“Jika semua memang mendekat, bagaimana mungkin matahari
kita tidak?”
Kau ingin menjawabnya, aku tahu pasti dari raut dan
matamu. Tapi kedatangan dua saudarimu membuat percakapan kita berhenti begitu
saja. Mereka meminta jatah uang saku untuk membeli beberapa oleh-oleh. Selepas kau
merogoh saku dan memberikan apa-apa yang mereka minta, dua saudarimu bergegas
pergi, menyeberang jalan.
Di dalam pasar ada satu gang berisi beberapa penjual
aneka jenis daging bakar, kelelawar bakar, anjing bakar, babi sampai
tikus-tikus yang dikata para penjualnya memiliki manfaat untuk tubuh manusia.
Di dalam pasar itu ada satu gang khusus ditempati oleh pelapak misterius yang
tidak pernah terjangkau oleh orang-orang biasa. Apakah firasatmu menuju ke
sana?
Sebelumnya aku membayangkan adegan kecelakaan atau tabrak
lari, tapi katamu semua itu tidak akan terjadi. Firasatmu tidak datang untuk
kedua saudarimu atau kita berdua. Perihal firasat yang selalu kau yakini
kebenarannya, mungkin akan mewujud bencana dalam skala yang lebih besar. Hingga
aku sampai pada intinya, bahwa firasatmu kali ini memang benar.
“Manusia telah melepas sekat, melampaui batas.” []
Tulungagung, 08 April 2021
0 Comments