Kita mungkin terlalu sibuk dengan kata-kata, sampai tersesat di dalam maknanya. Kata-kata seperti dunia tersendiri yang mendikte bagaimana kita seharusnya. Bukankah harusnya kita jadi tuan atas kata-kata?
Tribun Bali |
Selalu hujan saat pertemuan.
Setidaknya itulah yang masih bisa
dikenang. Selebihnya, hanyalah mimpi yang coba mewujud, namun tunduk pada
realita.
Kisah lalu tak pernah berpindah.
Hanya berkutat soal negosiasi harapan dan kenyataan. Antara kopi sachet dan
matcha, seperti angkringan dan cafe. Harusnya tak ada yang beda. Seharusnya.
Tapi kapitalisme jahat, memang bangsat. Dia menyerang bahkan sampai soal
percintaan dan selangkangan.
Bagaimana tidak, di pinggiran jalan
itu apa yang bisa dilakukan? Kita tak mungkin berciuman, bukan?
Sekarang, berciumanlah sesekali di
tengah kerumunan. Lalu lihat bagaimana kontrol moral sosial akan menghakimimu.
Mata-mata yang tak jelas siapa tuannya, akan menyorot tajam. Saat itu juga, di mana
pun kamu berada. Semacam panopticon, kata si botak Foucault itu. Padahal,
di hotel-hotel berbintang sana banyak yang melakukannya.
Kita tak dilarang bercinta. Hanya
tidak boleh miskin saja. Dan pada akhirnya, kita pasrah.
Pasrah. Ya, kata itu akhirnya
mengantarkan kita pada kata selanjutnya: pisah.
Sementara itu, kekerasan seperti
jadi tontonan yang biasa. Saudara-saudara kita di Palestina dijajah. Rumah
runtuh, mimpi anak-anak luruh. Yang tersisa: perempuan dan laki menengadahkan
tangan untuk do’a. Aneh memang. Dunia kita defisit kasih sayang, namun surplus
kekerasan.
Kita Kini
“Maukah kau jadi sahabatku?”, tanyamu tepat pada peringatan hari
Kartini saat itu.
Bahkan, seandainya tanpa kujawab
sekali pun, kau pasti tau jawabnya. Tapi, pertanyaan semembahagiakan itu tak
mungkin tak kujawab. Itu penawaran yang tak mungkin kutolak.
Gagal menjadi kekasihmu, masih
baguslah bisa menjadi sahabatmu. Kesedihan perpisahan tempo hari seperti sedikit
terobati. Percayalah, itu hal yang membahagiakan.
Hari berlalu dan hujan tetap saja mengingatkanku
padamu, sahabat.
Kau tau betapa bangganya aku
bersahabat denganmu. Cerita itu kubagi pada dunia. Dan kau tersenyum karenanya.
“Akhirnya dia romantis juga.” Ingat kau dengan komentar itu? Kau
tertawa kecil. Aku hanya diam. Bukan apa-apa, aku memang tak bisa dan tak biasa
romantis begitu. Tapi sebagai penghargaanku atas dirimu, sahabatku, aku
melakukannya, kan? Sesuatu yang luput saat kita masih bersama sebagai
kekasih.
Sayangnya, kita lagi-lagi tunduk
pada waktu. Walau sekejap saja, kita tetap tak kuasa menahan lajunya. Dan
seiring perjalanan waktu itu, semua berubah.
Tiba-tiba semua menjadi dingin. Kata
‘sahabat’mu tempo hari seperti menguap. Kini muncul kata baru: ‘teman’.
Ah, kita mungkin terlalu sibuk
dengan kata-kata sampai tersesat di dalam maknanya. Kata-kata seperti dunia
tersendiri yang mendikte bagaimana kita seharusnya. Bukankah harusnya kita jadi
tuan atas kata-kata?
Tapi apa yang terjadi? Lagi-lagi
kita tunduk, kali ini pada kata-kata. Sejak kapan konsep teman dianggap lebih
berjarak dibanding sahabat? Meski kita tak tahu, toh kita ada dalam
jejaring makna semacam itu. Kata yang kau gunakan untuk mendefinisikan hubungan
kita berubah; kekasih, sahabat, lalu teman.
Apakah berhenti di situ? Ternyata
tidak.
Satu-satunya yang kutahu kau jadi
makin dingin saja. Tapi, dalam situasi begini aku harus tetap waras, bukan?
Sembari aku terus bertanya-tanya tanpa berkata-kata, katamu kau butuh waktu
untuk bisa jadi teman sebagaimana semestinya. Tapi tau kau apa yang paling
parah dari semuanya? Kini bukan kata-kata, tapi diam. Ya, kau memilih diam.
Merayakan Hari Raya (?)
Hari raya tetap perlu dirayakan.
Sekecil dan sesederhana apa pun bentuknya. Dan aku memilih merayakannya dengan
memohon maaf padamu. Tak kusangka, setelah berhari-hari pesanku tak kau balas
dan telponku tak kau angkat, kini kau meresponnya. Ini benar-benar hari raya,
rasanya.
“Maaf juga kalau aku ada salah
padamu,” jawabmu
singkat.
Singkat sekali memang. Mungkin
sesingkat hubungan kita. Bahkan itu terkesan formalitas saja meskipun tentu tetap
membuatku bahagia. Bukan soal singkatnya atau isinya, tapi soal kau yang sudah
mau lagi membalas pesanku.
Meski dingin akhirnya kembali, tenang
saja. Aku sudah belajar menerima dan mulai terbiasa dengannya. Hangatmu itu,
biarlah jadi kenangan. Dan yang tersisa tinggal pertanyaan. Ada apa sebenarnya
dengan semua ini?
***
Hari raya memang seharusnya
dirayakan. Seharusnya. Tapi di tengah kediamanmu, tak banyak yang bisa
dirayakan.
Kau diam. Diam. Diam lagi. Diam-diam
ternyata kau memanggil sayang pada seseorang. Ya, kau memanggilnya sayang. Tak
usah kau sangkal. Kalian memang saling memanggil sayang.
Hari raya ini perlu dirayakan
seperti apa seharusnya? Gagal mudik karena aturan negara. Sendiri di tanah
rantau. Dan celakanya, masih harus mengetahui fakta bahwa ternyata......
Ah, sudahlah!
Kau tau, harusnya bukan hanya kardus
cangkir yang ada tulisan fragile!
Pada Suatu Subuh
Kisah berbalik mundur. Pada subuh
itu, semua bermula. Dengan segala keberanian yang ada, keputusan untuk
menyapamu waktu itu ternyata begini akhirnya.
Aku memang lemah. Menyerah pada
takdir.
Tapi soal mencintaimu, aku serius.
Tau kau kenapa kucintaimu?
Dulu, Minke dalam roman Anak
Semua Bangsa takjub pada pengetahuan yang bisa membaca pedalaman jiwa, padahal
kita masih dijajah Belanda. Pengetahuan itu kemudian diberi nama Psikologi.
Entahlah, aku merasa kau ahli di
bidang itu. Setidaknya itu membuatku merasa nyaman berkomunikasi denganmu.
Kenyamanan komunikasi itu berkembang dari deeptalk kita sampai obrolan
receh sehari-hari. Untuk soal ini, kau mungkin berhasil mengalahkan pesona Bunga
Penutup Abad-nya Pram: Annelies.
Bedanya, anak tersayang Nyai
Ontosoroh itu akhirnya tunduk pada hukum Belanda. Tapi kau tidak. Setelah
perpisahan kita, kau memilih tegak. Kau diam padaku, tapi lantang menyuara
sayang pada yang lain.
Bohong kalau kubilang aku baik-baik
saja. Mungkin, kau bohong juga saat diammu itu kau bilang hanya soal waktu,
agar kita bisa berteman selayaknya teman pada lazimnya. Nyatanya, kau
bersamanya.
Yang kubanggakan darimu adalah
komunikasi. Tapi kau memilih diam, pada akhirnya. Sebelum aku tahu kau menyapanya
dengan sebutan ‘sayang’, aku mengira mungkin diammu adalah cara untuk menjaga
diri agar tetap waras. Kenapa aku berpikir begitu? Karena kau pernah
mengingatkanku agar tetap waras juga. Kupikir, kau butuh waktu
untuk menyendiri.
Memadamkan bara api cinta memang
tidak mudah, pikirku. Karena itu aku berusaha memahami kediamanmu. Tapi
sepertinya aku salah. Dunia seperti dilipat. Diammu bukan karena itu.
Sekarang, untuk menghibur diri, aku
anggap saja yang kau lakukan adalah untuk mengobati luka cinta lama dengan
cinta yang baru. Intinya, aku masih ingin melihat sisi terangmu dari sisi
gelapku. Dan terima kasih atas hari-hari kita yang lalu. Tapi, andai boleh
kubertanya, apakah hujan yang mengingatkanku padamu, juga masih mengingatkanmu
padaku?
***
Sebelum kuakhiri cerita kita yang
telah berakhir ini, izinkan aku untuk kesekian kali mengucap maaf atas entah.
Tenang saja, bahagiamu masih yang
utama bagiku. Pesanku, tetaplah menjadi dirimu. Jika nanti kalian bertengkar,
jangan lama-lama kau diamkan kekasihmu itu. Tapi, jika dia mulai ‘main fisik’
untuk menyakitimu, pikir-pikir lagi hubunganmu.
Aku yang terbukti gagal ini tak elok
rasanya sok memberikan nasehat untukmu. Toh kau sudah sangat
dewasa soal itu. Berbahagialah. Dan biar kunikmati hujan, tanpamu.
Selamat atas cinta barumu. []
____________________
Gedong Maulana Kabir
Bisa disapa di surel: gedong.maulana.kabir@gmail.com
IG: @edong_1
0 Comments