Apakah Pengarang Perempuan Juga Male-Centrist?

Sejak 1900-an, karya sastra Indonesia diketahui telah banyak berubah dari berbagai aspek, mulai dari penggunaan bahasa, isi, bahkan beralih dari sastra tradisional menuju sastra Indonesia modern (Hellwig, 2003b). Seiring dengan hal tersebut, perkembangan kesusasteraan Indonesia tersebut juga telah berhasil melahirkan pengarang-pengarang perempuan. Pada 1970-an, diketahui telah mulai banyak pengarang perempuan yang ambil bagian dalam pembuatan karya sastra, misalkan N.H. Dini, Marga T, Ike Soepomo, Titie Said, Marianne Katoppo, dan lain sebagainya.

 

Meski telah banyak karya sastra yang ditulis sendiri oleh perempuan, akan tetapi tidak serta merta dapat menghapus pola-pola maskulinitas dan cara pandang yang patriarkhal. Pelanggengan konsep-konsep yang kemudian menjadikan perempuan tetap sebagai warga kelas dua, sebagai objek dalam perceritaan, terikat dan tergantung dengan laki-laki, faktanya tetap dilakukan oleh beberapa pengarang perempuan (Hellwig, 2003b). Seakan-akan para pengarang perempuan tersebut sudah kehilangan identitas keperempuanannya, sehingga hanya mampu menginternalisasi apa-apa yang menjadi khas pandangan laki-laki selama ini (Loekito, 2003).

 

Mengambil dua contoh novel lintas zaman, antara Nh. Dini dengan Ayu Utami. Dalam novel berjudul Pada Sebuah Kapal, tokoh utama bernama Sri memang sempat mempertanyakan posisi perempuan Jawa, mendobrak mitos keperawanan dengan melakukan hubungan seksual di luar pernikahan yang sah, sampai melanggar aturan monogami (melakukan perselingkuhan). Namun pada akhir cerita, tokoh Sri tidak lantas menunjukkan perlawanan lebih lanjut terhadap status perkawinan yang ia jalani dengan orang Eropa. Peran perempuan tradisional yang tunduk kepada titah suami, mengurus anak dan menarik diri dari kehidupan perempuan yang bebas dan mandiri atas dasar rasa takut, dibiarkan berlarut oleh Dini (Hellwig, 2003, 209)

 

Sementara itu di novel berjudul Saman, Ayu Utami berusaha mendobrak kemampanan dengan mengangkat isu seksualitas yang selama ini dianggap tabu ketika diangkat di ruang publik. Dalam narasi yang dibangun, menggambarkan detail pergolakan seksual masing-masing tokoh perempuan. Seperti tokoh Shakuntala yang tidak memercayai mitos keperawanan, sehingga berganti-ganti pasangan sampai berani mengekspresikan orientasi seksualnya yang berbeda. Ayu Utami dalam Saman, seakan ingin berbicara bahwa perempuan memiliki otoritas penuh terhadap tubuh dan seksualitasnya, sehingga tidak hanya laki-laki yang berhak aktif ketika berhubungan seksual, tapi perempuan juga punya kesempatan yang sama. Pembebasan seksual yang didengungkan juga sebagai tindakan untuk keluar dari budaya dan atau sistem yang dianggap represif (Suhendi, 2019).

 

Meski demikian, Katrin Bandel memberi catatan khusus untuk novel populer ini. Bahwa isu seksualitas yang ditonjolkan oleh Ayu Utami tidak serta merta bisa dianggap sebagai bentuk pembebasan perempuan dari dominasi laki-laki. Hal ini karena dalam Saman, imajinasi tokoh-tokoh perempuan (Shakuntala, Cok, Yasmin dan Laila) tidak bisa lepas dari cara pandang laki-laki. Ketika kegiatan seksual dilakukan, ‘penis’ tetap menjadi sumber kepuasan dan kenikmatan, terlepas dari aktif atau pasif penggambaran tokoh laki-laki dalam narasinya. Cara pandang Ayu Utami soal seksualitas perempuan dalam novelnya ini justru terbilang eksploitatif (Bandel, 2013, 206)

Shutterstock

Hal ini sedikit berbeda dengan penggambaran yang dilakukan oleh pengarang laki-laki dalam karya-karyanya. Misalkan dalam Bumi Manusia, tokoh Nyai Ontosoroh yang digambarkan oleh Pramodya Ananta Toer, diceritakan memiliki kemampuan mendobrak belenggu yang melingkupinya dengan melawan, menyuarakan gugatannya sebagai perempuan sekaligus ibu. Citra gundik dan nyai yang dilekatkan kepada perempuan Jawa dengan sangat negatif, diputar balik dengan adanya ketegasan, kemandirian, dan sikap hidup yang berani keluar dari inferioritas oleh nyai Ontosoroh atau Sanikem sebagai pribumi (Hellwig, 2003a, 85-93)

 

Sedikit beranjak ke perkembangan sastra hari ini, tentu telah banyak karya sastra termutakhir yang ditulis oleh pengarang Indonesia abad ke-21. Beberapa karya bahkan telah menyabet perhatian publik internasional. Misalnya karya Eka Kurniawan yang berhasil menyabet Prince Clause Award dari Belanda berkat novelnya Lelaki Harimau (Fajar, 2018). Sekilas dalam Lelaki Harimau, Eka menggambarkan peliknya kondisi perempuan yang harus menerima konstruk budaya di mana ia tinggal. Selain isu perjodohan dan pernikahan anak yang dialami oleh salah satu tokoh perempuan, yakni Nuraeni, detail permasalahan dalam rumah tangga juga dijabarkan oleh Eka. Seperti masalah pemaksaan suami (Komar) terhadap istri (Nuraeni) ketika melakukan hubungan seksual, bahkan juga dengan kekerasan fisik. Tampak jelas dominasi laki-laki dalam penceritaan tersebut. Namun juga jelas keberpihakan Eka sebagai penulis dalam karyanya (Ali, 2016).

 

Perbandingan penceritaan perempuan oleh pengarang laki-laki dengan pengarang perempuan hanya dapat diketahui setelah menganalisis konten atau isi karya sastra. Problem mendasar yang sulit dilepaskan dari kepengarangan perempuan dan laki-laki hingga saat ini adalah muatan konsep patriarki dan kuatnya dominasi laki-laki atas daya cipta karya. Meski demikian, problem tersebut juga tidak serta merta dapat dipukul rata. Pada kasus yang lebih baru, kiranya perlu mengulik kembali ada tidaknya perubahan dalam karya sastra, terutama pada konteks pengungkapan peran berbasis gender dan masih langgengnya male-centrist dalam cara pandang pengarang perempuan.



Yogyakarta, 2020.

Post a Comment

0 Comments