Batu-batu di kali itu hidup untuk abadi, merekam semua, menjadi saksi.
Ouse tidak pernah
meluap selama ini. Setidaknya selama aku tinggal bersama beberapa tumpukan batu
cadas yang memilih bersaudara pasca erupsi di bawah rimbun pohon, yang
tampak lebih tua dari umur yang seharusnya. Sehari-hari Ouse mengalir seperti
biasa, kedalamannya begitu damai dan tenang.
Beberapa ikan tampak jumpalitan,
kadang melompat mencuri pandang ke arah hutan, kadang ke perumahan warga. Pun
hari ini sesekali mereka lebih suka berenang rendah, dekat dasar sungai yang
dingin. Musim gugur belum tiba, sehingga sampah-sampah daun yang
dibawa mengalir tak terlalu banyak.
Ouse adalah rumah kami, di tempat terpencil di mana orang-orang datang
dan pergi. Mereka menyewa untuk beberapa bulan sampai beberapa tahun,
menghabiskan masa tua atau sekadar sembunyi, menyembuhkan diri. Orang-orang
yang bermukim di sekitar Ouse tak banyak bicara. Mereka diam sambil menanam,
semacam berkebun untuk diri sendiri. Tidak ada yang tahu isi hati manusia
termasuk orang-orang Ouse, selain diri mereka sendiri.
Tapi jauh sebelum Ouse
tua mendadak sakit dan tercemar, aku pernah melihat seorang perempuan sering
datang, menatap ke batu-batu di seberang, batu-batu lain yang kosong. Matanya
selalu penuh pertanyaan, kesangsian, kadang terlalu penuh air mata, kadang hampir
menyerah lalu tiba-tiba tegas kembali.
“Kenapa perempuan tidak
bisa mencintai dirinya sendiri? Aku hilang?”
“Tidak, belum. Aku
masih bisa keluar dari sini. Aku bisa tetap hidup.”
“Aku punya kekasih,
seharusnya aku bahagia.”
Kali lain perempuan itu
datang melihat ke kedalaman Ouse. Seperti telah mengetahui lebih banyak atau
ingin menyelinap di balik puing-puing cadas dan menemukan goa di dasar sungai,
seperti ingin mengenal Ouse lebih dekat. Tapi lagi-lagi tak ada yang tahu isi
hatinya. Ia datang beberapa kali sendirian memakai mantel yang hangatnya tak
cukup melindungi kulit dari beku. Tak cukup tebal untuk memberi perlindungan
dari sengat 4°C, dingin yang memuncak di waktu-waktu menjelang subuh.
Seingatku Ouse tak sempat
menyapanya, meski tetap ramah seperti biasa. Kurun sepersekian menit berlalu, perempuan
itu hanya berdiri sambil mengira-ngira sesuatu, memikirkan, menimbang-nimbang
situasi dan kondisi yang tengah dialaminya. Kadang ia bicara dengan dirinya
sendiri. Kadang terlalu banyak bertanya sembari mengajukan jawaban atau
menanggapi pertanyaan yang keluar dari bibir tipis pucatnya.
“Oh, kereta hari ini
akan berangkat jam empat sore, lebih 16 menit?”
“Aku harus ke mana?”
“Ke tempat yang kusebut rumah. Ya, aku harus pulang.” Sementara ia masih berdiri di tempat yang sama.
Jauh sebelum Ouse
menjadi hijau kebiru-biruan, perempuan itu sempat duduk, membungkukkan badannya
menghadap ke batu-batu cadas lagi, menangis sesenggukan sambil membayangkan
maut-maut yang merenggut kelincinya, burung-burung di pekarangan belakang
rumahnya, tikus-tikus got tanpa orang tua. Pikirannya melompat-lompat dari satu
kejadian menuju tragedi atau bencana di sebuah kota yang berbeda.
“Bagaimana mereka bisa
jatuh ke tanah. Tubuh-tubuh yang ringkih itu pergi terlalu mudah.”
“Tidak seharusnya gempa
dan banjir datang pagi-pagi.”
“Kau di sini?” Seseorang
muncul dari arah utara, sedikit merusak imajinasinya.
“Aku sedang mencari
udara segar. Oh iya, sepertinya aku menemukan apa yang mau kutulis.”
“Mari pulang! Aku
buatkan wedang jahe kesukaanmu. Ini mulai dingin. Kau bisa tulis gagasanmu
sambil minum.”
“Ada segelas coklat
panas?”
“Pasti…”
Batu-batu di seberang masih
memerhatikan dengan seksama, bagaimana laki-laki 60 tahun itu membopong lengan
perempuannya, sedikit tarikan agar perempuan itu segera berdiri. Mereka
berjalan ke arah rumah, beriringan dan pergi tanpa mengucapkan sepatah salam
untuk Ouse.
Meski begitu, mata nyalang perempuan yang tubuhnya telah digerogoti banyak penyesalan itu masih coba menatap nanar ke arah sungai, jauh masuk ke kedalamannya lagi. Lebih jauh menuju tengah, membayangi arus yang lebih deras, arus yang bisa sewaktu-waktu berputar-putar menghisapnya, menenggelamkan tubuhnya.
***
Surat itu dituliskannya
tepat 28 Maret lalu. Ia seperti ingin mengulang sesuatu, dituangkannya dalam
beberapa lembar. Tidak terlalu pagi, setelah jam sarapan berakhir. Ketika rumah
telah lengang, tinggal suara jam dinding dan beberapa kicau burung pipit di
pekarangan belakang rumah. Perempuan itu menulis takdirnya, mengulangi
permintaan maaf dan menegaskan makna cinta, perasaannya.
“Koes, jika ada orang
yang bisa menyelamatkanku, maka orang itu hanya kau. Tapi itu tak perlu, karena
kau bisa hidup lebih bahagia. Aku pamit!”
Hanya pembaca surat itu
yang tahu, apa-apa yang perempuannya sampaikan dalam lembar-lembar kertas kuning lusuh bekas remasan. Hanya kekasihnya, laki-laki yang di kemudian hari lebih suka
menghabiskan luangnya di kebun belakang, mengenang kepergian yang sudah
digariskan tapi selalu bisa ditampik untuk waktu-waktu yang lalu.
Semua takdir yang telah
ia tulis, pasti terjadi. Terlebih ketika Ouse terdengar lebih sering
memanggilnya, bahkan lebih jelas dari sekadar mengira-ngira tentang apa yang ia
sendiri lakukan. Ouse telah membuatnya mengambil sesuatu yang lebih tegas. Ia merasa
segera punya pilihan. Tepatnya, perempuan itu akan segera kembali ke tempat di
mana ia kemarin berlama-lama mematung.
Surat itu
selesai diakhiri salam cinta dan ia benar-benar kembali. Batu-batu yang tadi
bercengkrama denganku memilih lekat-lekat memandangi kedatangannya. Kami masih
ingat bagaimana batu-batu yang lebih kecil dipungutnya. Ia pandangi sebentar,
ia pilah-pilah. Mana kira-kira batu yang punya berat dan massa lebih banyak.
Mana batu yang bisa mengantarkannya segera.
Satu batu seukuran ibu
jari kaki dilemparkannya ke tengah, mengecek riak. Ia lemparkan lagi dua sampai
tiga batu dengar ukuran sekian kali lipat dari batu pertama. Kemudian ia
tersenyum saat seluruh batu yang dilemparnya tak kembali ke permukaan, semua
tenggelam. Aku melihatnya melebarkan senyum sambil masih memegangi batu-batu
yang terlihat tiga kali lebih besar dari yang ia lempar sebelumnya.
Bukan hanya aku, saat
itu semua makhluk di Ouse ikut mengamatinya. Seperti ketika ia mendekatkan diri
ke bibir Ouse, merasai kakinya sendiri yang mulai kedinginan, basah yang makin
dinikmatinya. Basah yang mulai menutup tubuh dan menyisakan bagian kepala.
Perempuan itu kemudian mendekatiku, merabaku sebentar sebelum akhirnya
membuatku jadi tumpuannya, untuk segera tenggelam, seluruh tubuhnya.
Sementara aku tidak
melihat keragu-raguan dalam mata yang sayu itu. Memang bukan mata si putus asa.
Itu adalah mata paling tajam yang berhadapan denganku secara langsung. Mata
yang membuat Ouse tunduk, menuruti keinginan anak manusia, menuruti takdir yang
telah dituliskannya sendiri. Ouse hari
itu berhasil menenggelamkannya. Menuruti keputusan terakhir seorang puan yang
mengharapkan diri menyentuh laut di akhir napasnya.
Tapi untuk satu itu, sepertinya
Ouse tak memedulikan harapan menuju kematian. Ouse tidak lantas mengantar jasad
perempuan itu ke laut. Sebab bukan tanggung jawabnya melarung jasad. Ouse justru
membuatnya ditemukan kembali, setelah terkatung-katung ditemani batu-batu cadas
dan buah-buah musim gugur, menciptakan kehilangan yang menyayat semua manusia
di sekitarnya.
Bukankah ini pertanda
Ouse menyayanginya? Tentu. Bagiku Ouse tak ingin ia sampai ke laut, karena
orang-orang harus memberikan penghormatan terakhir padanya, secara layak
sebagai manusia. Karena kematiannya juga adalah simbol perjuangan panjang
perempuan yang akan diingat oleh dunia. Aku ingat dalam lamunannya, ia sempat mengatakan
sesuatu pada dirinya sendiri –mungkin juga kepada kami, “Kau tahu kenapa
seseorang harus mati? Agar yang lain bisa lebih menghargai kehidupannya.” []
Teruntuk mendiang Virginia Woolf
dan perempuan-perempuanku yang masih berupaya keluar dari kalutnya.
0 Comments