Berawal dari sebuah
kabar angin, kakung mulai mondar-mandir. Kali ini ia mengangkat telepon dari
nomor luar negeri, tidak lain tetangga seberang rumah yang sedang menjadi
tenaga kerja wanita di Hongkong. Obrolan itu menjadi intens beberapa kali,
sempat berakhir kemarahan karena si tetangga setengah memaksa. Tetapi setelah
satu bulan lebih menimbang-nimbang saran yang diberikan oleh tetangga itu,
akhirnya kakek dan nenek mengambil keputusan besar.
Pixabay |
Tepat 8 April, ibu
dijemput oleh tiga orang asing. Dua laki-laki dan satu perempuan. Nenek dan
kakung tidak menolak kedatangan mereka. Seingatku setelah dipersilakan masuk, mereka
mampir sebentar dan duduk di ruang tamu, meneguk teh buatan nenek, mengobrolkan
sesuatu yang aku tidak pahami. Setelah dirasa cukup, mereka segera pamit. Aku
ingat ibu juga ikut bersama tiga orang itu, dipapah oleh si perempuan. Tanpa
perlawanan ibu ikut masuk ke mobil merah dengan plat B. Sepertinya memang
dipersiapkan, sebab koper kecil yang dibeli kakung beberapa hari sebelum tiga
orang itu ke rumah, juga ikut dibawa.
“Ibu mau ke mana, Nek?”
“Berobat.”
“Jauh?”
“Sangat jauh, Ningrum
sama nenek sama kakung.”
“Berobat jauh sekali?”
“Juauuuh, Nduk.”
Sengaja atau tidak,
kepergian ibu ternyata memakan waktu bertahun-tahun. Selang satu dekade aku masih
kerap mengulang pertanyaan yang sama. Tapi nenek hanya menjawab, ibu harus
berobat ke tempat jauh. Kata nenek jarak tempat ibu berobat dengan rumah kami
beratus-ratus kilometer, tempatnya terpencil. Jadi keluarga di sini tidak akan
bisa menjenguk ibu.
Beberapa hari yang lalu
aku kembali menanyakan perihal kesehatan ibu. Apakah kakung dan nenek sering
berkabar dengan tiga orang yang pernah membawa ibu? Apakah ibu sekarang sudah
baik-baik saja? Apakah di sana ibu mendapat perlakukan yang baik, yang
manusiawi? Kapan ia bisa pulang? Kalau pulang, apa ibu akan mengenaliku?
Ibu pergi berobat saat
umurku masih lima tahun. Sebelum berangkat, ibu tidak mengenaliku sama sekali. Ibu
menganggapku anak tetangga, hanya teman main. Aku juga masih ingat jelas kakung
dan nenek sempat memasung kaki ibu, karena dianggap meresahkan. Pasung sempat
dilepas, sebelum akhirnya nenek merantai kaki ibu. Lama sekali.
Berita Bojonegoro |
***
Namanya Bulan. Ragil
dari dua bersaudara. Sejarah kelahirannya memilukan. Ibunya, Ningsih, ingin
lekas-lekas menggugurkan kandungannya saat tahu hasil USG menunjukkan dia akan
punya anak perempuan lagi. Diminumnya berbagai macam obat, berharap bakal bayi
itu segera luruh. Tapi sekeras apa pun Ningsih berusaha, akhirnya bayi
perempuan itu tetap lahir, sang bapak menamainya dengan hanya satu kata saja,
Bulan.
Sementara ketika usia
Bulan empat minggu, Ningsih dan anak pertamanya kerap tertangkap basah sengaja
membekap wajah Bulan dengan bantal. Ketika ditanya sang bapak, alasan anak gadis
sebelas tahun itu ikut mengakhiri napas adiknya, karena tidak mau punya adik
perempuan. Ningsih menanamkan kecemburuan akut pada putrinya, setelah ia
sendiri merasa gagal mendapatkan anak laki-laki.
“Sudah kubilang, anak
perempuan juga tetap anakku. Bulan anakku.”
“Tapi kita sudah punya
anak perempuan. Harusnya laki-laki.”
“Gusti wis ngasih
Bulan, Sih. Gini, sampai aku lihat kamu macem-macem sama Bulan, aku lapor ke
RT, biar kamu diarak sama orang kampung.”
Ancaman yang
dilontarkan sang suami bukan titik balik bagi Ningsih. Ancaman itu serius. Tapi
tak membuat Ningsih gentar. Justru keberadaan Bulan di tahun-tahun selanjutnya
yang membuat Ningsih beranjak menyesali sesuatu. Pada umur tiga menuju empat, Ningsih
menyadari ada yang salah pada putri keduanya, ia gagu.
Ningsih mengira itu
semua akibat perbuatannya. Gusti telah menurunkan karma pada ibu yang jahat,
ibu yang tidak layak karena punya riwayat ingin membunuh anaknya sendiri.
Sementara Bulan kecil yang gagu lantas tumbuh menjadi pribadi yang tidak pernah
lepas dari olok-olok, Bulan tidak punya teman dan selalu tinggal kelas. Bahkan
ia tak bisa tamat dari sekolah menengah pertama.
Bulan remaja suka
mengutil, masuk ke rumah para tetangga dan mencari barang yang bisa dibawa
pulang. Bulan suka mencari-cari perhatian orang dan nyanyi sambil teriak di
tengah keramaian. Kadang mengamuk di pasar karena mendengar perkataan buruk
dari orang-orang tentang ibu bapaknya. Ketika menginjak 18 tahun, Bulan dipaksa
menikah muda atas saran dari seorang dukun. Katanya, menikah akan membuat emosi
Bulan lebih stabil.
“Apa yang terjadi
setelah itu?”
“Ningsih atau Bulan?”
“Tentu saja Bulan, apa
yang terjadi pada Bulan setelah menikah?”
“Tidak ada.”
“Sudah kuduga. Dukun
itu omong kosong.”
Tapi bagaimanapun, ia adalah
ibu kandungku. Ibu yang selalu nangis sambil mengamuk dan berteriak setiap hari
setelah melahirkanku. Kata nenek, ia tidak pernah mandi setelah itu. Seingatku
ibu memang tidak pernah mau mandi jika tidak dimandikan oleh nenek. Nenek juga yang
bertugas membersihkan kotoran ibu setiap siang dan malam hari, kadang juga
menjelang tidur.
Aku jadi ingat, ibu
sudah tidak mau pakai baju beberapa bulan sebelum ia dijemput tiga orang itu. Dia
tidak mau bicara pada siapa pun. Tidak mau tertawa atau menangis. Ibu yang
awalnya suka pergi ke pasar dan pulang membawa barang-barang hasil mengutil,
beberapa bulan terakhir juga tidak mau keluar rumah. Pandangannya seperti kosong.
Orang-orang pasar dan
tetangga jauh kadang menanyakan kabarnya pada kakung. Kadang mereka khawatir
jika tiba-tiba ibu kumat dan mengambil sepeda di depan rumah dan mengamuk di
balai desa seperti yang pernah dilakukannya dulu. Kadang nenek bersyukur ibu
tidak lagi keluar rumah, sebab ia terlalu takut jika sewaktu-waktu ibu kembali
dihakimi orang-orang kampung karena ketahuan masuk rumah dan mengambil beberapa
daging di kulkas Haji Janusi. Semua tentu was-was, sebab ibu pernah hampir
digebuki warga.
“Tapi tunggu! di mana
bapakmu?”
“Aku lupa. Kata nenek
rumah bapak jauh. Jadi tidak pernah menyambangiku. Meskipun juga telah
mendengar kabar kalau ibu sakit.”
“Lalu, apa sakit yang
diderita ibumu?”
“Tidak tahu. Kata nenek akalnya hilang.” []
0 Comments