Setiap
tahun, sejak 2015 secara nasional kita memeringati hari santri. Pada 22 Oktober
tahun ini, tema yang diangkat dalam Hari Santri adalah ‘Santri Sehat Indonesia
Kuat’. Tema tersebut dihadirkan mengingat saat ini masyarakat masih berjuang
keras untuk menekan angka kematian akibat Covid-19 dan masih terus berupaya
menangani lonjakan kasus Covid-19 di Indonesia.
Jika
menengok peringatan hari santri di tahun-tahun sebelumnya, hari santri selalu
identik dengan perayaan seremonial yang meriah, baik berupa upacara, perlombaan
dan rangkaian peringatan keagamaan yang merekatkan jalinan persaudaraan, baik
antar santri maupun antara santri dengan kiai sampai santri dengan masyarakat.
Tahun
ini peringatan tersebut mengalami perbedaan, di mana perayaan hari santri 2020
harus diperingati dengan protokol kesehatan yang ketat dan perhelatan hari
santri di beberapa wilayah hanya akan digelar secara daring, untuk menghindari
santri dan masyarakat dari penularan serta penyebaran virus Covid-19.
Selain itu, ada satu aspek yang hampir luput dalam peringatan hari
santri. Kenyataan yang selama ini belum pernah menemui titik terang, yakni
persoalan kasus kekerasan seksual yang terjadi di banyak lembaga pesantren di
Indonesia. Di Jawa Tengah, menurut Direktur Legal Resource Center untuk
Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) kurun 2009 hingga 2012
terdapat 85 laporan terkait kasus kekerasan seksual yang dialami oleh santri
dan santriwati, yang tidak lain dilakukan oleh guru ataupun pengasuh pondok
pesantren.
Jumlah tersebut dianggap belum final dan hanya bagian terkecil dari kasus-kasus yang kemungkinan besar belum dilaporkan. Tentu ini juga terjadi karena banyak faktor, terutama konstruksi relasi yang dibangun pada diri orang tua korban terhadap pihak-pihak yang ada di dalam pondok pesantren, termasuk persepsi yang langgeng di lingkungan masyarakat tempat korban tinggal, mengenai ketidakmungkinan adanya pelecehan di lingkungan pesantren.
Pola Kasus Kekerasan Seksual di Pesantren
Dalam kasus kekerasan seksual di pesantren, ada
pola berulang yang dilakukan oleh pelaku maupun pihak pesantren. Hal ini
seperti yang diberitakan dalam Radar Surabaya pada 19 September 2019 lalu.
Seorang oknum pengasuh pondok pesantren al-Mubarak, Jabon telah melakukan
pelecehan seksual terhadap empat santriwati di pesantren tersebut sejak 2015.
Dan baru terungkap ke publik setelah korban akhirnya memberanikan diri speak
up. Sebelumnya korban enggan melapor karena menghadapi ancaman
dan intimidasi dari pelaku.
Pola
yang berulang dalam kasus ini adalah, meski salah satu korban telah membawa
kasus yang dialaminya ke ranah hukum dan pihak desa serta masyarakat setempat
telah melakukan desakan kepada pihak pondok pesantren untuk menindak tegas
pelaku, nyatanya pihak pondok pesantren hanya menghendaki jalan damai, dengan
mengirim satu perwakilan dari pondok pesantren al-Mubarak untuk menemui warga
dan meminta maaf.
Adapun kasus yang terjadi di Jombang, tepatnya menimpa
santriwati di Pondok Pesantren Shiddiqiyyah. Mengutip Tirto.id, kasus pelecehan
seksual tersebut pertama kali dilaporkan pada Oktober 2019. Kemudian 12
Nopember 2019 pelaku yang merupakan guru di pondok pesantren Shiddiqiyyah
ditetapkan sebagai tersangka. Meski demikian, hingga 15 Juli 2020 lalu, diketahui
bahwa pelaku tidak ditahan dan masih bebas berkeliaran di pondok pesantren.
Kasus selanjutnya yakni pelecehan yang menimpa empat
satriwati pondok pesantren Sabil Urrosyad, yang terletak di Desa Batu Kuwung,
Kecamatan Padarincang, Serang, Banten. Kasus yang dilaporkan sejak awal Juli
2020 tersebut sampai akhir Juli 2020 juga urung mendapat tindak lanjut dari
pihak berwajib. Kemudian terakhir adalah kasus pelecehan seksual yang dialami
oleh NH, santriwati berusia 19 tahun yang tinggal di Pondok Pesantren NHAB,
Bojong Gede, Bogor. Pelaku pelecehan seksual tidak lain merupakan pimpinan di
Pondok Pesantren NHAB berinisial ANM.
Kasus
pelecehan yang telah terjadi sejak 2017 tersebut, tidak langsung dilaporkan
oleh korban, karena lagi-lagi korban mendapatkan ancaman dan intimidasi dari
pelaku. Ancaman yang diberikan pelaku kepada korban membuatnya tidak bisa
berbuat banyak, terlebih pelaku adalah orang yang memiliki kuasa dan wewenang
di pondok pesantren tersebut.
Baru pada awal 2020, NH memberanikan diri menceritakan
pelecehan yang dialaminya kepada keluarga dan lantas melaporkannya kepada pihak
berwajib. Namun sebagaimana kasus yang sudah-sudah, keadilan urung didapatkan
oleh NH, dan bahkan setelah menunggu 10 bulan sejak laporan itu dibuat, ANM
masih beraktivitas seperti biasa, meski sudah menyandang status tersangka
(merdeka.com, 7 Agustus 2020
Pola yang sama telah terjadi pada masing-masing kasus tersebut, di mana pelaku tidak langsung mendapat ganjaran yang setimpal atas tindak pelecehan yang dilakukannya. Hingga hari ini mayoritas masyarakat juga masih enggan melaporkan kasus dugaan pelecehan yang dialami oleh santri karena menganggap kasus-kasus tersebut bukan urusan mereka atau akan bisa diselesaikan cukup dengan kekeluargaan dan lain sebagainya. Padahal korban pelecehan membutuhkan keadilan dan perlindungan serta pendampingan untuk trauma yang dialaminya.
Jihad Santri Era Pandemi
Ditetapkannya
hari santri melalui Keputusan Presiden No. 22/2015 lalu, menjadi bukti bahwa
selama ini santri memiliki peran strategis dalam proses pembangunan bangsa
Indonesia. Diakuinya peran santri juga menjadi tanggungjawab tersendiri bagi
santri masa kini untuk terus ikut serta dan berkontribusi dalam upaya-upaya
menjaga kedaulatan bangsa, baik lewat dakwah, pendidikan, maupun tanggungjawab
sosial berupa pemberdayaan masyarakat.
Nilai-nilai perjuangan yang selama ini
melandasi dicetuskannya hari santri juga masih perlu diteladani atau
direfleksikan. Mungkin jihad kita memang bukan lagi di ranah perang melawan
kolonialisme atau penjajah sebagaimana santri-santri di masa lalu. Akan tetapi
jihad kita saat ini lebih kompleks karena selain harus bersama-sama saling jaga
agar tidak tertular Covid-19, kita juga harus perang melawan kekerasan seksual,
yang sangat mungkin terjadi di sekitar kita, bahkan pada diri sendiri tanpa
kita sadar
Jihad santri di masa pandemi ini berat, karena mengharuskan
tiap individu untuk waspada terhadap paparan Covid-19 sekaligus selalu membuka
mata dan telinga, memberikan ruang aman agar ada rasa keadilan bagi korban
kekerasan seksual. Santri milenial juga punya tanggung jawab mendorong adanya
landasan hukum yang pasti untuk menghapus segala jenis kekerasan seksual yang
masih kerap dialami oleh para santri, dan perempuan pada umumnya. Sehingga
mendukung RUU P-KS menjadi kian penting agar segera disahkan. []
Tulisan ini pertama kali
terbit di mubadalah.id pada 20 Oktober 2020.
Terbit dalam rangka memeringati Hari Santri.
0 Comments