Meletakkan
cerita kita pada tulisan ini, hal yang sudah lama kutunggu, Rat. Besar hati,
jika kita berunding seperti tempo dulu. Besar pula harapan, kenangan takkan
diulang dua kali. Kepergianmu masih berjejak dan berdedak. Sudah kubasuh lukamu
dengan sabun terbaik. Tetap, dia sudah permanen lekat dan tak luntur. Tak mengapa, air mataku berlinang jika
menyatukan cerita. Merebak rindu, seperti membendung air dengan kayu lapuk,
akan tiris juga. Percuma.
rakyatku.com |
Tampaknya, kamu
juga sudah tak mengenaliku, Rat. Baiklah, mungkin aku perlu berkirim surat
padamu. Sebenarnya, aku juga lupa cara menyapamu. Apakah aku perlu mengucapkan
selamat siang, pagi, malam, salam hangat, atau sejenisnya di awal suratku? Kita
tak pernah berbasa-basi. Melihatmu (dulu) adalah hal yang paling menyebalkan.
Namun tahu apa yang kamu bagikan, malah betah kulihat, berjam-jam. Rat, sudah
lama aku tak menulismu lagi. Kamu tak perlu susah, kali ini aku menulis hanya
untuk melepaskan canduku akan cerita dan mengisahkannya di sini. Mengguratkan
beberapa kalimat di sini, serasa langsung mengucapkannya. Rat, semoga Allah
selalu lindungi kita di mana pun tapak kaki kita menjajak.
Pertengahan 2019,
pertengahan hari bulan Juni. Aku kembali mengunjungimu untuk menilik sedikit
nelangsa moleknya negeri Minang. Berkabar jauh ke ujung Sumatera. Minang
kembali bercerita, membisikkan rindu pada angin yang berserak, biar dihembuskan
lepas hingga menyelubung ke negeri Medan. Aku tergoda dengan keindahan dan
keelokkan negeri Batak. Suatu saat aku akan berkunjung ke sana. Meresapi tanah
Toba, digandengi seorang yang bertanggung jawab penuh padaku. Istri. Suatu
saat.
Gundukan awan yang disembur oleh lembayung
senja sangat elok kupandangi dari tirai-tirai jendela kaca. Kicau-kicau burung
tempua serta bunyi motor yang berlalu lalang menggilas jalan, saling
sahut-menyahut sejingga ini. Demikian pula dengan pohon Kuini, dia masih setia
menyendiri di sisi bilik sebelah kanan kamar. Rumput-rumput berembun pun
membening direguk haus oleh sang fajar. Lukisan kuda-kuda yang berkejaran
mengecipak air masih terbingkai di dinding kamar, statis. Seonggok kenangan tentangmu,
tergilas terus saat kisah ini kulanjutkan, kata demi kata. Sekilas peristiwa
jingga ini, juga kububuhkan di sini untuk seorang teman di dunia pena dan
nyataku.
“Aku, Ratna Kemala. Kamu bisa
memanggilku Rat, Na, Ke, Mala. Panggilah sesuka dan semau hatimu.” Engkau
julurkan tangan pertanda salam kenal dari perempuan Toba. Aku jabah tanganmu
dengan senyum pula, dan ucapan selamat datang di tanah limpapeh ini. Lantas, aku menyebutmu akrab sesuai dengan definisi dan asumsiku sendiri. Enam tahun sejak uluran tangan itu, huruf
demi huruf sudah jelas lesap mengiring waktu sebagai onggokan cerita yang tak
penting ini.
Setiap taragak basuo menyala, jejeran foto yang berhasil kurekap
kutayangkan berulang-ulang. Agak kagok, jika pertemuan kita terjadi
kembali dengan status yang tak serupa. Aku terlalu naif jika tak merespon
suara, jika suatu saat datang tersaruk-saruk memenuhi gendang telinga. Suaramu,
Rat. Lembayung senja Senin ini, aku kembali mengajakmu menyila cerita. Yah,
biasa. Aku mulai jenuh dengan rutinitasku. Aku bisa rehat sedikit mengunjungimu
di dunia pena. Pesan “apa kabar?” Entah berumah di mana. Sebab setiap kata yang
terlintas, selalu singgah bersama. Hai, apa kabar? Terlalu formalkah kita
bercerita dalam bait ini?
Perihalmu, menyibak kronologi saat
beralmamater kuning tetapi berkampus ungu. Aku tidak mendefinisikan pertemanan
kita seperti ulat dengan kepompong. Aku juga tidak bisa menginstruksikan akulah
Patrick dan engkau Spongebob. Atau bagai katak dengan air. Tidak. Aku
menyebutmu akrab semasa itu karena engkau karang tangguh, tak jatuh diterjang
besarnya deburan ombak.
Engkau Ratna, gadis tambun berkulit
kuning langsat, rambut tergerai sebahu dan senang mengenakan kaus dan jeans ke
kampus. Engkau Ratna, yang sensasional, pola yang tak berpola yang mesti kujejal
seprofesional mana engkau dalam menjaga egomu yang tak mau mengalah meskipun
kalah. Engkau Ratna, yang kusebut akrab tetapi jarang bepergian bersama, jarang
satu tugas kelompok, dan jarang berbagi suka, duka, derai dan air mata. Engkau
Ratna, yang diam-diam kupergoki dua ilir air mata di sisi pipi, dalam sunyi aku
ketahui. Engkau Ratna, yang tengah kusamarkan dalam cerita. Ratna.
Sesenja akhir perjumpaan kita. “Aku
pergi, mustahil untuk kembali. Sudah kegeletakkan jejak dalam tanah-tanah yang
kutapaki. Minang nan elok tidak akan hilang karena perginya si gadis Toba.” Aku
tak pandai menamai ekpresiku saat itu, Rat. Kita hanya berjumpa dalam perantara
media. Mengulurkan tangan pun tak sempat, mengucapkan dengan lisan pun tak
berwaktu. “Pergilah! Jangan kembali. Lebih cepat lebih tepat!” tak seketus itu,
Rat. Yang tertuang terkadang tak tumpah. “Jangan!” kata itulah yang menggumam
dan merunyam.
“Aku
Randu, lelaki berkulit sawo matang, berprodi sama denganmu. Aku juga suka
Jeans, pernah menggeraikan rambut ke
kampus, atau mengenakan kaus bermotif. Si Randu yang berlainan arah dengan
polamu. Engkau masih ingat?”
Aku menutup surat beriring maaf dan
terima kasih. Aku lupa menyetor daftar ceritaku sudah di halaman berapa? Aku
bubuhi pula dengan kutipan favorit yang berjejer di meja belajarku, sebuah
syair pamungkas dari ulama besar, Iman Syafi’i “berlelah-lelahlah, manisnya hidup akan terasa setelah lelah berjuang”
Kemudian dua titik embun bening mengucur lepas dari kedua sisi pipiku. Basahnya
hangat, tirisnya tersendat. Tulisan terakhirmu masih kusimpan, yang pernah
engkau anggap buram. Aku mencomotnya kembali, meskipun lusuh, tapi sudah
kumuseumkan. Bahkan perihal emailmu, yang sering kuperhatikan. Adakah balasan
setelah seminggu kukirimkan surat untukmu?
Wisuda, 3.5 tahunmu. Engkau
mendahuluiku, Rat. Bukan apa-apa, aku berkabung di perhelatannmu. Tapi senyumku
masih semanis gula-gula bukan? “Ini mamak dan bapakku.” Aku menerima salam dari
penduduk Toba. “Kamu Cantik.” Hanya dua kata yang kuselonjorkan. Aku lebih
sering lagi memandangimu. Lebih lekat lagi. Berhelat pasti akan berpulang. Mencuri
pandangan ketika engkau bercengkrama dengan keluargamu. Aku rangkaikan pula
bunga berwarna hitam. Perlambang duka, di pestamu. Bertoga, palingan hitungan
hari engkau di ranah minang. Aih, hatiku kecut, Rat. Berbagai kata yang telah
kusiapkan entah kabur bersembunyi di mana. Yang ada hanya ketar-ketir cemas.
Aku takut engkau menolakku mentah-mentah di depan emak bapakmu pula. Aku yakin
mukaku merah padam. Aku surukkan, tapi kumis tipisku bergerak-gerak sendiri.
Malam ketujuh sudah larut, setumpuk
buku dan segunduk tugas sudah mengatakan selamat malam. Dering suara smartphone
menandakan, aku perlu mengecek apa yang tengah terjadi dalam email yang
kuproritaskan. Masih sama. Hanya notifikasi Google yang memberitahukan bahwa
aku perlu mengganti profil dan memperbaharui akun. Aku seperti menunggu
belanjaan online yang sekarang membooming. Menunggu kapan barangku datang, sampai aku terima untuk
kubaca. Tak ada tanda-tanda.
Sepertiga malam, saat hamparan sajadah
digelarkan. Berbaur dengan khalik dan sejuta pengharapan. Aamiin. Sejurus
deringan video masuk dari Whatsapp yang
tak asing bagiku. Nomor yang sering kuintip untuk sepersekian kali. Lembut
kuusap tanda merah, kemudian menghubungkan pada seorang berambut kepal dan
konde berhiasan. Tampak serasi baju adat
Batak serta kain yang diselempangkan dengan kulit perempuan itu. “Randu,
aku akan menikah” Bahkan tak satu kata yang bisa kuungkapkan, hanya kecipak air
mata yang beruntun haru berkepanjangan.
Nanar, Rat. Aku seakan tak percaya apa yang tengah terjadi diseperempat malam. Secepat kilatkah doa di sepertiga malam? “Randu, aku rindu. Segeralah ber-uni, biar engkau jajaki tanahku” Raungan tangis yang kusembunyikan. “Surat”. Hanya kata itu, selebihnya engkaulah yang banyak bercerita, membalas suratku dengan cara yang berbeda. “Kita tidak perlu lagi berkirim surat. Jika mau bercerita, silakan! Mari kita rajut kembali benang yang sudah lama lapuk, kita siram kembali bunga yang terlanjur layu.” Sengau, Rat. Aku mengekspresikan dengan derai-derai derita, yang merebak habis, tak berpola.
*untuk Yusniar Boru Purba
PENULIS
Edna,S. Lahir di Sungai Lundang, Pesisir Selatan, 21 Juli 1994. Menulis esai, cerpen, dan resensi yang pernah dimuat media. Alumni UNP, Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia. Bisa disapa via Fb: Edna Susanti dan Email ednasusanti121212@gmail.com |
2 Comments
Cerpen ini membawaku kembali ke kenangan-kenangan semasa kuliah dan saat wisuda 2017 lalu, terakhir kali kita bertemu, Na. Jujur, ada perasaan bingung memang saat terima buket bunga hitam darimu pada wkt itu, tp tidak terpikir olehku kalau itu pertanda duka krna kuharus pergi dr Minangkabau. Tidak terpikir makna itu krna km pun tidak menunjukkan tanda-tanda kesedihan. Hahaha terima kasih sudah mengenangku dlm cerita indah ini, Na. Semoga ada wkt kita bertemu ya. ♥️
ReplyDeleteGambling 101: What is the most important difference between casinos and
ReplyDeleteHow 용인 출장마사지 to gamble in casinos — Learn about casino 수원 출장안마 gambling 출장샵 and 광양 출장마사지 find the best ones. Check out our tips for winning at casinos and 하남 출장마사지 casinos.