Oleh: Italo Calvino*
Saya
harap sampean masih di dekat telepon, jadi jika orang lain menelepon, sampean
akan memintanya untuk segera menutup telepon agar sambungan tetap lengang:
sampean tahu panggilan saya dapat tersambung kapan saja. Saya sudah menekan
nomor sampean tiga kali, namun sinyal saya raib dalam kemacetan jalur
penghubung, apakah di sini, di kota sampean tempat menelepon, atau di jaringan
kota sampean, entahlah. Jaringan sibuk di mana-mana. Seluruh Eropa menelepon
seluruh Eropa.
Hanya
beberapa jam telah berlalu sejak saya mengucapkan selamat tinggal pada sampean,
dengan terburu-buru; perjalanan selalu sama, saya melakukannya secara mekanis
setiap saat, seolah-olah dalam keadaan kesurupan: taksi menunggu saya di jalan,
pesawat menunggu saya di bandara, mobil perusahaan menunggu saya di bandara
lain, lalu di sinilah saya, beratus-ratus mil jauhnya dari sampean. Ini adalah
saat yang paling penting bagi saya: saya baru saja meletakkan barang bawaan
saya, saya masih belum melepas mantel yang saya kenakan, dan saya sudah meraih
gagang telepon, menekan kode area kota sampean, lalu nomor sampean.
Jika
saya menekan setiap nomor perlahan hingga selesai melakukannya, saya
berkonsentrasi pada tekanan ujung jari saya seolah-olah itulah yang menentukan
ketepatan perjalanan yang harus dicapai setiap nomor, mengikuti serangkaian
langkah yang diperlukan, jauh dari satu sama lain dan dari kita, sampai mereka
mengeluarkan bunyi berdering di samping tempat tidur sampean. Jarang sekali
operasi berhasil di kali pertama: saya tidak tahu berapa lama kerja keras jari
telunjuk di tombol-tombol ini akan bertahan, begitupun ketidakpastian telinga
yang terpaku pada cangkang gelap ini. Untuk mengatasi ketidaksabaran, saya
ingat beberapa waktu yang lalu, ketika itu ada para-perawan-suci-tak-terlihat
dalam kantor telepon yang bertugas menjamin kelangsungan aliran percikan api
yang rapuh ini, bertempur dalam pertempuran tak terlihat melawan benteng tak
terlihat: setiap dorongan internal mendesak saya untuk berkomunikasi dalam
perantara kelambatan yang tersaring melalui prosedur yang tak bernama dan
menakutkan.
Sekarang
jaringan koneksi otomatis meluas di seluruh benua dan setiap pelanggan dapat
menelepon setiap pelanggan lain sesuka hati tanpa minta bantuan siapa pun, saya
harus menghentikan diri saya membayar kebebasan luar biasa ini dengan sebuah
biaya lain dalam bentuk kegugupan, pengulangan, buang-buang waktu, dan jadi makin
frustrasi karenanya. (Dan untuk membayarnya lagi sangatlah mahal, namun
hubungan antara tindakan menelepon dengan pengalaman pembiayaan yang kejam
bukanlah satu petunjuk: tagihan tiba setiap tiga bulan, satu sambungan
panggilan-langsung-jarak-jauh ditenggelamkan dalam keseluruhan angka yang
membikin pingsan sebagaimana bencana alam yang menggerus tekad kita demi lekas
menemukan alibi bahwa hal tersebut adalah keniscayaan).
Pippa Lattey |
Begitu
besar godaan fasilitas untuk menelepon, lagipula menelepon menjadi semakin
sulit, bahkan mustahil. Semua orang menelepon semua orang di saat-saat yang
memungkinkan, dan tidak ada yang dapat berbicara dengan siapa pun, sinyal
berkeliaran naik-turun dalam lalulintas pencarian otomatis, mengepakkan
sayap-sayap mereka seperti kupu-kupu gila, tanpa berhasil masuk ke saluran
bebas, setiap pelanggan terus menembakkan nomor ke kantor telepon, yakin bahwa
hal itu semata-mata galat lokal sementara. Yang benar adalah bahwa sebagian
besar panggilan dilakukan tanpa orang-orang punya ihwal untuk dikatakan satu
sama lain, oleh karena itu bukanlah masalah apakah mereka berhasil atau tidak,
yang mereka lakukan jadi tak lebih dari menyakiti beberapa orang yang
benar-benar ingin mengatakan sesuatu.
Tentu
saja saya tidak bisa mengklaim sebanyak itu. jika saya sangat buru-buru demi
menelepon sampean setelah beberapa jam berpisah, itu bukan karena ada hal
penting yang saya lupa beritahukan, bukan pula saya tidak sabar membangun
kembali kemesraan yang terputus sewaktu saya pergi. Jika saya mencoba
mengatakan hal demikian, saya akan segera merasakan senyum sarkastik sampean,
atau mendengar suara sampean dengan dingin menyebut saya pembohong. Sampean
benar: jam-jam terakhir sebelum saya pergi dipenuhi keheningan dan kegelisahan
di antara kita; selama saya di sisi sampean, jarak tidak dapat dibendung. Namun
justru sebab itulah saya tidak sabar menelepon sampean: karena hanya dalam
panggilan-jarak-jauh, atau lebih baik jika disebut panggilan internasional,
kita dapat berharap mencapai keadaan yang jamak didefinisikan sebagai
“kebersamaan”.
Itulah
alasan sebenarnya untuk perjalanan saya, untuk lompatan konstan saya tentang
peta, pembenaran rahasia yang harus saya katakan, yang saya berikan pada diri
saya sendiri, di mana tanpanya saya hanya mampu memikirkan kegiatan profesional
sebagai inspesktur operasi Eropa dari sebuah perusahaan multinasional sebagai
satu rutinitas yang tidak berarti: saya pergi agar dapat menelepon setiap hari,
karena saya selalu ada buat sampean, sebagaimana sampean selalu ada buat saya,
di ujung lain kabel, atau lebih tepatnya kabel konduktor tembaga coaxial, di kutub lain dari arus
frekuensi termodulasi lemah yang mengalir melalui lapisan tanah benua-benua dan
melintasi dasar laut.
Dan
ketika kita tidak memiliki kawat di antara kita untuk melakukan kontak, ketika
kehadiran fisik kita yang tak bercahaya menempati bidang sensorik, segera
segala sesuatu di antara kita menjadi biasa-biasa saja secara otomatis, gerak tubuh-rangkaian
kalimat-ekspresi wajah-reaksi timbal balik-kesenangan-intoleransi, semua itu
jadi kontak langsung yang dapat menular antara dua orang dan dengan demikian
juga dapat ditransmisikan dan diterima dengan sempurna, selalu menancap di
pikiran akan dasar-dasar yang dimiliki manusia untuk berkomunikasi satu sama
lain; singkatnya kehadiran fisik mungkin merupakan hal luar biasa bagi kita berdua,
namun hampir tidak dapat dibandingkan dengan frekuensi getaran yang sampean
dapatkan melalui sistem perpindahan aliran listrik dari jaringan telepon yang
hebat, atau dengan intensitas emosional yang dapat timbul oleh frekuensi serupa
itu dalam diri kita.
Semakin
kantor telepon genting, penuh risiko, tidak aman, maka semakin kuat emosinya.
Jika kita tidak puas dengan kantor telepon itu ketika kita bersama, itu bukan
karena mereka bekerja buruk, namun karena mereka harus bekerja sebagaimana
harus bekerja. Sementara sekarang saya mendapati diri saya menahan napas dan
sekali lagi saya menggilas rangkaian angka pada tombol yang berputar, mendengar
melalui telinga saya suara-suara hantu yang muncul di pihak penerima; sinyal
drum aktif di latar belakang, begitu samar hingga saya berharap itu adalah
gangguan yang kebetulan hadir, yang tidak ada hubungannya dengan kita; atau
sambungan percikan senyap yang dapat menandakan keberhasilan operasi yang rumit
atau setidaknya fase peralihan dari operasi itu, atau sekali lagi keheningan
dari ruang gelap dan kehampaan yang kejam. Di beberapa titik lintasan yang
tidak dapat diidentifikasi, panggilan saya hilang arah.
Quora |
Saya
meraih gagang telepon dan memperoleh nada sambung lagi, lalu dengan kelambatan
dua kali lipat mengulang angka pertama dari kode, angka yang memang disengaja
tidak lebih untuk sekadar mencari jalan keluar dari jaringan kota ini, kemudian
jaringan nasional. Di beberapa negara ada nada khusus pada saat ini untuk
memberi tahu sampean bahwa bagian pertama dari operasi telah berhasil; jika
sampean tidak mendengar kesiur musik dari sana, tidak ada gunanya melanjutkan
dengan rangkaian angka lain: sampean harus menunggu sampai antrean lengang. Di
rumah, mereka terkadang memberi sampean peluit yang sangat pendek yang datang
di akhir kode, atau di tengah jalan: namun tidak untuk semua kode dan tidak
pada setiap kesempatan.
Singkatnya,
apakah sampean pernah mendengar peluit kecil itu atau tidak, sampean tidak
dapat memastikan apa pun: ketika mereka memberikan sinyal jelas, saluran itu
mungkin tuli atau mati, atau mungkin hidup tiba-tiba tanpa memberi tanda-tanda
kehidupan sebelumnya. Jadi ada baiknya tidak usah menunda apa pun yang terjadi,
tekan saja nomor hingga angka terakhir dan tunggulah! Dengan asumsi bahwa
sinyal yang diaktifkan tidak meledak di tengah jalan, untuk memberitahu sampean
bahwa sampean membuang-buang waktu. Dan alangkah lebih baik jika itu terjadi:
saya dapat segera menutup telepon, menyelamatkan diri saya dari penantian
sia-sia, dan coba lagi.
Namun,
secara umum, setelah memulai urusan yang menjengkelkan untuk melacak selusin
angka dalam tombol rotasi, saya tidak memiliki indikasi apa pun tentang hasil
dari upaya saya itu. Kesempitan macam apa yang sedang dinegosiasikan sinyal
saya sekarang? Apakah masih terjebak di pencatatan kantor telepon di kota ini,
menunggu giliran dalam antrean panggilan? Apakah sudah diterjemahkan ke dalam
perintah sakelar putar, dibagi dalam kelompok digit tertentu yang mencari jalan
ke kantor-kantor telepon perantara yang berurutan? Atau apakah ia terbang
langsung ke jaringan kota sampean, area lokal sampean, tanpa menemui banyak
hambatan, hanya untuk ditangkap di sana seperti lalat di jaring laba-laba,
menjangkau telepon sampean yang tidak terjangkau?
Lubang
suara ini tak memberitahukan apa pun, dan saya tidak tahu apakah saya harus
menerima kekalahan dan menutup telepon, atau apakah sebunyi kesiur ringan akan
memberitahu saya bahwa panggilan saya telah menemukan saluran luang, telah
berangkat seperti anak panah dan dalam beberapa detik akan membangunkan telepon
sampean seperti gema.
Dalam
keheningan saluran inilah saya berbicara kepada sampean. Saya sangat sadar
bahwa ketika suara kita bertemu pada akhirnya, kita hanya akan berkomentar
hal-hal dangkal dan canggung; saya tidak menelepon untuk mengatakan apa pun
kepada sampean, atau karena saya membayangkan sampean memiliki ihwal untuk
dikatakan kepada saya. Kita saling menelepon karena di sambungan jarak jauh
inilah kita meraba-raba satu sama lain di sepanjang kabel tembaga yang
terkubur, pemancar yang berantakan, titik kontak yang berputar dari sakelar
putar yang tersumbat, hanya dalam penyelidikan atas keheningan ini dan menunggu
gema yang satu itu memperpanjang panggilan pertama dari jauh, seruan yang
terdengar ketika retakan besar pertama dari benua ini menguap di bawah kaki
sepasang manusia, ketika kedalaman laut terbuka untuk memisahkan mereka,
sementara, terkoyak dengan cepat, tebing demi tebing dan lain-lain hal,
pasangan tersebut berusaha dengan teriakan mereka demi merentangkan jembatan
suara yang mungkin bisa menyatukan mereka, teriakan yang semakin redup sampai
deru ombak mengalahkan semua harapan.
Sejak
saat itu jarak telah menjadi lekuk-liku yang menopang setiap kisah cinta,
setiap hubungan antar makhluk hidup, jarak yang ingin dijembatani burung-burung
ketika mereka meluncur dengan lengkungan halus menuju udara pagi, saat kita
melontarkan semburan impuls listrik ke rangkaian saraf bumi, masing-masing
dapat diterjemahkan ke dalam perintah untuk memancar: satu-satunya cara manusia
dapat mengetahui bahwa mereka saling memanggil tanpa alasan lain, selain
kebutuhan untuk saling memanggil itu sendiri. Tidak diragukan lagi,
burung-burung memiliki lebih banyak hal untuk dikatakan ketimbang apa yang
harus saya katakan kepada sampean, sambil menggelepar, jari-jari saya berputar
di tombol berisi angka-angka, berharap satu klik akan terbukti lebih
menguntungkan ketimbang yang lain, dan membuat telepon sampean berdering.
Seperti
seonggok kayu yang tuli pada kicauan burung, planet teleponik kita berdering
dengan percakapan yang telah dicapai atau telah dicoba, dengan piranti suara
yang menderu, dengan rengekan terputus, deru sinyal, nada, detak; dan hasil
dari semua itu adalah kicau universal, timbul dari kebutuhan setiap individu
untuk menunjukkan keberadaannya kepada orang lain, dan dari ketakutan akhirnya
kita memahami bahwa hanya jaringan telepon inilah yang ada, sementara kita yang
menelepon dan menjawab mungkin tidak ada sama sekali.
Kode
yang saya masukkan salah lagi, dari kedalaman jaringan saya memperoleh semacam
kicau burung, kemudian potongan percakapan orang lain, pesan yang direkam dalam
bahasa asing yang berulang: “Nomor yang sampean tuju saat ini tidak terdaftar
sebagai pelanggan.” Kemudian tanda sibuk terus menerus muncul, membengkak
hingga menghitamkan seluruh penerangan. Saya ingin tahu apakah sampean mencoba
menelepon saya pada saat yang sama dan berjalan menuju rintangan yang sama,
menggelepar dalam kegelapan, tersesat di labirin berduri yang sama.
Saya
sedang berbicara seperti yang tidak akan pernah saya lakukan jika sampean
mendengarkan; setiap kali saya jatuh dalam buaian untuk menghapus urutan angka
yang rapuh, saya juga menghapus semua yang saya katakan dan pikirkan
seolah-olah berada dalam delirium: pencarian ingar-bingar yang tidak aman ini
bagi satu sama lain memegang awal dan akhir dari segalanya; kita tidak akan
pernah tahu lebih banyak tentang satu sama lain selain bunyi berisik yang
memudar dan hilang di sepanjang kawat. Ketegangan di telinga yang sia-sia ini
memusatkan aliran gairah, kemarahan akan cinta dan kebencian, yang—saya dengan
karier eksekutif di sebuah perusahaan keuangan besar, hari-hari saya diatur
oleh penggunaan waktu yang cermat—tidak pernah punya kesempatan untuk
mengalaminya kecuali dengan cara yang dangkal dan sembrono.
Sangat
jelas dan alangkah tidak mungkin melalui saat-saat begini, di jam ini. Lebih
baik saya menyerah, namun jika saya berhenti mencoba berbicara dengan sampean,
saya harus segera kembali dan menerima telepon sebagai instrumen yang sama
sekali berbeda, bagian lain dari diri saya dengan fungsi lain: saya memiliki
serangkaian pertemuan bisnis di kota ini, yang membutuhkan konfirmasi mendesak,
saya harus mencabut lintasan mental saya dengan sampean dan menyambungkan yang
sesuai dengan inspeksi berkala saya terhadap perusahaan yang dikendalikan oleh
kelompok saya atau dengan kelompok pemilik saham; saya harus melakukan operasi
peralihan, bukan di telepon, namun dalam diri saya sendiri, dalam pendekatan
saya pada telepon.
Pertama,
saya hendak mencoba untuk terakhir kalinya, sekali lagi, saya kan memutar
urutan angka yang menggantikan nama sampean, wajah sampean, sampean. Jika
berhasil, bagus, jika tidak, saya akan berhenti. Sementara itu saya dapat terus
memikirkan hal-hal yang tidak akan pernah saya katakan kepada sampean, yang
berkaitan dengan hubungan yang saya miliki dengan sampean melalui telepon, atau
lebih tepatnya hubungan yang saya miliki dengan telepon, dengan sampean sebagai
dalih.
Mekanisme
jarak jauh berputar, pikiran saya berputar bersama mereka, dan saya mulai
melihat wajah penerima panggilan jarak jauh lainnya, berbagai suara dengan nada
getar, cakram padat yang merakit dan membongkar berbagai aksen, sikap dan
suasana hati, namun saya tidak puas dengan gambar seorang wanita ideal demi
memuaskan kerinduan saya untuk koneksi jarak jauh. Segalanya mulai
bercampur-aduk dalam pikiran saya: wajah, nama, suara, nomor di Antwerp atau
Zurich atau Hamburg.
Bukannya
saya mengharapkan sesuatu yang lebih, mengharapkan sesuatu yang lain: baik
berkaitan dengan kemungkinan berhasil, atau apa, sekali lewat, saya mungkin
berkata atau mendengar. Tapi hal itu tidak menghentikan saya untuk terus
mencoba melakukan kontak dengan Antwerp atau Zurich atau Hamburg atau kota lain
di mana pun kepunyaan sampean—sudah terlupakan dalam pusaran angka yang telah
saya hubungi satu-satu selama satu jam tanpa jeda.
Ada
hal-hal yang, bahkan jika suara saya tidak mencapai sampean, saya merasa perlu
memberitahu sampean: dan tidak masalah jika saya berbicara dengan sampean di
Antwerp, atau sampean yang di Zurich, atau sampean yang di Hamburg. Saya ingin
sampean tahu bahwa saat di mana saya bersama-sama dengan sampean bukanlah saat
saya melihat sampean di waktu petang, di Antwerp, atau Zurich, atau Hamburg,
setelah pertemuan bisnis saya; itu hanya aspek dangkal dan tak terelakkan dari
hubungan kita: pertengkaran, basa-basi, dendam, kobaran gairah; di setiap kota
dan dengan setiap wanita yang saya telepon, ritual yang saya lakukan dengan
sampean terulang. Sama seperti, segera setelah saya kembali ke kota sampean,
bahkan sebelum sampean tahu saya di sana, saya akan secara serampangan
menelepon (mencoba menelepon) nomor di Goteborg, atau Bilbao, atau Marseilles:
satu nomor yang saya sanggup saya selesaikan dengan mudah, dengan jaringan
lokal di sini, adalah jaringan Goteborg, atau Bilbao, atau Marseilles (saya
tidak ingat di mana saya berada). Namun saya tidak ingin berbicara dengan satu
nomor itu sekarang: saya ingin berbicara dengan sampean.
Itulah
yang—mengingat sampean tidak dapat mendengar saya—hendak saya beritahukan ke
sampean. Selama satu jam saya telah mencoba serangkaian angka berputar dan
berputar, semua tidak mungkin untuk dihubungi seperti nomor sampean, di
Casablanca, Salonica, Vaduz: Saya minta maaf karena sampean semua terjebak oleh
telepon yang menunggu saya: layanan makin buruk dan bertambah buruk. Segara
setelah saya mendengar suara yang mengucapkan “Halo!” saya harus berhati-hati
untuk tidak berbuat kekeliruan, untuk mengingat siapa di antara sampean yang
sesuai dengan nomor terakhir yang saya hubungi. Akankah saya masih mengenali
suara sampean? Saya sudah menunggu begitu lama, mendengarkan keheningan.
Saya
barangkali perlu memberitahu sampean pada titik ini, memberitahu sampean,
memberitahu sampean sekalian, mengingat tidak ada telepon sampean yang
menjawab: ambisi besar saya adalah mengubah seluruh jaringan global menjadi
perpanjangan diri saya, menyebarkan dan menarik getaran-getaran asmara, untuk
menggunakan alat ini sebagai organ tubuh saya sendiri demi menyempurkan pelukan
dengan seluruh planet. Saya hampir berhasil. Tunggulah di dekat telepon
sampean. Dan itu berarti sampean juga, di Kyoto, di Sao Paulo, di Riyadh!
Sayangnya
telepon saya terus memberi saya tanda sibuk, bahkan ketika saya meletakkannya
dan memungutnya lagi, bahkan ketika saya menggedor-gedor dudukannya. Sekarang saya
tidak bisa mendengar apa-apa, sampean akan berpikir barangkali saya terputus
dari semua jaringan. Tetap tenanglah sampean sekalian. Itu pasti hanya gangguan
sementara. Tunggu.[]
1975
*Italo Calvino (1923-1985)
adalah jurnalis dan pengarang kelahiran Kuba, tumbuh di Italia, dan hidup tiga
belas tahun di Prancis. Sepanjang hidupnya telah menerbitkan sejumlah novel dan
kumpulan cerita pendek. Karyanya yang terkenal antara lain “Our Ancestors”,
“Invisible Cities”, “The Cosmicomics” dan “Numbers in the Dark”.
*Cerpen
di atas diterjemahkan Hari Niskala dari “Before You Say ‘Hello’”,
terjemahan Tim Parks dari bahasa Italia, di mana terjemahan bahasa Inggrisnya
termuat dalam kumpulan cerita “Numbers in the Dark”, terbitan Vintage Books,
New York, 1995.
0 Comments