Minggu
lagi.
Sudah
hampir tengah hari.
Ponselku berdering. Mira, kekasihku, tengah
memanggil. Tetapi aku memilih untuk mengabaikannya.
Dengan penuh konsentrasi, aku kembali fokus
mencermati beberapa kiriman cerpen yang masuk melalui alamat surel redaksi
media daring yang kugawangi. Sebagai seorang redaktur cerpen, aku mesti menentukan
satu cerpen yang tayang pekan ini. Tentu aku harus menggunakan pertimbangan-pertimbangan
kesusastraan yang masuk akal.
Setelah beberapa lama menimbang, pilihanku
lantas mengerucut pada tiga cerpen yang kuanggap lebih baik. Tetapi dari
ketiganya, aku telah condong untuk memilih sebuah cerpen yang berkisah tentang misteri
pembunuhan seseorang yang ‘gila’. Sebuah cerpen yang masuk sebulan lalu, merupakan
karya seorang penulis yang kukira masih baru, sebab aku tak sekali pun menemukan
namanya di media cetak ataupun media daring.
Tetapi di ujung pertimbanganku, tiba-tiba, ponselku
kembali berdering. Anton, seniorku di kampus, tampak sedang memanggil. Ia yang kini
berprofesi sebagai dosen, adalah orang yang dahulu getol menyemangatiku untuk
membuat media daring bersama teman-temanku. Ia bahkan salah satu pemodal awal
dan donatur loyal untuk media yang kukelola bersama teman-temanku tersebut.
Karena itu, aku sangat segan dan hormat kepadanya.
“Oh, iya, aku hanya mau memberitahumu bahwa
sebulan yang lalu, aku telah mengirimkan cerpen ke e-mail mediamu,” katanya kemudian, setelah berbasa-basi.
Aku terkejut dan penasaran. “Aku merasa tak
pernah menemukan nama dan identitas kakak pada naskah-naskah yang masuk.”
Ia lantas tertawa. “Aku memang menggunakan
nama pena. Kau pasti pernah mengeja nama Katon Kariman, kan?”
Sontak saja, aku teringat pada sebuah
naskah cerpen yang kubaca tiga minggu yang lalu. “Oh, itu cerpen tulisan
Kakak?”
Ia kembali tertawa. “Iya. Itu nama penaku,”
jawabnya, lalu melepas batuk sekali.
“Maksudku, kau pertimbangkahlah cerpenku
itu untuk pemuatan minggu ini. Aku telah menulisnya dengan sebaik mungkin. Aku
yakin, orang-orang pasti suka dan akan menaikkan gengsi mediamu.”
Seketika pula, aku menelan ludah di
tenggorokanku. Pikiranku pun bekerja cepat untuk meramu kata-kata balasan yang
tepat. Hingga akhirnya, aku memberinya respon persetujuan, “Baik, Kak.”
“Baiklah. Aku percayakan kepadamu,” katanya,
lantas berdeham. Ia kemudian menyambung, “Oh, iya, jam 8 malam ini, kau
datanglah di Kafe Roman. Aku ingin mentraktirmu.”
“Baik, Kak,” jawabku, pasrah.
“Sampai jumpa kalau begitu,” pungkasnya,
lalu memutuskan sambungan telepon.
Akhirnya, perasaanku pun jadi kalut. Aku
bisa membaca dengan jelas bahwa kata-katanya bukanlah sebuah saran, tetapi
sebuah tekanan agar aku menurutinya. Padahal, setelah membaca naskah cerpennya,
tanpa ragu-ragu, aku lekas mencoretnya dari daftar naskah yang patut kuperhitungkan
untuk diterbitkan.
Keputusanku mengesampingkan karyanya, sangatlah
beralasan. Itu karena sepanjang pengalamanku sebagai redaktur cerpen, aku bisa
menvonis bahwa cerpennya termasuk kategori cerpen yang buruk. Kata-katanya banyak
yang tidak baku, susunan kalimatnya amburadul, alur ceritanya datar saja, serta
tidak mengandung konflik apa pun.
Cerpen yang ia tulis, hanyalah rangkaian kata-kata
gombalan yang polos. Berkisah tentang sosok ‘aku’, sang tokoh utama, seorang
lelaki, yang merupakan sosok pencinta puisi. ‘Aku’ kemudian jatuh hati kepada seorang
wanita sejak mereka bertemu di perpustakaan kampus, ketika mereka masih sama-sama
mahasiswa baru. Sepanjang waktu, ‘aku’ pun memendam perasaannya, dan berharap bisa
menyampaikannya suatu saat nanti. Begitu saja.
Tetapi atas permintaan khususnya, aku merasa
tak punya daya untuk menolak. Bagaimanapun, ia punya jasa yang besar untuk
keberlangsungan mediaku. Tanpa dukungannya, mediaku tidak akan pernah ada, atau
setidaknya mati secara perlahan-lahan. Karena itu, dengan berat hati, aku pun pasrah
untuk menerbitkan cerpennya, sembari mengesampingkan sebuah cerpen yang jelas
jauh lebih baik.
Akhirnya, untuk beberapa lama, aku pun membenahi
kesemrawutan tulisan cerpennya sebelum memuatnya di hari ini, sebagai hari
terakhir masa tunggu satu bulan untuk naskahnya itu. Tetapi aku hanya membetulkan
ketidakbakuan kata-katanya, sebab aku merasa tak mungkin memperbaikinya hingga
terhitung layak dalam waktu beberapa jam saja.
Apalagi, ia memang sudah ingin cerpennya diterbitkan.
Atas kepercayaan dirinya, ia sudah menganggap cerpennya sempurna, sehingga
perbaikan yang besar hanya akan membuatnya tersinggung.
Hingga akhirnya, di tengah kebimbangan, aku
mengunggah cerpennya di laman mediaku, kemudian membagikannya di media sosial. Perlahan-lahan,
aku pun merasa tenang telah melakukan sesuatu yang pasti akan membuatnya
berbangga diri, sehingga ia akan lebih memedulikan mediaku.
Tetapi di sisi lain, aku merasa khawatir kalau
para pembaca setia mediaku, dan para penulis lain yang telah berjuang menghasilkan
karya terbaik untuk diterbitkan di mediaku, akan menjadi kecewa dan meragukan profesionalitasku
sebagai redaktur.
Tetapi bagaimanapun, aku berusaha untuk
tidak ambil pusing. Kupikir, kalaupun respon dari para pembaca bernada negatif,
itu akan menjadi pelajaran juga untuknya, bahwa media massa seharusnya tidak
digunakan untuk mempertunjukkan ego pribadi.
Akhirnya, beberapa saat kemudian, aku melihat
ia membagikan cerpennya di beranda Facebook, sembari menandai seorang
perempuan. Setelah mencermati kata-kata pengantarnya untuk status tautan
tersebut, aku pun memahami bahwa cerpennya tak lebih dari ungkapan perasaannya
kepada sang perempuan yang ia tandai.
Di tengah rasa penasaranku terhadap respon
orang-orang atas cerpen itu nantinya, Mira, temanku di komunitas penulisan yang
kini telah resmi menjadi kekasihku, kembali menelepon.
Tanpa pikiran apa-apa, aku pun menjawab
panggilannya. “Halo.”
“Kamu ternyata pembohong!” vonisnya
seketika, dengan nada kesal.
Aku sontak terkejut mendengar amarahnya.
“Ada apa? Kok, kamu marah-marah begitu?”
Ia pun melenguh. “Kemarin-kemarin, kau
selalu bilang bahwa cerpen-cerpenku sudah cukup baik dan layak untuk
diterbitkan. Tetapi nyatanya, cerpen yang kukirim ke alamat email mediamu sebulan yang lalu, tak
juga kau terbitkan,” protesnya.
Seketika pula, aku jadi bingung. “Aku tak
pernah menemukan namamu di antara naskah-naskah cerpen yang masuk.”
Ia lantas mendengkus keras. “Ya, karena aku
menggunakan nama pena.”
“Memangnya, nama penamu siapa?” tanyaku, penasaran.
“Ratih Semila,” jawabnya.
Sontak, aku teringat pada satu cerpen yang
hendak kuterbitkan untuk edisi minggu ini, sebelum Anton mengintervensiku.
Ia kembali mendengkus, lantas menuturkan
kejengkelannya, “Kini, aku sulit memercayaimu lagi. Ternyata, kau juga pandai
melontarkan pujian-pujian yang palsu!” Ia menutup telepon.
Aku pun terperenyak, kemudian berusaha
menenangkan perasaanku yang kacau.
Sesaat berselang, aku kembali menengok
laman Facebook yang telah kumasuki dengan menggunakan akun media daringku.
Seketika pula, aku menemukan puluhan notifikasi. Setelah kusibak satu per satu,
aku menemukan komentar-komentar keras atas cerpen Anton. Bahkan banyak dari komentar
tersebut yang lebih tepat disebut makian ketimbang kritikan.
Pada akhirnya, aku bingung menentukan sikap
atas ajakan Anton untuk bertemu di kafe malam nanti. Aku takut kelimpungan menyikapi
responnya atas komentar orang-orang terhadap cerpennya. []
PENULIS
Ramli
Lahaping. Lahir di Gandang Batu, Kabupaten Luwu. Berdomisili
di Kota Makassar. Aktif menulis blog sarubanglahaping.blogspot.com.
Bisa disapa melalui IG: @ramlilahaping & e-mail: ramli.fhuh@gmail.com
0 Comments