Kursi-kursi tunggu masih sepi saja. Jam tujuh
malam dan detik-detik terus terdengar dentingnya. Hai, stasiun kereta yang lama
enggan kusapa. Perkenalkan, aku perempuan yang dulu ingin menghabiskan masa
mudanya dalam perjalanan demi perjalanan kereta.
Kali ini ruang tunggu cukup hening tapi
tanpa sesal. Aku tidak sedang menunggu manusia. Hanya jadwal kereta, Malabar
kelas ekonomi, gerbong dua. Nanti aku akan bertemu beberapa orang asing -semoga
lekas menjadi akrab, menjadi saudara. Tujuanku? Mungkin lebih jelas.
Aku mengamati sekitar. Di ruang tunggu,
seorang perempuan hanya duduk entah merenungi apa. Mungkin apa saja. Beberapa kali
ia tertunduk menatap layer ponsel pintarnya. Membalas beberapa pesan dari
orang-orang yang dirinduinya. Mungkin juga dari orang-orang yang mendoakannya,
yang dicintainya.
Perempuan itu sesekali menghela napas,
agak panjang, menekuri nasib yang entah sampai kapan akan begitu-begitu saja,
sampai kapan ia tahan? Sementara jam sudah didetak yang jauh, 20.44 WIB.
Aku sendiri mulai rebah di tempat yang
tidak begitu asing tapi jelas baru kumasuki hari ini. Tempat yang sekira dua
tahun lalu membuat tubuh mengantar tubuh lain pulang memapahnya. 2019, kala
itu. Seperti juga gerimis pada November ini.
Tidak ada yang istimewa selain anak-anak
muda paruh paya yang tampak ongas tapi basa basi saja. Perempuan itu tidak
sendiri. Ia Bersama tiga laki-laki yang melindunginya, menghargainya sebagai
rekan perempuan, gadis muda, anak baru.
Perempuan itu turun dari mobil, entah
berplat apa ia tak menaruh peduli asal ia dan ketiga kawan laki-lakinya segera
rebah atau setidaknya punya waktu untuk memasukkan beberapa potong roti atau
sebungkus nasi ke perut masing-masing. Satu hal yang ia ingat mungkin deretan
angka 1-5-0-6 dan beberapa huruf setelah itu.
Seperti biasa, ia tak sadar kondisi. Di pikirannya
orang-orag bisa dengan mudah mengakrabinya. Ia sendiri terlampau diam dan masih
tidak banyak bicara. Hanya mendengarkan dengan keadaan telinga yang pas-pasan
dan ingatan-ingatan yang mulai rapuh dan koyak. Harusnya ia mengajak bicara
orang-orang di sekitarnya tapi ia bukan orang yang demikian.
Jam sepuluh malam di hari selanjutnya,
satu waktu yang lebih cepat berlalu. Beberapa jam lagi 13 November dan taka da yang
bias kau upayakan kecuali mengutuki ketidakberaniamu sendiri. Kau selalu takut bicara, aku tahu. Kau selalu
ingin sendirian, aku juga tahu. Tapi seharusnya ada jeda untuk itu. Tidak ada
jalan kembali meski kau berusaha sekuat tenaga untuk beriringan dengan mereka. Tetap
saja, itu bakal sia-sia.
Menuju diri hari, perempuan itu mengulang-ulang
ingatan dalam perjalanan menuju sebuah tempat, dalam kereta Malabar, ekonomi
gerbong dua. Apa yang salah? Bahwa apa-apa yang ia ceritakan tidak bisa
dikatakan benar, secuil apapun. Kata-kata yang dirangkainya hamper sempurna,
tapi tetap saja tidak bisa dinilai benar.
Perempuan itu malu, lalu
menimbang-nimbang kenapa ia bisa sampai di sana? Bersama orang-orang yang jauh
tinggal di atas dan tak bisa terjangkau. Meski telah separuh nyawa upayanya. Entah.
Malabar, 11-13 November 2021.
0 Comments