Ibu oh ibu
Lama dan lengkap
Seperti novel berliku-liku
Aku membacamu sepanjang hidupku…
Sepenggal Lagu Anak mengalun membersamai aktivitas beberapa
mahasiswa di kandang sapi warga. Konteksnya, mereka sedang menyelenggarakan
kuliah kerja nyata di sebuah desa di pesisir selatan. Lagu itu melegenda di
telinga karena mengingatkan para mahasiswa itu dengan si empunya rumah, tempat
mereka menginap selama 45 hari. Saat itu, seorang nenek dan cucu perempuannya
yang masih berumur empat tahun adalah yang bersedia direpotkan.
Ketika diajak bicara soal ibu dan melek aksara, ingatan mereka pasti jatuh
pada kisah nenek dan cucu di desa itu. Bayi tiga bulan yang ditinggal ibu dan
bapaknya merantau. Nenek menggantikan posisi ibu, mengasuh, mengasih dan
mengasah apa-apa yang terlihat sebagai bakat si bocah. Nenek yang bahkan tidak
tamat SD mengupaya diri memberikan pengajaran bagi si bocah. Ia tidak segan
belajar pada mahasiswa-mahasiswa yang numpang di rumahnya tentang cara membaca,
berhitung dan menulis. Pun belajar gadget untuk bisa mengirim pesan dan video
call dengan anak dan menantunya.
Berbicara tentang ibu dan literasi mengingatkanku pada kisah Srikandi
Eilers atau Siri, putri tunggal Amba dalam Kekasih Musim Gugur (2020).
Perempuan itu digambarkan sebagai seorang anak yang tidak kekurangan suatu apa,
karena ibunya memiliki standar tinggi dalam literasi. Siri kecil tumbuh bersama
segudang literatur perlawanan yang dikoleksi ibu dan bapak tirinya. Hal itu
kemudian dipertegas oleh tokoh Dara, bahwa Siri tumbuh bersama buku-buku
penting yang bisa didapatkannya dengan percuma, sebab buku-buku itu sudah lebih
dulu nangkring di rak-rak orangtuanya.
Cerita ini mengandung keberuntungan. Sebab Siri dilahirkan di tengah
keluarga yang melek aksara. Mereka berpendidikan, memiliki akses bacaan yang
cukup beragam yang membuat mereka bisa hidup dan menghidupi, dari literatur
yang mereka kuasai. Aspek yang sangat berbeda dari cerita yang diingat oleh
mahasiswa-mahasiswa di desa pesisir itu. Bahwa perkara akses literasi, tidak
semua cukup beruntung bisa mendapatkannya.
Hingga pada ujung cerita ibu tua itu kecewa. Bukan pada cucu atau orang
lain, tapi pada dirinya sendiri. Bertahun-tahun membersamai bocahnya sebagai
ibu, sebagai bapak, dan sebagai nenek tentu bukan perkara gampang. Sampai pada
titik merasa kalah dengan gadget yang ditimang-timang si bocah. Kehadirannya
semakin asing. Ia hanya ada untuk menyuapi, memandikan dan mencuci pakaian si
bocah tapi tak pernah bisa menjalin komunikasi yang berarti. Ia merasa kalah
telak. Apa-apa yang ia pelajari telah diajarkan pada cucu semata wayang dan bocah
itu kini balik mengajari neneknya menggunakan tablet dan mencari beragam video
via youtube. Si cucu kebanggaan secara terang mengatakan, “nenek goblok”.
Apa artinya semua berjalan dengan baik dan tanpa masalah?
Mahasiswa-mahasiswa yang saban tahun mendengar cerita itu pasti ingat
betul detailnya. Ketidakberdayaan seorang ibu tua di hadapan gadget cucunya.
Sampai sang cucu di kemudian hari tidak menyadari telah benar-benar kehilangan
sosok ibu dalam tumbuh kembangnya. Ia hanya hidup bersama gadget, bising suara
dari video-video yang di-download-nya dan baru tumpah ruah tangisnya
pecah di pembaringan terakhir si nenek yang tidak bisa meninggalkan apa-apa,
selain sesal atas kebutaannya pada teknologi.
Bocah itu telah kehilangan ibu tuanya bahkan sejak masih di kamar yang
sama. Ia tidak pernah benar-benar mengenal siapa perempuan tua yang
menggendongnya setiap hari, bersusah payah membacakan cerita rakyat di malam
sebelum ia lelap, sampai akhirnya tergantikan oleh game dan aplikasi-aplikasi
di gadget pemberian ibunya di perantauan. Tidak ada kekangenan pada peluk dan
kecupnya. Pun apakah di masa depan ia bisa ingat tiap-tiap cerita yang berhasil
dihafalkan oleh ibu tua itu. Mungkin, bocah itu akan sulit membaca kenangan
demi kenangan perihal ibu tuanya. Butuh berlama-lama untuk menyesali pengabaian
di umur yang begitu muda.
Terlepas dari penyesalan bocah yang telah kehilangan ibu tua, toh ada
sesal yang sampai dibawa mati, oleh perempuan tua itu. Sesal karena merasa
tidak layak, sesal atas ketidaktahuan, kebodohan dan keterlambatannya belajar.
Sesal-sesal yang menumpuk dan membuatnya lebih cepat tutup usia. Penyesalan
yang seakan tidak berarti karena tidak meninggalkan apapun untuk diperbaiki. Kecuali
jika suatu hari membuat cucu kebanggaannya menyadari sesuatu dan belajar
sesuatu. Benar saja, Fajar Merah selalu mengingatkan bahwa butuh sepanjang
hidup untuk membaca ibu, memahami perjuangannya. []
Tulungagung, 08 September 2021
0 Comments