Italo Calvino*
Ada hal yang mestinya
terpikirkan di benak saya, tapi, ah, sudah sangat telat. Ini sudah jam setengah
satu lebih, dan saya lupa mengisi; tempat pengisian akan tutup pada jam tiga. Tiap
tahun, dua juta ton bahan mentah diambil dari kerak bumi, tersedia selama jutaan
abad dalam lapisan bebatuan yang terkubur di antara timbunan pasir dan tanah liat.
Jika saya bayangkan
sekarang ada bahaya, saya akan berlari keluar ke jalan raya; penanda ukuran inilah
yang sebentar-sebentar memberi peringatan bahwa isi tangki dalam pencadangan. Sedangkan
mereka, memperingatkan kami sekian lama bahwa cadangan di bawah tanah—paling lama—tak
sampai dua puluh tahun. Saya punya waktu melimpah untuk memikirkan hal itu, sebagaimana
saya merasa tak perlu bertanggungjawab; saat tanda merah mulai berkedip di atas
dasbor, saya mengabaikannya—saya bisa kemasi saja barang-barang.
Saya katakan pada
diri saya sendiri bahwa seluruh cadangan masih ada dan bisa digunakan, dan kemudian
saya lupakan perkara itu. Tidak, barangkali itulah yang terjadi di waktu lalu—saya
demikian abai dan lupa akan hal ini: masa-masa saat bensin tampak melimpah bagaikan
udara.
Sekarang, saat
cahaya menyala demi mengirim alarm, ancaman sesekali tampak samar; itulah pesan
agar saya mengambil dan mencatat beberapa gejala kecemasan yang mengendap di antara
lapisan kesadaran, menghancurkan pikiran yang mengatakan bahwa saya tak bisa melepaskan
diri, namun itu tak mendorong saya menuju aksi praktis yang benar sebagai satu konsekuensi,
demikianlah, misalnya: berhenti di pom bensin terdekat, tentu saja untuk isi bensin.
Atau, adakah kiranya
hal itu merupakan sebuah insting berhemat yang melingkupi diri saya, sebuah refleks
ihwal tabiat kikir: sebagaimana saya jadi hati-hati saat tangki kosong, saya merasa
stok kilang berkurang, termasuk minyak yang mengalir dalam pipa, dan muatan dalam
kapal tanker menumpahi laut; percobaan pengeboran ke kedalaman bumi tak membawa
apa pun kecuali air kotor; kaki saya yang menginjak pedal gas menaruh kebingungan
pada fakta bahwa tekanan terkecil dapat membakar habis pancaran terakhir energi
yang tersedia di planet kita; perhatian saya terfokus pada pengisapan titik-titik
terakhir bahan bakar; saya menekan pedal gas seolah tangki adalah lemon yang harus
diperas tanpa boleh bersisa barang setetes; saya pelankan laju; tidak: saya percepat,
naluri saya mengajak pergi lebih cepat, selebihnya saya akan memeras sebagaimana
saya sebut, yang bisa saja jadi yang terakhir.
Saya tak mau ambil
risiko, meninggalkan kota tanpa isi bensin. Saya yakin akan menemukan satu stasiun
pengisian yang buka. Saya mulai berkeliling ke jalan-jalan masuk, menyusuri trotoar
dan petak bunga di mana ada tanda-tanda berwarna-warni dari beberapa perusahaan
minyak yang berbeda, kendati tak segencar biasanya, pada hari di mana beberapa harimau
dan hewan-hewan mitologis lain meniupkan api ke dalam mesin kita.
Lagi-lagi saya
terkecoh oleh tanda “Open” yang berarti bahwa stasiun pengisian buka hanya pada
jam-jam biasa, dan mulai sekarang tutup, selama jam istirahat makan siang. Kadang-kadang
tampak seorang pegawai pom yang duduk di atas kursi lipat tengah mengunyah sandwich atau setengah mengantuk: dia membuka
tangannya dalam isyarat minta maaf, peraturan yang sama untuk tiap orang dan isyarat
tangan saya tak bermakna apa-apa, sebagaimana saya tahu mereka.
Saat di mana segalanya
tampak mudah saja sudah berakhir, saat di mana kau dapat percaya bahwa energi manusia—sebagaimana
energi alam—adalah tak bersyarat dan tak habis memberi faedah: saat stasiun pengisian
dirias demikian menarik di ruas-ruas jalan, semua sejalan dengan pegawai yang berpakaian
setrip hijau dan biru, juga spon berair yang siap membersihkan kaca depan yang tercemari
darah dan bangkai sekawanan nyamuk.
Atau lebih tepatnya:
Di antara akhir-waktu-ketika-orang-orang-dengan-pekerjaan-tertentu-bekerja-penuh
dan akhir-waktu-ketika-kau-membayangkan-bahwa-komoditas-tertentu-tidak-akan-pernah-habis,
terletak seluruh era sejarah yang panjangnya bervariasi, dari negara ke negara,
dari orang ke orang.
PxHere |
Jadi izinkan saya
mengatakan bahwa saat ini saya mengalami secara simultan keadaan naik, puncak dan
turun dari sebutan “masyarakat mewah”, dengan cara yang sama seperti bor yang berputar
mendorong dalam sekejap dari satu milenium ke milenium berikutnya saat membelah
bebatuan sedimen dari Zaman Pliosen, Zaman Kapur, dan Zaman Trias.
Saya mengamati
situasi saya dalam ruang dan waktu, mengkonfirmasi data yang diberikan oleh jam
kilometer, baru saja kembali dari nol, pengukur bahan bakar sekarang stabil di nol,
dan jam waktu, di mana jarum pendeknya masih tinggi di kuadran meridian, ketika
Gencatan Air membawa harimau dan rusa jantan yang kehausan menuju kolam berlumpur
yang sama, mobil saya sia-sia mencari penyegaran saat Gencatan Minyak mengirimkannya
secara tergesa-gesa dari pom bensin ke pom bensin.
Pada jam-jam meridian,
makhluk hidup Zaman Kapur muncul di permukaan laut, sehimpunan ganggang kecil dan
cangkang tipis plankton, spons lembut dan karang tajam, mendidih di bawah terik
matahari yang akan terus hidup melalui tubuh-tubuh mereka dalam kehidupan jangka
panjang yang dimulai setelah kematian, ketika direduksi hujan ringan sisa-sisa hewan
dan tumbuhan yang mengendap di perairan dangkal, tenggelam di lumpur, dan melalui
bencana yang terkunyah lahan batu berkapur, dicerna dalam lipatan sinklin dan antiklin,
dicairkan dalam minyak padat yang mendorong ke atas melalui lubang-lubang bawah
tanah yang gelap sampai mereka menyembur keluar di tengah gurun dan meledak menjadi
api yang, sekali lagi, menghangatkan permukaan bumi dalam kobaran api siang primordial.
Dan di sini, di
tengah gurun perkotaan pada siang hari, saya melihat sebuah stasiun pengisian buka:
segerombolan mobil melintas di sekitarnya. Tidak ada petugas; itu adalah salah satu
pompa swalayan yang dapat mencatat dalam mesin. Pengemudi di sana sibuk menarik
mulut pipa pompa krom dari sarungnya, mereka berhenti di tengah-tengah gerakan membaca
instruksi, tak tentu menekan-nekan tombol, ular karet melengkungkan gulungannya
yang dapat ditarik.
Tangan saya akan
bermain-main dengan pompa, tangan yang tumbuh dalam masa transisi ini, yang terbiasa
menunggu tangan lain untuk melakukan tindakan yang sangat diperlukan untuk kelangsungan
hidup. Bahwa keadaan ini tidak permanen, saya selalu sadar, dalam teori; dalam teori
tangan saya tidak menginginkan yang lebih baik ketimbang memperoleh kembali peran
mereka dalam melakukan semua operasi manual umat manusia, seperti di masa lalu ketika
alam buruk menimpa seorang pria yang bersenjatakan tidak lebih dari sepasang tangan
kosongnya, jadi hari ini kita diatur oleh dunia mekanis yang tidak diragukan lagi
lebih mudah dimanipulasi ketimbang alam kasar, dunia di mana tangan kita selanjutnya
harus kembali mengelola sendiri, tidak lagi dapat memasrahkan pekerjaan mekanis
kehidupan sehari-hari kepada tangan lain.
Ternyata tangan
saya kecele: pompa ini sangat mudah bekerja sehingga kau akan bertanya-tanya mengapa
swalayan macam begini tidak menjadi hal biasa pada rentang masa berabad-abad lalu.
Tapi kepuasan melakukannya sendiri tidak jauh lebih besar ketimbang menggunakan
dispenser cokelat otomatis, atau alat pengunyah uang lain.
Satu-satunya operasi
yang memerlukan perhatian adalah mereka yang berkutat dalam pembayaran. Kau harus
meletakkan uang kertas seribu lira pada posisi yang tepat di sebuah laci kecil,
hingga mata fotoelektrik dapat mengenali patung Giuseppe Verdi, atau mungkin hanya
potongan logam tipis yang melintas di setiap uang kertas. Tampaknya nilai seribu
lira sepenuhnya terkonsentrasi di setrip itu; ketika uang kertas tertelan ke dalamnya,
sebuah lampu menyala, dan saya harus lekas mendorong mulut pipa ke dalam mulut tangki
dan mengirim jet yang mengalir gencar, padat dan bergetar dalam warna-warninya yang
transparan; harus lekas menikmati hadiah yang tidak mampu memuaskan indera saya
tapi tetap sangat diidamkan oleh bagian yang jadi sarana penggerak saya ini.
Saya hanya ada
sedikit waktu untuk memikirkan semua ini: dengan klik tajam, aliran berhenti, lampu
padam. Mekanisme rumit yang digerakkan beberapa detik lalu sudah berhenti dan tidak
menyisakan gerak, pengendalian kekuatan dunia yang saya panggil dalam ritual-saya-atas-kehidupan
berlangsung tidak lebih dari sesaat. Sebagai ganti untuk seribu lira yang direduksi
menjadi kepingan logam yang sedikit, pompa hanya akan memberikan sedikit bensin.
Harga minyak mentah sebelas dolar per barel.
Saya harus memulai
dari awal lagi, memasukkan lembaran lain, lalu yang lain, seribu lira sekali tekan.
Uang dan dunia bawah tanah adalah keluarga, dan mereka kembali saling menjauh; hubungan
mereka terbentang dalam satu bencana demi bencana, kadang-kadang sangat lambat,
kadang-kadang diam tiba-tiba; ketika saya mengisi tangki di stasiun pengisian swalayan,
gelembung gas membengkak di danau hitam yang terkubur di bawah Teluk Persia, seorang
emir diam-diam mengangkat tangan yang tersembunyi di lengan pakaian putih-lebar
dan melipatnya di dadanya, komputer Exxon jadi kepingan angka-angka di sebuah gedung
pencakar langit, dan jauh di laut, sebuah armada kargo memperoleh perintah untuk
mengubah arah—saya meraba-raba di saku, daya kecil uang kertas itu menguap.
Saya melihat sekeliling:
saya satu-satunya yang tersisa di pom yang sepi ini. Mobil-mobil yang hilir-mudik
di seputaran stasiun pengisian yang buka pada jam ini tiba-tiba berhenti, seolah-olah
pada saat ini konvergensi bencana alam yang tiba-tiba dapat menghasilkan bencana
alam penghabisan, pengeringan simultan yang dimungkinkan berasal dari jalur-jalur
pipa tangki dan karburator yang memompa sumur minyak.
Kemajuan memang
punya risikonya sendiri, yang lebih penting adalah kemampuan untuk berkata bahwa
kau telah melihat hal demikian sebelumnya. Untuk sementara, sekarang saya sudah
terbiasa membayangkan masa depan tanpa bergeming, saya sudah bisa melihat deretan
mobil ditinggal terbungkus sarang laba-laba, kota yang direduksi menjadi tumpukan
sampah plastik, orang-orang berlarian dengan karung di punggung akibat dikejar banyak
tikus.
Tiba-tiba saya
dicecar oleh keinginan untuk keluar dari sini; tapi hendak ke mana? Saya tidak tahu,
dan itu bukan masalah; mungkin saya hanya ingin membakar sedikit energi yang tersisa
untuk kita dan mengakhiri siklus ini. Saya telah menggali seribu lira terakhir untuk
menyedot satu suntikan bahan bakar lagi.
Kumaran |
Sebuah mobil sport
berhenti. Pengemudinya, seorang gadis yang terbungkus dandanan spiral dari rambutnya
yang tergerai, syal dan leher kura-kura berbahan wol; ia mencuatkan hidungnya yang
mungil dari tumpukan yang kusut sebelum berkata: “Isi di sini.”
Saya berdiri di
sana, tepat di depannya, dengan ujung mulut nozel mengacung di udara; saya mungkin
juga mendedikasikan oktan terakhir untuknya, jadi mereka setidaknya meninggalkan
kenangan penuh warna yang menyenangkan ketika mereka terbakar, di dunia di mana
semuanya begitu tidak menarik: operasi yang saya lakukan, bahan yang saya gunakan,
keselamatan yang bisa saya harapkan.
Saya membuka tutup
bahan bakar mobil sport itu, menyelipkan paruh miring pompa, menekan tombol, dan
ketika saya merasakan jet menekan, saya akhirnya mengalami sesuatu seperti ingatan
akan kesenangan yang jauh, semacam kekuatan vital yang membangun hubungan, aliran
benda cair yang lewat di antara saya dan orang asing di belakang kemudi ini.
Dia berbalik untuk
melihat saya, dia mengangkat bingkai besar kacamatanya, dia memiliki sepasang mata
hijau yang transparan berwarna-warni. “Tapi kau bukan petugas pom bensin… Apa yang
sedang kau lakukan… Mengapa…” Saya ingin dia mengerti bahwa ini adalah tindakan
cinta yang ekstrem di pihak saya, saya ingin melibatkannya dalam ledakan panas terakhir
yang bisa dilakukan oleh umat manusia, tindakan cinta yang juga jadi tindakan kekerasan,
pemerkosaan, pelukan fana, kekuatan bawah tanah.
Saya membuat isyarat
agar dia diam, dan menunjuk ke bawah pada ruang kosong seolah-olah memperingatkannya
bahwa “mantra” ini bisa saja gagal setiap saat, lalu saya membuat gerakan melingkar
seolah-olah mengatakan semuanya sama, dan maksud saya adalah bahwa melalui saya,
si hitam Pluto menjangkau dunia bawah untuk membawa, melalui dia, Persefon yang
menyala-nyala, karena memang begitulah cara pemakan-zat-hidup-yang-kejam bekerja,
dan bumi ini pun memulai siklusnya lagi. Dia tertawa, memperlihatkan dua gigi seri
muda yang runcing. Dia tidak menentu.
Pencarian akan
cadangan minyak di California telah mengungkap keberadaan kerangka spesies hewan
yang punah selama lima ribu tahun, termasuk harimau bertaring tajam—sudah tentu
tertarik oleh hamparan air yang menggenangi permukaan danau hitam pekat, yang kemudian
menyedot hewan itu dan menelannya.
Tapi waktu singkat
yang diberikan kepada saya sudah berakhir: aliran terhenti, pompa diam, pelukan
terputus. Ada keheningan yang mendalam, seolah-olah semua mesin di mana-mana telah
berhenti dan roda kehidupan umat manusia sama berhentinya. Pada hari di mana kerak
bumi menyerap kembali kota-kota, endapan plankton yang mewujud manusia ini akan
tertutup oleh lapisan geologis aspal dan semen sampai jutaan tahun, mengental menjadi
endapan minyak, yang atas nama siapa kita tidak tahu.
Saya menatap matanya: dia tidak mengerti, mungkin baru mulai takut. Baiklah, saya akan berhitung sampai seratus: jika keheningan berlanjut, saya akan raih tangannya dan kami akan mulai berlari. []
1974
*Italo Calvino (1923-1985) adalah jurnalis dan pengarang kelahiran Kuba, tumbuh di Italia, dan hidup tiga belas tahun di Prancis. Sepanjang hidupnya telah menerbitkan sejumlah novel dan kumpulan cerita pendek. Karyanya yang terkenal antara lain “Our Ancestors”, “Invisible Cities”, “The Cosmicomics” dan “Numbers in the Dark”.
*Cerpen di atas diterjemahkan Hari Niskala dari “The Petrol Pump”, terjemahan Tim Parks dari bahasa Italia, di mana terjemahan bahasa Inggrisnya termuat dalam kumpulan cerita “Numbers in the Dark”, terbitan Vintage Books, New York, 1995.
0 Comments