Hai,
Roek.
Mei ini
kamu hebat, bisa melaluinya dengan cukup baik. Meskipun terseok-seok dan penuh
dengan kemarahan. Aku tahu, kamu ingin lekas pergi dari tempatmu saat ini. Aku
tahu kamu ingin meninggalkan hal-hal yang membuat perasaanmu selalu buruk, kesehatan
mentalmu jatuh.
Tidak apa-apa.
Rasakan apa yang ingin kamu rasakan. Sedih, kecewa, marah, dan senang itu
lumrah dirasakan manusia. Pun untuk kamu yang saat ini sedang tidak baik-baik
saja. Akuilah itu, agar tubuhmu tidak turut mendapati luka-luka yang telah
lebih dulu bersarang dalam pikiran.
Bagaimana
kabar dua sepuhmu?
Sekali
lagi, kamu hebat karena bisa menahan diri untuk tidak berkata kasar kepada
mereka. Kamu hebat karena tidak meninggalkan mereka di masa-masa sulitnya. Kamu
luar biasa karena bisa ikut membalut luka dan merawat kesakitan-kesakitan itu.
Semoga mereka berdua segera pulih, menyadari kesepuhannya dan menjadi lebih
arif dalam bersikap.
Soal pertanyaanmu
tempo hari. Aku tidak punya jawaban yang tepat, Roek.
“Katanya
kita harus meninggikan adab kepada orang tua. Lalu bagaimana jika adab yang
kita junjung tinggi dipatahkan begitu saja oleh mereka? Apakah kehilangan respect kepada mereka menjadikan kita
bukan manusia?”
Tentu kita
tetap manusia biasa, Roek.
Kita menjalani
setiap proses dalam hidup dengan jatuh, luka, dan bangun masih dengan
kepatahan. Kehilangan adab tentu karena berbagai alasan. Kehilangan kepedulian
terhadap orang yang paling kamu hormati bisa jadi adalah another level of sadness yang harus kamu tanggung.
Pesanku,
kuatlah untuk dirimu sendiri. Bertahan hiduplah dan hargai yang bisa kamu
hargai untuk saat ini. Mungkin sulit, sebab rasa bersalah pasti menghantuimu
setiap waktu. Aku tidak memintamu mengabaikan itu. Mungkin, kita bisa mulai
belajar memahami apa-apa yang kita butuhkan untuk bisa keluar dari situasi yang
sengkarut.
Lalu, bagaimana
tentang adab mereka terhadap anak-anak seperti kita? Mereka dengan seenaknya,
setiap hari mengadu domba dan secara tidak langsung memaksa telinga kita
mendengar kalimat-kalimat kasar, mendengar ujaran kebencian, mendengar
berita-berita bohong.
Aleenahoz Beauty |
Aku
tahu, Roek.
Kita tidak
pernah berkata kasar kepada mereka untuk menjaga adab kesopanan, kehormatan
mereka. Tapi yang mereka lakukan justru masih sama saja. Menyebarkan aib,
menghujat orang, menghujat anak-anaknya sendiri di depan setiap tamu yang
datang.
“Apakah
dengan kehilangan kepedulianku kepada mereka, aku kehilangan kemanusiaanku?”
Kamu menganggap,
mereka telah mengambil sisi kemanusiaanmu lewat setiap hujatan, makian,
kedengkian, kemarahan, kebohongan, dan kepura-puraan sejak dulu. Kamu merasa telah
kehilangan rasa percaya dan rasa kasih itu.
Jika
dikata kamu bukan lagi manusia berpendidikan, hanya karena berkata 'bosan', tidak
masalah. Itu hanya anggapan. Kata-kata lahir dan terbang, lewat dan singgah
beberapa bentar, kadang menetap di hati manusia, kadang terpapas dan hilang. Kemanusiaanmu
tidak akan berkurang hanya karena anggapan-anggapan itu.
Roek,
aku tahu kamu memang 'bosan' mendengar keluhan, raungan, tangisan yang kadang
terlampau jelas terlihat dibuat-buat. Kamu terlampau ‘bosan’ melihat
kesewenangan yang mereka lakukan pada saudara-saudarimu. Sementara mereka juga
masih terus menghakimi orang lain dengan sangat congkak, tanpa sudi meminta
maaf, tanpa sudi disalahkan.
Lagi-lagi
kamu bertanya, “Apa iya, aku bisa
menghabiskan sisa hidupku dengan mereka?”
Kamu bahkan
berdoa dengan penuh harap di setiap kesepian dan keheninganmu sendiri. Memohon dengan
sangat agar Tuhan sudi mendengar doa dan lekas mengabulkannya. Kamu terus
merapalkan doamu dan aku sangat tahu keinginanmu yang pasang surut itu.
“Gusti,
aku mohon. Aku ingin pergi dari situasi yang mencekik ini. Aku tidak ingin di
sini untuk waktu yang lama. Ijinkan aku untuk mendapatkan ruang hidup di tempat
lain, yang lebih sehat untuk mentalku. Aku mohon.”
Dear,
Roekmini.
Hari ini
aku memaafkanmu, diriku sendiri. Bahwa kita telah dianggap kehilangan adab, rasa
peduli, nir-empati, tidak apa-apa. Aku juga berterimakasih karena telah
bertahan dengan segala kekurangan. Mohon maaf, karena telah menyakiti tubuh
kita dengan energi-energi dan pikiran negatif.
Kita bisa
menangis sesenggukan setiap malam di kamar mandi, menyeringai sambil merasai sakit
di kepala dan pencernaan setiap hari. Kita bisa menahan murka setelah mendengar
kalimat-kalimat yang tidak manusiawi itu, kita bisa diam.
Tapi,
tidak untuk seumur hidup.
Kupastikan,
diriku. Kamu boleh pergi dari setiap situasi yang beracun itu. Sesekali berlari
dan menepi akan lebih baik daripada terus bertahan tapi kamu kehilangan napas
dan hidupmu sendiri.
Hari ini,
kuputuskan menjadwal ulang kepergian.
Tulungagung, 23 Mei 2022, 12:23
0 Comments