Semua yang biasa
Jadi awal perjamuan kita tempo hari
Tuhan mungkin sekedar menakar
Membawa kedua mata kita ke pertemuan
yang paling nanar
Melihat kemerdekaan yang sia-sia
Dan beberapa laku hidup kampung-kampung
yang pilih memangku resah
Bangku-bangku taman sudah mirip
notulen rapat
Yang merapal mantra-mantra sebelum
kita duduk bersua
Tidak banyak
Sekedar melepas ruang yang mulai
pengap
Atau membantu kita bersesumbar soal
hal-hal penting dalam benak
Kita pernah saling lengang
Berdiri congkak di bawah pondasi ego
Merasa paling benar hanya karena tak
mau dicacat
Pilih menggadai rasa sendiri
Malaikat-malaikat kecil di pinggir
kota lebih mafhum
Betapa musykil menyatukan
Perihal yang sering luput
Untuk sekedar bisa kembali terpaut
Tapi
Lagi-lagi Tuhan yang menakar
Membawa potongan-potongan amunisi
tempat berjuang
Dan tahun-tahun ini tak bakal cukup
Untuk merampungkan ketidakdewasaan
Tapi
Cinta bukankah belati?
Yang butuh ditempa agar abadi?
Kita harusnya percaya
Tak ada perjalanan jauh yang bebas
liku dan kelok
Kita mesti belajar menapak lebih
tinggi
Menantang terjal dan berjalan jauh
Mengoyak keputusan demi keputusan
Hingga bisa sampai pada sambungan
cerita yang ditakar Tuhan…
Tulungagung, 21 Maret 2020
0 Comments