Pada 23 November 2022 lalu, International
Conference diselenggarakan dalam rangka menyongsong Kongres Ulama Perempuan Indonesia
(KUPI) II di Bangsri, Jepara pada 24-26 November 2022.
International Conference yang bertempat di
Auditorium Kampus 3 UIN Walisongo Semarang tersebut dihadiri tidak hanya oleh
kiai dan bu nyai dari tiap-tiap wilayah di Indonesia, tetapi juga dihadiri oleh
jaringan KUPI yang ada di 31 negara di seluruh dunia.
Dalam rangkaian pembukaan International Conference, bu Nyai
Badriyah Fayumi memberikan sambutan yang menggerakkan semangat para jaringan KUPI
untuk mengawal dan ikut mendiseminasikan gagasan-gagasan ulama perempuan,
terutama visi-misi bersama dalam meneguhkan kesetaraan dan keadilan bagi setiap
individu, tanpa diskriminasi, stigmatisasi, dan marginalisasi.
Selain itu, International Conference juga dihadiri oleh pencetus Ngaji Keadilan
Gender Islam (KGI), bu Nyai Nur Rofi’ah. Dalam sambutannya, bu nyai Nur Rofi’ah
menyinggung keterlibatan AMAN Indonesia sebagai salah satu penyelenggara International Conference. Menurutnya, AMAN
Indonesia selaku jaringan KUPI, sengaja
mengundang masyarakat global untuk mengikuti KUPI dalam rangka menunjukkan
bahwa gagasan KUPI ada untuk membawa kemaslahatan bagi setiap individu,
mengupayakan ruang yang berkeadilan untuk semua.
Sementara itu, dalam sesi seminar bertajuk
Movement of KUPI: Paradigm, Methodology,
and Approaches, Rektor UIN Walisongo, Imam Taufik mengungkapkan bahwa kontribusi
seluruh perguruan tinggi juga penting dalam mendiseminasikan pengarusutamaan
gender. Kampus dengan semangat religius dan akademis, harus menjadi prototype institusi yang meletakkan gender mainstreaming sebagai pilar.
Agenda lima tahunan tersebut juga dihadiri
oleh Alissa Wahid yang merupakan koordinator nasional Jaringan GUSDURian. Dalam
bahasannya bertajuk, “Tantangan dan Peluang Dakwah Gerakan Ulama Perempuan Di
Era Digital”, ning Alissa mengungkapkan bahwa persoalan genting yang sedang dihadapi
oleh masyarakat Indonesia adalah semakin berkembangnya ekstremisme agama dan
eksklusivisme beragama. Bahkan maraknya kekerasan seksual yang terjadi saat ini,
harus diakui juga ditopang oleh konservatisme yang menyebabkan relasi kuasa
langgeng.
Menurut Alissa, setidaknya ada empat model
gerakan yang bisa dilakukan, mencakup 4R (Reacting,
Redesigning, Rethinking, Regenerating). Keempat model tersebut merupakan
satu kesatuan dan perlu diupayakan sebagai tahapan yang dapat membangun masyarakat
inklusif dan berkeadilan. Dalam tahapan reacting
sendiri, secara aksi bisa dikatakan beres, tetapi dalam sistemnya belum tentu. Redesigning bisa mengupayakan perubahan
kebijakan. Namun perubahan tersebut belum cukup sebab perlu ada perubahan cara
berpikir. Maka kemudian ada tawaran untuk juga melakukan rethinking, yakni menawarkan konsep baru dengan mental model baru. Adapun
tahapan selanjutnya adalah regenerating, yakni
membaca ulang kitab suci, melakukan regenerate
source dari titik yang sama.
Lalu di mana posisi KUPI? Setidaknya ada empat hal yang sangat mungkin dilakukan oleh KUPI sebagai kolektif gerakan, yakni dengan mendorong perubahan, membuat visi yang jelas dan disepakati oleh stakeholder, membangun dan meningkatkan kapasitas jaringan, serta menjadi motor penggerak, memulai dengan langkah pertama yang bisa dilakukan. Keempat hal tersebut bisa melahirkan perubahan di tataran masyarakat, membangun peradaban yang adil dan berkelanjutan. []
0 Comments