Buku berjudul, “Sistem Sosial Indonesia” karya Nasikun ini pertama kali terbit pada 1984. Selaku penerbit, Raja Gravindo Persada melakukan cetak ulang untuk kesembilan kali pada 1995. Buku dengan 88 halaman ini memuat perenungan Nasikun mengenai sistem sosial yang ada di Indonesia, berangkat dari pertanyaan tentang faktir-faktor yang menyebabkan konflik sosial dan faktor-faktor yang bisa mengintegrasikan masyarakat Indonesia saat itu.
Setidaknya
ada dua pendekatan yang digunakan oleh Nasikun dalam mengungkapkan gejala
sosial yang terjadi pada masyarakat Indonesia. Pertama, Nasikun menggunakan
fungsionalisme struktural yang dikembangkan oleh Talcott Parsons. Dalam
pandangan Parsons dan pengikutnya, masyarakat dipandang sebagai suatu organisme
yang keterhubungannya merupakan bagian dari sistem, yang timbal balik, dinamis,
dan memiliki standar nilai yang disepakati bersama dalam bentuk norma sosial.
Lebih
lanjut, pendekatan fungsionalisme struktural Parsons menggambarkan keadaan
masyarakat yang saling terintegrasi karena memiliki tujuan dan komitmen
bersama. Adapun perbedaan-perbedaan yang terjadi di dalam sistem tersebut bisa
diatasi melalui mekanisme sosialisasi dan pengawasan sosial. Namun,
perkembangan pendekatan tersebut bukan tanpa perdebatan.
David
Lockwood memberikan kritik tajam pada pendekatan fungsionalisme struktural.
Menurutnya, pendekatan tersebut menegasikan adanya konflik, yang merupakan
bagian tak terpisahkan dari masyarakat. Kelompok fungsionalisme struktural
seakan luput memahami bahwa perubahan pada sistem sosial tidak selalu bisa
diterima begitu saja melalui penyesuaian demi penyesuaian. Kita diajak
merefleksi, bahwa di dalam sebuah sistem juga bisa terjadi ketegangan,
penolakan atau reaksi-reaksi yang mendobrak tertib masyarakat, sehingga berujung
pada konflik.
Hal
tersebut yang kemudian membawa Nasikun pada pendekatan kedua, yakni pendekatan
konflik. Pendekatan ini diambil guna memahami situasi yang tidak mendapatkan
porsi bahasan dalam fungsionalisme struktural. Mengingat di dalam masyarakat
juga terdapat kepentingan demi kepentingan yang sarat konflik. Di sini, Nasikun
menggunakan pendekatan konflik yang dikembangkan oleh Ralf Dahrendorf, yang mengklasifikasikan
kelompok kepentingan pada dua subjek, yakni laten dan semu. Kelompok semu
adalah kelompok-kelompok yang pada situasi tertentu bisa juga menjadi bagian
dari kelompok kepentingan, yang potensial dan rawan konflik karena masing-masing
memiliki kepentingan yang berlawanan.
Ada
tiga kondisi yang memungkinkan peralihan tersebut, yakni kondisi teknis,
kondisi politis, dan kondisi sosial. Ketiga kondisi tersebut dapat membidani
lahirnya kelompok kepentingan sekaligus memengaruhi fungsi dan efektivitas
kelompok-kelompok tersebut dalam memperjuangkan kepentingan kelompoknya. Fakta
bahwa konflik adalah akibat nyata dari adanya kelompok kepentingan tersebut,
maka penganut pendekatan konflik percaya bahwa hal yang bisa dilakukan hanyalah
pengendalian konflik. Pengendalian tersebut mencakup tiga hal, 1) konsiliasi;
2) mediasi, dan 3) perwasitan.
Menengok Kemajemukan,
Kepartaian, dan Masalah Integrasi Nasional
Dalam
rangka melihat struktur sosial masyarakat Indonesia secara menyeluruh, Nasikun
berupaya mensintesiskan kedua pendekatan di atas, karena keduanya dianggap bisa
saling melengkapi kekurangan porsi bahasan masing-masing. Sebagaimana disitir
dari pandangan David Lockwood, bahwa konsesus dan konflik seperti dua sisi mata
uang, satu kesatuan gejala yang pasti terjadi pada masyarakat. Sehingga
sintesis atas dua pendekatan di atas penting dilakukan untuk menganalisis
struktur masyarakat Indonesia.
Nasikun
mengutip konsep yang diperkenalkan oleh Furnivall dalam memahami kemajemukan
masyarakat Indonesia, khususnya pada masa Hindia-Belanda. Pada masa itu,
masyarakat Indonesia yang notabene berbeda secara suku, ras, dan agama tidak
memiliki kehendak bersama, tidak hanya dalam kehidupan politik, tetapi juga
dalam kehidupan ekonomi dan sosial. Kelompok masyarakat Eropa, Tionghoa, dan
pribumi memiliki pola dan kelas-kelas tersendiri dalam setiap aspek kehidupan
di Indonesia.
Tetapi
setelah masyarakat Indonesia merdeka, pemaknaan majemuk mengalami pergeseran.
Setelah merdeka —Nasikun menggunakan istilah pluralitas, ada tiga faktor kunci yang
menyebabkan pemaknaan tersebut menjadi lebih penting bagi masyarakat Indonesia,
yakni kondisi geografis, letak Indonesia (di antara Samudera Indonesia dan
Samudera Pasifik), dan perbedaan iklim. Di mana ketiga faktor tersebut turut
menyebabkan adanya penggolongan status masyarakat. Selain itu polarisasi sosial
juga terjadi akibat dari dual economy (sektor
ekonomi modern dan ekonomi pedesaan), yang
membuat ketimpangan kelas makin tampak pada masyarakat.
Setelah
merdeka, ada banyak aspek yang berubah dari sistem sosial masyarakat Indonesia.
Nasikun menyebut, kelompok-kelompok yang sebelumnya dikategorikan sebagai
kelompok semu, setelah merdeka mewujud sebagai kelompok kepentingan dengan
berbagai wajah. Satu contoh yang paling tampak adalah partai politik, dari yang
bersifat sosial-kultural sampai pada politis semata. Nasikun menguraikan secara
detail pola perkembangan partai-partai politik tersebut dari partai Masyumi,
PNI, PKI, dan sebagainya. Masing-masing memiliki kompleksitas kepentingan, yang
tidak sekadar berasal dari perbedaan suku dan agama, melainkan juga secara ideologis.
Tidak
bisa dipungkiri bahwa dengan pendekatan fungsionalisme struktual dan pendekatan
konflik, Nasikun telah memberikan gambaran tentang perkembangan dan perubahan
struktur masyarakat Indonesia dari masa ke masa. Pluralitas yang dimiliki oleh
masyarakat Indonesia tidak bisa dipandang hanya sebagai penyebab timbulnya
konflik, tetapi juga harus dipahami sebagai wujud konsensus, yang keduanya sama-sama
mendorong terjadinya integrasi sosial. Nasikun menyebut, alasan utama yang
menyebabkan kemajemukan tersebut tidak menyebabkan masyarakat Indonesia
terpisah adalah struktur kemasyarakatan yang ‘saling-menyilang’ dibarengi
dengan hadirnya konsensus atas nilai-nilai nasionalisme Pancasila. []
0 Comments