Tahun 1962 menjadi awal yang penting bagi perjalanan hidup seorang Gimah. Saat itu, usianya baru genap 10 tahun. Ia harus keluar rumah dan mengekor Giran, ayahnya, untuk ngentrung. Gimah kecil hanya punya ayah, karena sang ibu telah meninggal saat usia Gimah 36 hari. Gadis kecil yang lahir di kota Kediri itu pun belajar dari sang ayah, tentang bagaimana bertahan di padang kehidupan yang nista. Ia juga belajar mengamen (ngentrung) a la Giran. Giran bukan tokoh dalang kentrung yang masyhur, tapi ia menurunkan bakat ngentrung yang luar biasa kepada anak semata wayangnya itu.
Ketika Giran meninggal, ia mewariskan kendang
berwarna merah kepada Gimah. Kendang itulah yang digunakan Gimah untuk ngentrung.
Kemahiran Gimah membawakan kisah-kisah tokoh Islam, sejarah kota-kota besar di
Jawa, dan cara tuturnya yang menuntun, membuat berbagai kalangan tertarik untuk
menyaksikan kesenian kentrung. Berita kentrung Gimah pun sampai tersiar di
beberapa kabupaten, termasuk di kabupaten Tulungagung.
Kejayaan Gimah dan kentrungnya di kabupaten Ngrawa pun dimulai. Pada1970, Gimah
–yang saat itu sudah menikah– bertemu dengan Sumiran, pemilik pabrik rokok
Retjo Pentung Tulungagung. Lewat pertemuan itulah, Sumiran kemudian menawarkan
kepada Gimah untuk mengisi sponsor rokok. Gimah juga mengiyakan ketika diminta
untuk menetap di Tulungagung, sehingga ia pun mengurus surat pindahnya ke
Tulungagung bersama sang suami.
“Jaman mbiyen, sek sekitar tahun kepalane tujuh
tasik.an, tahun 70 pinten ngoten lo, kulo ngamen ngoten. Lajeng sajak.e kok
remen priyayi Tulungagung niku kaleh sejarah kentrung, kulo ditanggap kaleh
pabrik Retjo Pentung pak Sumiran, akhire kulo kon ngisi sponsor niko, ‘Rokok e
retjo pentung, pabrik.e tulungagung’. Akhire kulo diken mendet surat pindah
mriki. Akhire kulo pindah mriki. Ya niku ngantos sakniki.” Cerita Gimah saat
penulis bertandang ke kediamannya, pada Oktober 2016.
|
siwi sang |
Sejarah Kentrung dan Pitutur Luhur
Sejarah kentrung di Tulungagung memang tidak bisa
dilepaskan begitu saja dari sosok perempuan bernama Gimah. Gimah adalah
satu-satunya seniman kentrung perempuan yang mampu bertahan. Melawan pemojokan
dari publik, kemudian mencoba eksis di tengah pasang-surut kesenian kentrung.
Usia yang tidak lagi muda, membuat geraknya terbatas. Namun dengan keterbatasan
itu, dia bersama rekannya, mbah Bibit
–seorang tukang becak, yang menjadi rekan pentas Gimah setelah suaminya
meninggal– mengupayakan untuk tetap menekuni kentrung.
Menurut penuturan Gimah, kentrung sendiri bukanlah
kesenian asli Indonesia, utamanya Jawa. Kentrung berasal dari negara Timur
Tengah, tepatnya Arab. Kesenian ini sampai di Indonesia lewat perantara para
wali. Kemudian oleh para wali, kentrung yang awalnya hanya memakai alat musik
berupa terbang, dimodifikasi dengan penambahan alat musik lain seperti kendang,
ketipung, dan kempling.
Cara bermain kesenian ini pun cukup unik. Ada dua
orang yang masing-masing memainkan peran berbeda. Satu orang menabuh kendang
kemudian bercerita sebagaimana dalang dalam kesenian wayang, sementara yang
lain menyanyikan syair-syair atau tembang Jawa sembari menabuh terbang atau
ketipung. Gimah, selaku dalang kentrung begitu lihai menyampaikan tiap-tiap
cerita sejarah, utamanya babat tanah Jawa. Sementara Bibit menyanyikan
tembang-tembang dan kadang pantun untuk mengiringi Gimah.
Dalam pertunjukan kentrung Tulungagung, penonton
juga tidak akan menemukan kemegahan panggung sebagaimana saat pementasan
wayang, juga sinden-sindennya. Tapi terlepas dari segala bentuk perbedaaan,
tentu dalam setiap pagelaran kesenian memiliki pesan moral yang ingin
disampaikan kepada para penikmatnya, tak terkecuali kentrung.
Pendalang kentrung tidak hanya memberian wejangan
moril kepada para penonton, akan tetapi juga berusaha menyuguhkan pesan
spriritual dan menuntun masyarakat untuk nguri-nguri (menjaga atau melestarikan)
sejarah. Mengenal lebih dalam seluk beluk sejarah dengan kacamata yang lebih
luas, bukan karena ada unsur politik atau unsur kepentingan lainnya.
Hal ini senada dengan yang dikatakan Gimah, “Isine Kentrung kui kebak pitutur, Nak.
Nek disawang kentrunge ya mek sederhana. Nanging siraman jati diri, bubute
luhur, saandahane, ngerti ya wes puji syukur alhamdulillah.”
Selain penuh dengan pesan moral dan nilai-nilai
luhur, kentrung juga menyajikan kolaborasi cerita antara Jawa dengan Islam.
Sebagaimana Gimah yang membawakan kisah babat tanah Jawa oleh Syeh Subakir. Dalam
kisah tersebut, Gimah ingin menunjukkan fokus tujuan dari alur ceritanya, yakni
pada kesadaran masing-masing orang tentang nilai-nilai sejarah yang dapat
dijadikan tuntunan hidup.
Namun seiring merebaknya berbagai media elektronik,
utamanya televisi dan gawai, membuat minat masyarakat terhadap kesenian kentrung
berkurang. Masyarakat Tulungagung hari ini, justru banyak yang tidak mengetahui
bahwa masih ada kesenian kentrung yang terkenal di Tulungagung. Ketidaktahuan
mereka ini sedikit beralasan, mengingat kentrung mulai meredup setelah tahun
2000an.
Kepergian Gimah dan Kegagalan Melawan Modernisasi
2018 Gimah mangkat. Sebagai satu-satunya dalang kentrung
perempuan di Tulungagung, nyatanya Gimah tidak siap mengkolaborasikan kesenian
yang dibawakannya dengan kesenian lain. Gimah sempat takut sisi spiritualitas
dari kentrungnya akan hilang tatkala salah dalam mengkolaborasikan. Kentrung a la Gimah, pada akhir hidupnya pun masih
memakai pakem murni, yakni hanya mempertunjukkan kesenian kentrung sebagaimana yang
diajarkan sang ayah, tanpa embel-embel yang lain.
“Unek-unek kulo nggeh
cita-cita kulo, kapan aku duwe jiwo penerus. Senajan gak enek mbah Gimah ki,
kentrunge ojo sampek mati, niku cita-cita kulo. Jane pomo ditekati, diniati,
bakal dadi kemulyaan. Kesenian niki kesenian paling langka. Gone kentrung nek
jarene warisane nenek moyang biyen, ngilmu kui bareng nyenyel ning ngarepmu.
Nek ngadoh-adoho lek ngarap yo mandar ora teko ning ratu jiwone.” Tutur Gimah.
Namun sebagaimana
wayang yang juga sempat ditinggalkan oleh penikmatnya karena dianggap monoton,
tidak menarik, dan membosankan, orang-orang baru yang menggeluti bidang seni ini
mencoba mencari inovasi. Lalu terbentuk sebuah kolaborasi yang menarik antara
pagelaran wayang, dengan serangkaian humor dan penambahan lagu-lagu masa kini.
Hal-hal semacam itulah yang coba dilanjutkan oleh penikmat kesenian kentrung
selepas Gimah pergi. Tujuannya hanya satu, meneruskan cita-cita Gimah, mengembalikan
kecintaan masyarakat terhadap kesenian kentrung. []
0 Comments