Jika
tulisan ini terbit, artinya usiaku sudah 27 tahun. Penanda awal setiap
keputusan yang kuambil bakal memenuhi seluruh hajat hidupku ke depan. Selama
ini memang tidak? Jangan bertele-tele. Memang, aku tetap pemegang kendali utama
setiap upaya bertumbuhku, tetapi terlalu rapuh sampai-sampai sekadar guyonan
membuatku tumbang seketika.
Hai,
aku.
Apa
kabar hari ini? Begitu suka 28 karena dua angka itu menandai kelahiranku ke
bumi Tuhan yang fana. Aku lahir dengan tangisan tanpa tedeng aling-aling dan
saat aku menulis ini keadaan berbalik, justru menahan tangis sekuat tenaga. Artinya,
aku sedang tidak baik-baik saja. Aku sadar dan mengakuinya.
Pergantian
usia kali ini terlalu sendu, ditandai dengan mendung tebal, kabut pucat, dan
hujan seharian. Sebelumnya, pertahananku lebur menjadi sembab. Sebegitu lelahnya?
Entah. Bahkan apa-apa yang membuat tubuh dan pikiranku lelah saja aku luput mengingatnya,
apalagi merasai.
Hai,
aku.
Terima
kasih karena sudah mengganti cita-cita mati muda dengan sesuatu yang lebih baik,
menghargai hidup dan kehidupan yang telah diberikan. Sepeninggal ibu, semua wujud
kematian tampak seringan anai-anai, tak pernah berat untuk diceritakan, meski
tetap sakral dan dalam. Terima kasih sudah bertahan, meskipun dengan langkah gontai
dan sengkarut di kepala.
Aku
ingin katakan sekali lagi, mengutip apa yang sempat diucapkan Virginia Woolf, “Seseorang
harus mati, agar yang lain dapat menghargai kehidupannya.” Bahwa berkat
ibumu, kau sekarang punya kesadaran baru, menghargai setiap jejak napasmu
sendiri. Berterimakasihlah padanya, karena selain telah pergi dengan membawa
luka-luka, ibumu masih sempat mengajarimu untuk hidup.
22
Juni lalu, kau memeringati kelahiran ibumu ke bumi Tuhan yang saat ini telah kembali
menelannya. 28 Juni ini kau memeringati kelahiranmu ke bumi Tuhan yang telah
memberimu jatah hidup dengan nasib baik dan nasib buruk yang saling
berkelindan. Bukankah Tuhan Maha Asyik dengan segala kejutan dan dag dig dug-nya?
Hari
ini kita telah menangis seharian, langit juga telah sedia memberikan tiap-tiap
tetesnya untuk menghapus air matamu, di sepanjang jalan. Lalu suara-suara
meriah dari toa masjid dan surau saling saut menandai Hari Raya Idul Adha. Ini adalah
kekalahan sekaligus kemenangan, lelah yang terbayar dan mungkin ijabah dari serangkaian
doa-doa.
Hai,
aku.
Teruntuk
keputusan yang beberapa waktu lalu kau ambil, terima kasih. Setidaknya kau
melakukan hal yang benar, tidak menghilang atau lari, dan tidak pura-pura
mengasihani dirimu sendiri. Sembilan bulan ini kau sudah melakukan tugasmu. Tidak
apa-apa jika kau sudah merasa sampai di batasmu. Batas di mana telinga, hati,
dan otakmu menolak memaklumi semua yang kau dengar, kau rasai, dan yang kau
pikirkan. Batas yang membuatmu harus seleh dan beranjak lebih cepat,
batas yang membuatmu merasa cukup. Sekali lagi, terima kasih telah memutuskan sesuatu.
Kepada
Kekasih dan Saudara-saudariku
Jika
suatu hari tulisan ini sampai kepada kalian, artinya aku telah selesai
mengedit, memparafrase, dan memutuskan untuk mempublikasikannya. Seperti biasa,
tidak ada yang istimewa. Hanya tulisan yang menjadi penanda kelahiranku,
seperti tahun-tahun sebelumnya.
Bedanya,
tahun ini terasa sangat berat. Aku berhutang terlalu banyak, baik waktu,
tenaga, pikiran, dan mungkin juga materi. Aku menyadari satu hal, kalian tidak
pernah meninggalkanku sendirian. Meski berkali-kali aku memutuskan lari dan
sembunyi, kalian justru jadi yang paling bebal, memungutku kembali.
Terima
kasih telah memberikan rumah yang benar-benar bisa menjadi tempat untuk pulang,
bukan sekadar singgah dan main-main. Terima kasih telah menjadi rumah itu
sendiri. Terima kasih telah menerima naik turun, serta segala wujud kekalutanku.
Terkhusus
untukmu, Koes. Maaf untuk setiap letupan yang tak pernah ada ujung pangkalnya. Kau
melulu menerima teriakan dan deru sesal, berkali-kali, berulang-ulang. Jadi, terima
kasih telah menemani tiap-tiap muak dan rayuku, pasang surut dan egoisku. Ada yang
kuherankan, kau sebenarnya terbuat dari apa?
Terakhir
untuk dua delapan di dua tujuh.
Terlepas
dari banyaknya hal yang tak sempat kusampaikan di dalam tulisan ini, aku merasa
lega. Aku kembali percaya, setiap sesuatu yang akan aku lalui setelah ini, Tuhan
telah menggariskannya sedemikian rupa. Tuhan telah begitu baiknya memberiku
umur dan perjalanan yang menggairahkan. Maka setelah ini tugasku adalah
menikmati, tiap-tiap perjumpaan, perpisahan, kehidupan, kematian, dan
emosi-emosi yang melingkupinya. Terima kasih untuk diriku sendiri, terima kasih
telah berjalan dan terus berjalan.
Aku
mencintaimu dan perjalanan kita setelah ini.
Salam,
Rizka
Umami.
0 Comments