Akhirnya
Jogja hujan. Ini akan jadi malam panjang. Deru kereta mulai lamban meski belum
saatnya berhenti. Keretaku harusnya sampai di Jogja pukul 21.46 WIB. Namun,
gempa enam koma sekian, membuat semua laju kereta mengalami penundaan
perjalanan. Kali ini kereta yang kutumpangi berhenti total beberapa bentar. Dan
aku, masih lelap.
Jam
sebelas lebih sekian menit, akhirnya aku menginjak Lempuyangan lagi. Aroma
tanah basah dan daun-daun yang letih saling sapa terbawa angin. Rasanya masih
sama, seperti kali terakhir aku meninggalkan kota ini. Kenangan dan patah demi
patahnya seperti sengaja tertinggal, lalu mencuat tiap kali aku kembali.
Sudahkah aku berdamai dengan diri sendiri atas semua yang kutinggal di kota
‘istimewa’ ini?
Jogja
dan Orang-orang Baru
Tidak
selalu bertemu orang-orang yang benar-benar baru. Tetapi kedatangan kali ini,
sedikit berbeda. Aku berkenalan dengan beberapa manusia kuat dan sangat baru
dalam hidupku. Mereka tidak hanya lahir dari ragam etnis dan agama, tetapi
lebih kompleks dengan pengetahuan soal disabilitas dan gender issue yang
kuat. Aku senang sekali bertemu sapa dengan manusia-manusia ini.
Kami
menghabiskan tiga hari dua malam untuk saling bercerita, bertukar pengalaman,
berdiskusi, bermain, dan menikmati suasana Jogja yang diselimuti kabut dan
hujan ringan. Tentu tidak dengan semua orang aku menghabiskan jatah bicaraku,
karena sangat-sangat terbatas. Tapi anehnya, sampai hari terakhir aku di sana,
energiku cukup.
Orang-orang
baru ini mengajariku untuk tidak hanya terpaku pada satu hal. Sebab ketika bicara
tentang keberagaman, ada banyak isu yang perlu diusung, perlu digaungkan. Tidak
melulu soal perbedaan antar agama. Ada ragam gender, ada isu disabilitas,
masyarakat adat, dan lain-lain. Kesadaranku selama ini masih jauh dari adil
sejak dalam pikiran.
Jogja
dan orang-orang baru ini sangat serius. Aku hampir-hampir lupa kapan terakhir
kali bermain-main di dalam forum. Apa-apa yang mereka ungkapkan, mencambukku
dari depan dan belakang. Selama ini aku melulu memeluk diriku sendiri, kadang
abai dengan apa-apa yang kuperjuangkan di kota tempat tinggalku. Terlalu khusyuk
meratapi sengkarut sampai lupa bahwa tujuan hidupku bukan hanya soal ke-akuanku.
Terang,
dari mereka semua aku belajar lagi. Hidupku mungkin sangat kacau, tetapi tidak
lebih buruk dari apa-apa yang terjadi di luar sana. Ini juga bukan soal
perbandingan baik buruk, membandingkan hidupku dengan hidup orang lain. Ini
soal bagaimana aku memandang ke dalam, dan apa yang bisa kuberikan untuk sesama.
Lagi-lagi aku diingatkan soal lingkar perhatian dan lingkar pengaruh. Sepertinya,
selama ini aku gagal memahaminya dan terperangkap terlalu jauh ke dalam lingkar
perhatianku sendiri.
Yaa,
akhirnya aku mendapatkan kesadaran itu. Hidup dan kehidupan ini tidak melulu
soal aku, kau, dan masing-masing kita sebagai individu. Tetapi hidup ini juga
bicara tentang menghidupi, menghidupkan, sejauh mana kita bisa memberi sumbangsih
pada keduanya?
Hujan
dan Diam-diam yang Menyenangkan
Jogja
dipenuhi rentetan riak-riak gerimis, pagi menuju malam. Tapi ini bukan tentang
hujan. Ia hanya perantara, jembatan penghubung, sebuah sarana yang memberiku
ruang untuk diam dan menekuri sesuatu. Koes, aku minta maaf atas mataku yang
jalang.
Diam-diam,
aku mengamati tubuh yang tidak asing, meski baru kutemui. Suaranya, sorot matanya,
nada bicaranya, cara berjalan, kumis tipis, dan angle dari setiap foto
yang ia ambil. Lagi-lagi aku suka betisnya. Ini keliru sekaligus sebuah
diam-diam yang menyenangkan. Aku berhasil jatuh dari ketinggian yang entah dan
mendarat dengan sangat canggung.
Aku
menikmati perkenalan dan setiap jengkal obrolan singkat itu. Senang, akhirnya
Jogja memberiku kesempatan untuk merasai diam-diam yang menyenangkan setelah
puluhan purnama. Lalu setelah sekian jam aku kembali pada rindu yang melahap persendian.
Koes,
bukankah kau ada di 180 sekian kilometer dari tempatku sekarang berdiri? Bisakah
sebentar saja membiarkanku menikmati jatuh cinta kepada selainmu? Aku ingat,
belum sampai kalimat permintaan itu selesai tiba-tiba aku terpeleset, hampir
saja jatuh secara harfiah. Hanya bisa meringis dalam hati sambil mengira-ngira,
apa yang telah kau doakan pada semesta, sampai pikiranku saja tak diijinkan
jadi jalang?
Akhirnya,
diam-diam yang menyenangkan itu selesai tepat waktu. Hanya di Jogja dan
terhapus begitu saja oleh tetes-tetes hujan. Bagaimana dengan sisa rasanya? Sebab
hanya aku yang merasainya dengan culas, jadi tak mungkin mengendap. Kubiarkan ia
lepas pesat bersama angin. []
0 Comments