Di
kota ini orang-orang tidak memiliki kepuasan dan kebanggaan apa pun selain
menipu. Maka jika salah satu warga yang sukses menipu konglomerat, mereka
seakan menjadi orang yang hebat. Tidak ada pekerjaan lain di kota ini,
orang-orang hidup dari hasil menipu. Aku pun besar dari hasil menipu puluhan
tahun, sungguh hal yang luar biasa, di usia dini aku sudah pandai menipu
konglomerat.
Keluarga
kami bisa dibilang kalangan kelas atas, karena kehebatan orang tuaku menipu. Bahkan
di kota ini didirikan sekolah untuk belajar menipu dengan elegan. Salah satu
gurunya adalah Ayahku, beliau salah satu orang yang paling disegani dan
terkenal kecerdasannya dalam menipu.
Tidak heran jika aku sebagai putrinya juga
pandai menipu, ketika usiaku menginjak sepuluh tahun, aku sudah berhasil menipu
lima konglomerat. Sungguh luar biasa,
kedua orang tuaku sangat bangga, juga seluruh warga di kota ini.
iStock |
Bagi
para sesama penipu, kami tidak bisa saling menipu. Sebab sudah tahu akan saling
menipu. Biasanya target utama kami adalah orang-orang kelas atas dari luar
kota. Ayahku sebulan sekali pergi keluar negeri, lalu pulang dengan senyum
penuh kemenangan. Ia memamerkan berkoper-koper uang dari hasil menipunya.
Bagi
orang-orang yang berada di kelas tengah, biasanya mereka hanya menipu di batas
luar kota. Bagi
orang-orang kelas bawah,
mereka akan saling menipu sesama mereka. Lucunya, meski hidup berpuluh-puluh
tahun atau bahkan beratus-ratus tahun dari hasil menipu, kami tetap akur dan
saling menolong. Bahkan kota kami sangat sejahtera, kesadaran sosial di sini
cukup tinggi.
Kami
juga memiliki komunitas kesejahteraan manusia, kantor hak asasi manusia, kantor
pengadilan dan sebagainya. Lucu bukan? Kami bekerja sebagai penipu, tapi tinggi menegakkan
keadilan. Pemimpin yang telah terpilih tidak boleh melakukan korupsi uang
kesejahteraan rakyat, hukumannya pun tidak tanggung-tanggung dan tanpa pandang
bulu.
Siapa
saja yang berani melanggar, tangannya akan dipotong dan dicambuk. Sadis bukan? Kau
mungkin akan tertawa melihat kebijakan kota ini, tapi masyarakatnya bekerja
sebagai penipu. Dipikir memang tidak adil, tapi begitulah adanya. Kami tidak
menipu di dalam kota kami sendiri, melainkan di luar kota, juga tidak peduli
bagaimana penderitaan yang mereka tanggung akibat penipuan itu, yang penting
kami sejahtera.
***
Suatu
hari di musim dingin, kota Tokyo. Ayah mengajakku untuk menemui pengusaha
sukses yang sudah bersahabat tiga tahun dengannya. Namanya Akeno, kabarnya
penghasilan Tuan
Akeno yang lebih akrab dipanggil Aken oleh ayah, sekitar seratus juta
Yen per-bulan.
Tentu saja aku terperangah mendengarnya, betapa kayanya orang ini. Ayah dan Tuan Akeno berkomunikasi dengan bahasa Inggris satu sama lain. Saat itu musim dingin melanda kota Tokyo, kami tiba di sana dan disambut baik. Selama dua pekan aku dan ayah dilayani baik oleh Tuan Akeno.
Sayangnya
musim dingin ini membuat kami kesusahan untuk melihat bunga sakura mekar,
perjalanan kami terbatas. Sebab di luar sedang hujan salju. Ayah kurang tepat
mengajakku ke sana, seharusnya pada waktu musim semi. Tapi itu bukan hal yang
perlu dipusingkan.
Setelah dua minggu di sana, ayah berhasil menipu Tuan Akeno dengan alasan kerja sama perusahaan elektronik milik ayah, untuk membuka cabang baru. Penipuan itu telah disiapkan ayah dengan rapi, ia menyiapkan berkas-berkas dokumen untuk meyakinkan kerja sama tersebut.
iStockphoto |
Dengan dasar persahabatan, Tuan Akeno menanam
saham sekaligus donasi untuk sekolah penipu, yang disamarkan menjadi sekolah
anak para yatim piatu oleh ayah.
Tuan
Akeno memberikan uang sebanyak tiga ratus juta Yen untuk proyek awal.
Dengan mantap ayah dan Tuan Akeno mengesahkan kerja sama mereka. Masuklah uang
dengan jumlah tiga ratus juta Yen ke rekening Ayah.
Setelah kami kembali ke
kota, di situlah awal permainan dimulai. Ayah menutup komunikasi dan akses
terhadap Tuan Akeno, hingga entah bagaimana nasib lelaki itu. Kami tak tahu,
yang pasti saat ini kami tengah berbahagia dengan uang yang sangat banyak,
serta kebanggaan yang tak putus-putus
***
Di
luar wilayah, kota lain, berita-berita selalu menyiarkan tentang perbuatan
kriminal, penipuan, korupsi dan sebagainya. Sedangkan di kotaku, kedamaian
sepertinya berpihak. Rakyat kami sejahtera dan hidup rukun, tidak ada yang
menderita. Kami hidup bergelimang harta. Adapun orang-orang kelas
bawah biasanya akan tinggal di perbatasan, sebuah desa kecil dengan masyarakat yang kurang rukun.
Mereka
selalu ribut dan saling menipu sama lain. Suatu hari aku mendengar kabar bahwa masyarakat
yang tinggal di perbatasan ingin mencoba memasuki kota tengah, daerah yang
ditinggali oleh kami. Sementara
kami menikmati hasil tipuan dari kelas atas.
Sungguh kejadian ini sangat
langka, dari ratusan tahun silam tidak ada masyarakat di perbatasan mau
memasuki kawasan tengah, apalagi hendak menipu sesama mereka. Ujar kakek suatu
hari sebelum beliau meninggal.
“Ingat
Sami, jika
suatu hari orang-orang di perbatasan berani masuk ke kawasan tengah, hendak
menipu sesama penipu, maka kota ini di ambang kehancuran. Tanda-tanda
kemusnahan akan tiba.”
Aku awalnya tidak paham, lalu meminta kakek menyederhanakan apa maksud
sebenarnya yang akan terjadi.
“Pada
dasarnya di perbatasan tidak ada asli dari kota ini, mereka adalah mata-mata
dari kota luar, bekerja sama dengan orang-orang perbatasan untuk menyerang
kalian.”
Aku
paham, dan kini ucapan kakek lima belas tahun silam terjadi, bahkan aku melihat
sendiri bagaimana aksi tipu-menipu telah terjadi di dalam keluargaku. Ayah
mulai dipermainkan perempuan dan sedikit demi sedikit hartanya terkuras. Ibu
juga stres, lalu dihasut oleh teman-temannya untuk menyumbangkan sebagian harta
ke badan amal
negara agar menjadi kebaikan.
Atas
dasar amal, tapi nyatanya untuk kepentingan pribadi. Keluarga kami berada di
ambang kehancuran. Ayah
tidak lagi sanggup bepergian ke luar negeri untuk menipu, hartanya sudah
amblas. Jadilah mereka seperti ikan yang saling memakan saat kelaparan. Ayah menipu sesama penipu,
ibu
juga demikian.
Jadilah
para penipu saling menipu.
Aku yang masih muda juga ikut andil untuk menipu.
Karena tak sanggup menipu di luar wilayah, akhirnya kami saling menjadi korban
satu sama lain. Kota ini menjadi kota para penipu yang tertipu, sebentar lagi
hukuman dari Tuhan akan turun. Kota para penipu akan hangus, dalam satu
hantaman.[]
Riau, 2023
Riska Widiana asal Indragiri hilir, Riau. Karyanya dimuat dalam media cetak dan online. Bisa disapa via Fb: Lette, IG: @riskawidiana97, dan e-mail: riskawidiana86@gmail.com |
0 Comments