"Tegakkan
kepala!" batinku membentak aku. "Dimana kau simpan aku?" batinku
melanjutkan.
"Cepat
keluarkan aku!" aku hanya diam. "Tak kuat aku berada dalam nyawamu."
Aku ingin
bilang, "siapa suruh jadi bagian hidupku?" Namun, ia terlanjur lari
dan pergi setelah mencuri kunci dari pintu jantung dan pagar dadaku.
Wajar ia
mudah mengambil kunci-kunci inti dari bagian tubuhku. Sebab cantelan kunci itu
aku paku, ketika aku tau semua barang berantakan dalam kamar tidurku, waktu
kecil.
Cantelan itu
ku paku dengan sembarang, sehingga anak balita yang fresh pun dapat
meraih dan membawanya dengan mbrangkang khas seperti manusia yang tak
punya dosa.
Waktu kecil,
aku selalu menangis ketika ada sedikit getaran dalam dadaku. Sedikit benturan
kecil dalam hati. Seperti yang dilakukan ibuku waktu dulu.
Aku ingat
ketika aku menginjak jenjang taman kanak-kanak, aku bersemangat pergi ke
sekolah, dengan jalan kaki.
"Oeee,
sepatumu belum kau pakai, Nak." teriak ibu yang lari mengejar aku
"sini,
ibu ajari pakai sepatu".
Pikirku,
kenapa aku harus pakai benda itu? Toh kata kakek, "manusia itu dari tanah."
Ya aku suka
dengan tanah, ia adalah aku, sebab aku terbuat dari tanah. Maka ketika kakiku nyeker,
lebih nikmat. Sebab kakiku pun bertemu dengan tanah, yang tak lain adalah aku.
Karena aku tanah.
"Kenapa
diam saja, Peno? Kembali sini. Ibu pakaikan sepatu yang baru ini di kakimu,"
aku masih diam ketika ibu lantas menyusulku dengan berlari.
"Dasar
anak tolol. Udah TK masih bego aja!"
Kau tau para
pembaca? Ketika kalimat itu meluncur bersama ludah dan sisa cabai dari mulut
ibuku yang belum gosok gigi, dadaku mendadak lepas, tercecer organ-organ di dalamnya.
Kulihat
jantungku berdetak di atas tanah pinggir tempat sampah rumah kami, ginjalku
meloncat ke pinggir jalan, dan hati juga limpaku hampir diinjak ibu.
Mata satu
dusun berduyun menjadi busur dengan anak panah yang telah diasah oleh penempa
besi desa kami.
"hati-hati,
Bu, dadanya lepas tuh," seru ibu-ibu yang pulang membawa sayur dan susu,
di kantong kresek sehabis dari pasar.
"Iya,
Bu, cepat diambil dan dikunci organ-organ itu, dadanya," kata penjual
sayur keliling kampungku.
"Coba
belikan gembok dan kunci hati di pasar Ngemplak," kata ibu-ibu yang beli
sayur di pedagang sayur.
"Kasian
anak kecil itu," batin ibu-ibu lain yang mencoba melihat kejadian dari
balik pagar rumahnya.
Hari pertamaku
gagal. Tanganku tak sampai pada harapku. Ekspektasiku tak tercapai. Impianku
pupus di pinggir jalan akibat sepatu, atau petuah kakekku yang kupegang dan
amalkan.
Gelap,
mataku hanya melihat gelap dan penyesalan tak berdasar. Ketiadaan menjadi ada,
tak seperti teori Sartre yang terkenal itu, "eksistensi mendahului
esensi".
Aku terkapar
setelah beberapa detik melihat organku mencelat dari dadaku, hanya biru
langit, dan awan-awan putih menghalau sinar terik matahari pagi, yang tergambar
sebelum mataku tiba-tiba melihat gelap"
"Peno,
ini kunci dan gembok hati yang ibu beli dari pasar. Tenang, kita terbiasa tak
makan to. Tadi ibu beli dengan uang makan kita hari ini," kudengar lirih
suara ibuku, mata masih merem, hanya gelap yang dapat kulihat, lalu dengan
tiba-tiba aku ditarik dari tidurku, warna gelap menjadi putih, putih menjadi
merah, merah berubah biru, biru jadi kuning, badan terhimpit warna-warna.
Terjepit,
seperti tanganku di pojok pintu tertutup. Kepalaku tertindih warna seberat
gajah, kutahan. Kutahan, aku kuat. Aku harus kuat agar besok tak terulang
seperti pagi tadi. Warna memudar. Mataku perih. Silau cahaya di titik atas,
putih, mengaburkan pandangan mataku dengan warna-warna lain.
"Kau
tiba juga ahirnya, Peno." Aku diam, suara itu lantang namun berat.
"Buka
matamu, Peno. Kau sampai pada titik tengah-tengah dari kemanusiaanmu."
Aku masih
diam.
"Peno,
kau punya mata, bukalah kelopaknya." Aku masih diam, aku takut sudah mati.
"Penooo,
kau masih hidup, tolol." Aku kaget, ia tahu isi hatiku.
"Iya,
aku tahu isi hatimu, Aku berada dalam isi hatimu, tolol.”
Loh, ia
berada dalam isi hatiku? Aku juga berada dalam isi hatiku sendiri.
"Cukup,
tak usah kau buka mata. Toh matamu juga ada di badan lahirmu, sekarang kau
berada dalam badan halusmu. Jadi, tak mungkin pula kau dapat melihatku."
Di sini yang
tolol aku atau kau sih? Suruh buka mata, lalu kau suruh diam saja akhirnya.
"Aku
kan juga kau juga, Peno. Kita di tubuh sama, tapi beda entitas. Sudah, sekarang
kenalkan aku. Namaku batin, aku sekarang berada dalam tubuhmu. Saat dadamu mbrodol,
aku terlahir seperti batin-batin di anak yang lain."
Aku
terbangun di dunia nyata. Di atas ranjang bambu tanpa kasur. Badanku seperti
biasa, pegal dan linu.
"Aku
telah terbangun," kata batinku.
"Kau
terbangun, sebab aku bangun," kataku.
"Tidak,
Peno. Aku tetap bangun saat kau tidur, aku tetap bangun bahkan saat kau telah
mati."
Aku ingat
ketika batin membawa gembok dan kunci dari ibuku, "kau telah besar
sekarang, Peno. Umurmu telah berada di ambang batas remaja dan dewasa. Sekarang
waktu yang tepat, untuk memberikan titipan almarhum ibumu padaku, waktu dadamu ambrol
kala itu."
Ia berikan
kepadaku, entah dengan apa. Sebab yang kutahu, ia buntung. Tak punya badan,
apalagi sekadar tangan untuk menyerahkan itu.
"Pesanku,
gemboklah dadamu, agar tak ambrol lagi. Sebab, aku telah tua dan renta,
juga lupa untuk menjagamu, seperti saat masa kanak-kanakmu. Taruhlah kunci itu,
di dalam tempat rahasia, yang bahkan aku tak boleh tahu."
Sebelum ia
lanjutkan kalimatnya, "ehh, caranya gimana batinku…, kau kan juga tahu
seluk beluk dunia di dalam dadaku?"
Ia tak
berucap, sebab ia telah tua dan gampang sekali tidur tanpa permisi. Tinggal
suara ngorok dan sesekali keluar suara seperti babi, dari mulutnya yang
menganga.
Aku tak
ambil pikir, kau taruh saja sembarangan kunci dadaku. Toh aku juga takkan
berpikir, mengapa harus kusimpan dengan rahasia kunci dada itu. Gembok itu kan
wasiat dari ibuku, dan ia telah tiada.
Begitulah
awal aku punya batin. Hingga saat ini, ia yang pergi, tak tau pergi kemana. Aku
tak peduli secuil pun dengannya. Aku Peno, sudah tua menyatu dengan tanah,
seperti kata kakekku.
"Aku
sendiri." Ucapku tanpa batin.[]
Alfin Saifudin - Mahasiswa UIN SATU Tulungagung Aktif sebagai penyair di Sastra Jendra. Bisa disapa via IG: @alfin_ne |
0 Comments