Aku berjalan menuju supermarket untuk membeli barang-barang
kebutuhan bulanan dapur bersama istriku yang amat kucintai. Masuk parkiran kami
berjalan lurus menuju pintu masuk, dua pintu yang terbuat dari kaca.
Penjaga pintu yang selalu di situ, dengan tegak memberi salam pada
siapapun yang lewat di depannya, entah orang miskin atau kaya, entah pejabat
atau pegawai kantor rendahan, semua ia beri hormat, layaknya presiden. Karena
di negara kami, hirarki tertinggi di negara adalah rakyat.
Aku dan istriku berjalan lurus, setelah pintu kami lewati, menuju
bagian supermarket yang megah itu. 8 lantai menjulang tinggi. Dan lebarnya
mungkin 3 kali lapangan sepak bola. Kami membeli barang-barang yang kami
butuhkan dan pulang. Kami masih berjalan lurus.
Ia berkata padaku, “suamiku, bolehkan kita belok sebentar ke toko
bunga?” Tentu saja kujawab tidak.
"kita nanti menyimpang dari jalan yang lurus istriku. Kuatkan
batinmu ya, itu akan membuat batinku menjadi kuat pula." Ia hanya melihat
toko bunga dengan mata berkaca-kaca, ketika kami melewati begitu saja toko
bunga itu.
anak panah berjalan lurus - pixabay/geralt |
Kami menyusuri jalan yang berkelok, berlubang, dan mendaki, dengan
berjalan lurus, untuk kembali ke rumah kami di pojok kota yang metropolitan.
Aku berjalan lurus bersama istriku, dan ketika kami merasa ada yang aneh dengan
pejalan kaki di jalan yang lurus ini, seketika langkah kami berhenti.
Ternyata ada lubang galian pinggir jalan yang mengaga. Kulihat
masih basah, mungkin baru di gali beberapa waktu lalu. Para pekerja mungkin juga
masih beristirahat, karena sekarang jam menunjuk pada angka 12, sedang adzan
berkumandang dimana-mana.
Kami masih diam tak bersuara, takut kalau-kalau tak dapat menjawab
azan yang hukumnya wajib itu. Satu jam, dua jam, tiga jam, hingga matahari
tenggelam, aku dan istriku masih berdiri menunggu para pekerja itu menutup
seluruh galian, agar kami dapat pulang tanpa terjerembab di lubang galian
pinggir jalan.
Isyak berkumandang, ketika aku berada sedikit di depan istriku
untuk memasukkan kunci rumah, di lubang kunci rumah kami. Pintu terbuka, aku
dan istriku berjalan lurus masuk di rumah yang berbentuk segi panjang. Rumah
kami.
Di ruang pertama, ada kamar mandi. Karena setiap kami pulang,
pasti celana dalam dan celana luar kami basah, sebab tak kuat menahan laju air
dan ampas sisa kami makan dan minum pagi hari. Cukup umum di kalangan pekerja
seperti keluarga kami, sebab di kota kami, tak ada toilet umum. Toilet umum hanya
akan mengganggu hidung para pejalan, sebab bau kamar mandi umum tak dapat ditolerir.
Tak disediakan toilet di mushola atau masjid, karena orang-orang harus khusyuk
tanpa ada suara kucur-kucur orang kencing, dan bret-brot-bret orang berak.
Katanya dulu, 50 tahun yang lalu, pom bensin pasti ada toiletnya,
bulu kudukku merinding, juga leherku bergidik saat membayangkan, bagaimana
rasanya orang-orang kaya itu membau kotoran-kotoran itu.
Namun aku menjadi tenang, ketika pencerita itu bilang itu hanya
mitos, jadi aku tak perlu takut hingga terbawa mimpi, mimpi horor akibat pom
bensin yang ada kamar mandinya. Jaman sekarang adalah zaman dimana perasaan
manusia di atas segalanya, bahkan di atas manusia.
Tuhan berada di dalam perasaan kami. Pun dalam kitab suci umat
manusia, tak diperbolehkan untuk bersuudzon dan berniat jahat. Jika melanggar
akan diadili di muka hakim, lalu dijebloskan ke penjara untuk kurungan paling
sedikit 1 bulan dan yang paling lama, adalah selamanya.
Di kota kami polisi memiliki hak dan wewenang untuk membawa
seseorang, atau menyeret seseorang, atau bahkan menembak mati di tempat, orang
yang memiliki perasaan jahat. Pernah suatu hari, aku hampir merasai bahwa orang
di depanku jahat, karena ia telah menyerobot tempat dimana aku antri untuk
mengambil sumbangan orang kaya di kota kami.
Alhasil, alat deteksi perasaan polisi tau aku berprasangka begitu.
Namun, karena yang kurasai adalah kali pertama dan semoga terakhir dalam
hidupku, aku hanya diberi sanksi oleh polisi tersebut.
***
Istriku mandi dan aku menunggu di luar rumah. Di dekat pintu,
sambil menyalakan rokok kretek, dan tangan kiriku membawa gelas yang diisi
kopi, hasil belianku di supermarket yang mewah tadi.
Aku selalu menunggu di depan pintu, sebab jika terlanjur masuk,
aku tak dapat mundur untuk kembali ke toilet rumah kami. Karena hukum di negara
ini mengatakan, “dilarang mundur, karena itu adalah sebuah bentuk pengkhianatan.”
Jadi, semua rakyat di negara ini hanya diperbolehkan berjalan
lurus ke depan, tak boleh belok, atau berjalan mundur. Kecuali, para pejabat
dan keluarga pejabat dan orang yang punya perusahaan besar. Mereka memiliki
kendaraan untuk menghindari berjalan mundur dan belok. Suatu kecanggihan yang
luar biasa, dan ketika aku kaya nanti, aku ingin membeli alat itu.
Istriku keluar dari kamar mandi, masih memakai handuk, dan
berjalan menuju kamar tidur untuk berganti pakaian dan istirahat. Lalu aku
masuk kedalam kamar mandi untuk mandi dan mencuci bajuku, serta celanaku yang
bau pesing.
Aku kencing saat menunggu para pekerja memperbaiki jalan. Bersama
banyak orang yang menunggu, kami diaba-aba untuk kencing di celana bersama.
Agar tak menimbulkan ketidakadilan di antara sesama rakyat negara. Sebab,
ketidak-adilan adalah sebuah bentuk penghianatan.
Kamar mandi kami berpintu dua, depan dan belakang. Terbuat dari
kayu jati, dan beratap genteng. Di samping tangan kiriku, ada wadah berisi
sabun pencuci baju, sabun pencuci badan, pasta gigi, sikat gigi, dan sampo,
juga yang terakhir, berada di paling bawah wadah, sikat pakaian. Kulepas
celanaku, semua pakaian yang menempel di tubuhku dan aku mandi.
Ketika masuk kamar, istriku telah berbaring. Ia tertidur sebelum
sempat memakai pakaiannya. Mungkin ia terlalu lelah bekerja hari ini, ditambah
sepulang kerja kami berjalan-jalan di supermarket untuk membeli kebutuhan kami.
Aku menyusulnya untuk tidur, setelah memakai pakaian tidurku.
Aku bangun ketika bau masakan istriku masuk ke dalam lubang
hidungku. Aku batuk-batuk, istriku sedang masak cabai dan bawang di minyak
panas untuk sambel, dan ikan asin sebagai lauk sarapan pagi ini.
Aku suka paduan sambel dan ikan asin, itu masakan istriku yang
menjadi favoritku, sebab jika ia masak ayam, pernah suatu hari, gigi depanku
lepas akibat dagingnya yang begitu keras. Aku tak tahu bagaimana cara istriku memasak,
sebab dapur rumah kami berada di ruang depan, yang otomatis, aku tak dapat
melihat apalagi mencicipi masakan istriku saat masih di dapur.
Setiap pagi, ia bangun pagi-pagi, berjalan lalu naik bis agar tak
ketinggalan pesawat di bandara. Seluruh ibu-ibu di negara kami memang seperti
itu. Karena dengan kecanggihan pesawat, para ibu-ibu tak perlu susah-susah
berjalan mengelilingi bumi untuk kembali ke ruang masak, yang ada di bagian
belakang kamar tidur, depan kamar mandi.
Seluruh rumah di negara kami didesain oleh pemerintah. Mereka
begitu berjasa, sebab rancangan modern itu. Dengan alasan, agar seluruh
keluarga di negara ini, dapat makmur dan sejahtera. Istriku terlihat begitu
semangat, ketika berjalan lurus dari dapur hingga ruang makan yang ada di depan
kamar tidur kami.
Aku berjalan lurus dengan senyuman cinta kepadanya, ia balas
dengan kecupan di pipiku. sebelum kami duduk di kursi masing-masing untuk makan
pagi bersama. Kami berjalan lurus dengan langkah kaki berpaduan, dengan mesra.[]
Alfin Saifudin. Mahasiswa UIN SATU Tulungagung. Aktif di Sastra Jendra. Bisa disapa via IG: @alfin_ne |
0 Comments