Morfo Biru – Sudah masuk tahun politik ya? Menyebalkan sih. Tapi pertarungan
tetap harus terjadi. Nah, mumpung lagi hangat-hangatnya, kali ini kita akan belajar
soal Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Kok tiba-tiba? Meskipun sering dibahas, masih banyak orang
yang mungkin tidak memahami dengan baik apa sebenarnya KKN.
Ya, sebagai masyarakat Indonesia, kita perlu paham definisi
secara umum KKN itu seperti apa dan kenapa itu menjadi masalah yang begitu
kritis di negara kita.
Pengertian Dasar
Artikel ini secara ringkas membahas apa itu KKN dan pentingnya
bagi masyarakat Indonesia untuk memiliki daya kritis dalam memahami isu yang
berkembang.
Korupsi – istilah ini mengacu pada tindakan penyalahgunaan posisi atau kekuasaan untuk
kepentingan pribadi, biasanya dengan mencuri uang negara atau sumber daya
publik.
Kolusi – kolusi merujuk pada konspirasi atau persekongkolan antara individu atau
kelompok untuk mencapai tujuan yang merugikan masyarakat.
Nepotisme – nepotisme merujuk pada sikap memihak atau memberikan posisi
atau keuntungan kepada keluarga atau teman, tanpa mempertimbangkan kualifikasi
atau kapabilitas mereka.
Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN) - Pixabay/Mohamed_Hasan |
Dalam konteks ini, masyarakat Indonesia perlu memahami KKN
dengan baik karena beberapa alasan, yakni karena KKN mengancam demokrasi, merugikan
negara, menimbulkan kesenjangan sosial, dan ketidaksetaraan terhadap akses.
Contoh yang kerap menjadi bahan perbincangan generasi saat
ini, misalnya di masa Soekarno, yang dikenal mengendalikan media dan kebebasan
pers.
Pada masa orde lama, opini publik tidak bebas berkembang. Hal
ini merupakan bentuk kolusi, yakni menciptakan narasi yang menguntungkan
pemerintah.
Kemudian pada masa Soeharto, ada korupsi dan penyalahgunaan
wewenang, termasuk pemanfaatan proyek-proyek pembangunan. Salah satu contohnya
yakni korupsi dalam proyek Supersemar.
Kemudian soal nepotisme, Soeharto dikenal memberikan
keuntungan bisnis dan posisi penting kepada keluarga dan koleganya. Salah satu
contoh yang paling mencolok adalah potret keluarga Cendana.
Dan yang paling besar, terjadinya pelanggaran hak asasi
manusia, di mana Soeharto terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia pada 1965-1966
dan konflik di Timor Timur.
Pelanggaran tersebut termasuk pembunuhan massal dan
penghilangan paksa, yang merupakan bentuk kolusi dengan aparat keamanan.
Tindakan-tindakan KKN di masa lalu sejatinya telah
menyebabkan kerugian besar bagi negara dan masyarakat Indonesia. Kita bahkan
belum menyebut contoh lain di masa presiden-presiden setelah orde baru tumbang.
Memang, setelah masa Soeharto, Indonesia berusaha untuk
mengatasi warisan KKN dan memperkuat tindakan pencegahan korupsi melalui
reformasi dan upaya-upaya anti-korupsi. Pertanyaannya, apakah berhasil?
Jadi Kenapa Kita Perlu Mengembangkan Daya Kritis?
Kita memang cukup pesimis ketika berbicara soal KKN, tetapi
agar tidak sepenuhnya menutup mata, penting bagi kita untuk mengembangkan daya
kritis. Misal dengan beberapa cara berikut:
1.
Pendidikan
Kita perlu yakin bahwa dengan meningkatkan
pemahaman tentang demokrasi, etika, dan integritas dalam sistem pendidikan, minimal
akan membantu generasi muda memahami pentingnya mencegah KKN.
2.
Media
dan Informasi
Kita perlu mengonsumsi informasi dari
berbagai sumber dan memahami bagaimana KKN memengaruhi kondisi masyarakat kita.
Media yang independen dan jurnalis
yang bebas merupakan aset berharga dalam mengungkap tindakan KKN. Pertanyaan selanjutnya?
Sisa berapa?
3.
Partisipasi
Aktif
Kita, sebagai bagian dari masyarakat
perlu aktif dalam proses politik dan pemilihan umum. Dengan memberikan suara,
kita bisa memilih pemimpin yang berintegritas dan bersedia melawan KKN. Semoga.
4.
Masyarakat
Sipil
Penting untuk mendukung organisasi
dan kelompok masyarakat sipil yang berperan dalam memerangi KKN.
Kita sebagai masyarakat sipil masih bisa
mengawasi dan memantau tindakan pemerintah serta meminta akuntabilitas.
Sederhananya, sampai sekarang Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
adalah ancaman serius bagi masyarakat dan demokrasi di Indonesia.
Untuk melawan KKN dan tindakan yang tidak demokratis lainnya,
kita perlu punya pemahaman yang utuh dan kritis, terutama atas isu yang saat
ini tengah kencang gaungnya.
Dengan cara ini, selemah-lemahnya, kita tetap optimis memainkan peran yang lebih aktif, dalam membangun masyarakat yang adil, transparan, dan demokratis. []
0 Comments