Antara Sekolah dan Sawah
Pada malam-malam kelam
Aku duduk suntuk dalam diam
Memegang cerutu mendesis gerutu
Asapnya membuat sinar bulan lumpuh
Angin sawah menyapa seraya memeluk erat
Tengkukku basah, berkeringat
Meringkuk payah
Berharap ada resah yang musnah
Kemudian aku menilik ceruk-ceruk
Retak tiada bentuk
Di dalamnya ada damba pada padi tahun ini
Tapi yang tersisa hanyalah semu
Meratapi padi-padi kopong, busuk, penuh dusta
Sebuah umpama dari pendidikan Indonesia
Haruskah percaya?
Tiap-tiap tutur yang berumur
Menjadi helai kain kusut dari anak-anak di sana
Ini bukan masalah pantas, tapi ini tentang sama selaras
Negara ini butuh kesadaran
Tidak perlu masalah ketimpangan pendidikan
Lihatlah tanah airku. Tertatih lelah
Dan kini aku, kau, kita dipaksa percaya
Buku-buku berdebu
Berserak di pelataran sekolah
Halaman yang ditulis satu-dua prosa
Hanya pajangan semata
Pulpen dan pensil perlahan berpaling
Diganti dengan keyword dan keyboard yang bising
Soewardi turut berduka cita lalu mengheningkan cipta
Tetapi telinganya ditarik oleh janji manis
Beasiswa sarjana, sekolah gratis, makan siang gratis?
Entahlah, aku bingung memilih jalan penuh kerikil tajam
Di antara Sekolah dan Sawah
Sragen-Madura, 2024
_________________________________________
sekolah dan siswa - pixabay/igorovsyannykov
Jawaban Dari
Malam
Sendiri di balik malam adalah gelap
sunyinya mendayu kepada purnama
Membuat tubuh-tubuh telanjang mengendap
Meraih selimut asa yang lucah
Takut tak patut dirasakan
Hanya membuat kegundahan
Sebab tiada satu pun harus tahu
Bahwa di sepimu ada beribu gaduh;
yang tidur pada dinding langit
yang gigil dengan diam
yang malas tanpa alas
Maka kepadamu yang melahirkan
Rerimbunan belantara yang dalam
Hendaknya bersimpuh dengan malam
Di sanalah kau akan bertemu jawaban
Rumah Cahaya, 2024
_________________________________________
Kisah Buku Di Tobu
senyummu pustaka tempat aku membaca keindahan kata
dari bait-bait kesetiaan yang menganggu lelapku
lalu dari keindahan itu, terlihat berjuta aduh
tersimpan pada kurun beratus putaran waktu
membuat aku yang sedang menulis antologi kehidupan
menjadi sepi. Sembari berjalan
mampir ke toko buku
sesekali melihat penjaga yang gerutu
di sana tidak banyak senyummu
hanya ada wajah-wajah kusam buku
dan aku menatapnya sedih. Tapi dibalas
dengan tatapan mendelik menyuruh pergi
bagiku itu sebuah nahas
: terpisahkan
dari keluarga kandungnya;
sebab kondisinya yang abnormal;
berbau racun dan penyusunan
asal-asalan.
mereka ingat kala itu
dilirik dan diculik
menjadikan mereka tercekik
oleh rahim yang palsu
“Apakah kau rela oleh pelacuran ini?”
kau hanya diam jadi gagu
perlahan dari punggung tangan indahmu
kulihat belati kecil
kau bunuh satu persatu penamu
yang cuma kelam
yang cuma adopsi
yang cuma ilusi
Rumah Cahaya, 2024
_________________________________________
Puisi-Puisi Puji
Ayat, adalah suaramu yang indah itu
Penuh gama dan warna, menghiasi malam-malam mendung
Dari keesokanku yang linglung, kau menerbangkan sunyi
sepi dari hati
Tersebut-sebut dalam ritme dan diksimu,
kau menyusun puisi-puisi puji, menjadi kembara yang sulit
kusampaikan, dan tegak paras kidungmu pada sang junjungan,
telah memperpanjang napas rinduku yang tak lagi kurasakan.
Ayat, terima kasih telah mengikat kembali bibirku
dengan rasa syukur tiada tara, kepada warna
harapan yang kian tumbuh di bekas wadah dosa.
Aku ingin kelak kita bersama meniti jalan pada-Nya
dengan pertolongan atas bunyi-bunyi kita malam ini.
kita tak perlu lagi bersusah payah melewati ketakutan
yang mencekam pada dinding-dinding langit.
Ingatlah gelap akan bersinar, apabila yang meneranginya bintang dan bulan.
Jadi mari, ramaikan rumah Tuhan dengan semangat menyala.
Senandungkan puisi puji hingga tak kenal lelah.
Dan ini akan jadi perkara terindah dalam hidup kita.
Rumah Cahaya, 2024
_________________________________________
Tentang Ibu yang Berharap Anaknya Pulang
/1/
denting rindu yang berguncang
bagai lindu
terus datang pada malam
mengisi sisi bintang mengawang
langit dan segala isinya yang
kagum pada makhluk sepertimu
dan pada tiap sisi itu
tampak lekuk tubuhmu.
Kau telah termakan keras kehidupan
terjerat oleh kawat-kawat ketidakpastian yang lelap
di fajar, senja, dan larutmu
dan sadarlah
kamar tidur terus memanggil
Kisi-kisi jendelanya menggigil
kebingungan takut kau tak datang
apalagi ibu, ia paling khawatir
ketakutan yang menjelma penyakit
merayapi matanya karena terus-terusan menangis
Maka aku meminta tolong padamu
Kau pulanglah, ibu menunggu
/2/
Ibu, aku telah pulang
setelah sekian lama
waktu itu telah tiada
antara ada dan gundah
kuhujamkan tuduhku padamu
yang tanpa tedeng aling-aling
lalu aku merangkak bersama jarum jam
dalam kamarku
berterus terang pada bajuku yang telah basah
dan keinginan memberhentikan takdir
mungkin hanya aku orang paling malang
ternyata kau juga ibu
tapi kini aku hanya bisa menatap lembut senyummu
dari purnama untuk kelima kalinya
tak bisa aku menyesali bahkan getir pun menjadi sepi
Ibu, anakmu telah pulang
Penuh Canda, 2024
_________________________________________
Tentang Terompet
Di gubuk milikmu
Sunyi sepi berjudi
Meniti hati
Seakan permadani
Menilik pinang, kelopak, sari putik
bunga Terompet
Lengkap tiada kurangnya
Indah. Sempurna.
Tapi sayang
Di halamanmu bejibunan
Layu-layu bunganya
Meracuni tubuhmu yang kuat bertahan
Hirup layu bunga, jadi asap
Bidik peluru tak diterpa
kemanusiaan
Dan rudal cepat melesat
Lewat mimpi dan nyata
Keparat! Kata Danarto
Asu Buntung! Ujar Tohari
Dan aku hanya bisa bertanya
Kapan!??!
Madura, 2024
_________________________________________
Tidak Ada Senja Hari Ini
tidak ada senja hari ini
padahal aku ingin bercengkerama dengannya
karena di sana kulihat puisi
dan kenangan yang abadi
Lalu aku menunggu pada awan yang berarak
agar;
berdiriku tetap tegak
jalanku tak pincang
gerakku tidak terhalang
tidak ada senja hari ini
hanya tampak jejak-jejak menangis lirih
dan dinding langit yang iba
terus bertahan mengasuh diriku
hingga fajar berbisik dengan lembut
seraya sesenggukan bahagia
mungkin ada senja lagi hari ini
Madura, 2024
0 Comments