Puisi-puisi Rifqi Septian Dewantara

Aku Menemukan Mimpimu di Bulan Februari

 

Aku datang membawa kabar

Kematian menjadi hari lain

Atau sosok asing yang berusaha mendekatimu

 

Aku tidak ada di mana-mana,

tetapi juga ada di mana-mana

di pikiranmu, atau igauanmu

yang tersenyum kecut, ketika kau tersesat

melawan tindihan dalam geliat 

 

Bukankah tersesat bersama menjadi hal yang patut kita coba? Barangkali di sepanjang perjalanannya, kita menemukan sebuah metafora yang indah; lalu berdiri merancang kata-kata dan melepas seluruh maknanya

 

Bukankah tersesat bersama menjadi hal yang patut kita tanyakan? Barangkali bersama-sama; kesepianmu dan kerumitanku, menjadi waktu yang tidak mengenal waktu

bunga dan puisi - pixabay/nguyenthanh

Sayangku, lelap ini sedang mencium bunga tidur kita.

Esok dan selamanya.

 

2024

_________________________

 


Memeluk Tubuh, Memeluk Bisu

 

Hujan mengingatkanku tentang tubuhmu kembali

aku tak bisa berpaling
sepi yang meneduhkanku

adalah kumpulan-kumpulan nama yang merekam gigirmu

 

Biar dulu diri terjaga, dari getir-getir angin utara

aku tak akan berlarut-lama

sebentar saja harapan kita ada di penghulu sana

 

Apa kabar? Di sekelilingku wanita bersandiwara

seluruh kata-katanya menggelegar dalam kepala,

bahasanya gigil memeluk tubuhku,

bisingnya; ngilu membungkam bisuku 

 

Apa kabar? Seluruh tahunku telah habis

menyimpan tubuh-lukamu yang sunyi

(Aku tak punya waktu untuk mengenal orang lain)

 

 

2024
___________________________

  

Sara Bara

 

Mata hujan tak setampak di ujung langit, mereka berlari, menembus konstelasi awan, menyebar semu korona, mengusung argonavis menjadi kian padu.

Kali logika beresolusi dalam hati, memintai jiwa untuk beraksi dari hal-hal nyata. Aku bersenggang untuk berdamai dalam mimpi yang kemarin kian terasa kabut - membawa prasangka buruk.
 

Lalu biarlah sampar menyebar ke belantara kehidupan. Kesakitan yang tiada tara, yang membawa kekuatan untuk terus belajar berkuasa. Bersitabik dengan hangat agar luluh dengan lembut, memaksa reda agar tidak saling menyesal.
 

Barangkali nyawaku terancam, nyawamu punah dirayap tular,  barangkali jiwaku membeku, tubuhmu mengendap di celah palung yang jauh ke bawah permukaan bumi. 
 

Lalu kita mengarungi kegugupan, dan bersikukuh pada keyakinan.

 

 

2024
____________________________

  

Bandung

 

Tiba-tiba kau adalah sebuah kota

yang memeluk sunyi dan hening

sementara pelik dan bising

saling memerangi dirinya sendiri

 

Mati dan hidup kembali

mati dan hidup kembali

 

Dalam penjara yang sama

hidup memang tertulis pada nama-nama keabadian.

 

2024
_________________________

  

Bunga Mawar 

 

Gugup aku; berjalan melewati iringan dan kesunyian

Gugup kita menghadap, mawar-mawar merah; rekah-merona

 

Tubuh-tubuh kita, kini saling pergi

atau bersebrangan dari kematian yang membawa bungamu kembali

 

Tubuh-tubuh kita, kini saling berdiri,

atau berkencan dari dua dunia yang lain

 

Aku pergi dulu sayang

kuburanmu sudah kubersihkan,

sudah kusisih-sisihkan

dari jalang lalu-lalang

 

Aku pergi dulu sayang

mata air ini telah menyirami berulang-ulang kesedihanmu

 

Aku pamit dulu sayang,

bunga tidur ini

sudah memetik kita untuk bertemu dan bertamu kembali..

 

2024


TENTANG PENULIS

Rifqi Septian Dewantara, 1998.
Pegiat sastra asal Balikpapan. Karya-karyanya tersebar di beberapa media;
Media Indonesia, BeritaSatu, Suara Merdeka, Borobudur Writers & Cultural Festival,
Bali Politika, Majalah Elipsis, dll.
Buku antologi puisinya berjudul “Like” (2024) diterbitkan oleh Penerbit Pustaka Ekspresi.
Kini, bergiat dan berkarya di Halmahera, Maluku Utara.
Bisa disapa via Facebook: Rifqi Septian Dewantara


Post a Comment

0 Comments